Rabu, September 26, 2007

Hasutan dalam 'Luahon Damang'

Luahon Damang yang kini dipopulerkan ulang oleh Trio Ambisi adalah sebuah lagu bernuansa kerisauan, namun iramanya rancak, meski tak terlalu menghentak.

Latar belakang lagu ini sepertinya adalah resesi yang menghempaskan nilai tukar rupiah di jaman revolusi (?) dulu, sehingga seorang ayah/ibu meminta anaknya berpikir ulang perihal perkawinan, karena sudah tak cukup duwit untuk menyelenggarakan pesta dan memberi ‘tuhor’ ke pihak perempuan.

Begitupun, dengan agak nakal –ya karena disampaikan melalui irama rancak– ayah/ibu tadi menghasut buah hatinya untuk kawin lari (?) saja. Persoalan pesta adat, nantilah itu. Yakinkan hatimu, akan kami urus kawinmu itu, begitu katanya.

Di rumah, jika lagu ini dimainkan, maka Pho -putraku yang berumur setahun- akan menepuk -nepukkan tangan, mata menyipit, cuping hidung membangir dan bibir melebar ‘tikko’. Aku dan Ditha -yang saat ini di kelas nol kecil– pula, akan saling menautkan jemari, sedikit menekuk badan, menari kesana kemari. Istriku lebih memilih mendampingi Pho. Ikut bertepuk, menampilkan raut teramat sumringah. Kutebak terjemahan Pho akan bahasa tubuh ibunya. “Ya Pho, sedap nian lagu ini. Mari tak henti bertepuk, biarkan papa dan kak ditha menarikan untuk kita.”

Kerap, tombol ‘repeat’ di ‘remote kontrol’ pemutar DVD ditekan, untuk tak henti memainkan lagu yang sama. Begitulah, saking sukanya. Tak bisa kubayangkan proses kreatif yang dialami Nahum Situmorang dalam menuliskan lagu ini. Seorang temanku, lelaki paruh baya yang telah banyak kelana berkisah. Dahulu, jika terlihat Nahum Situmorang dengan suara samar mengetuk-ngetukkan jarinya di meja lapo, maka telah tergubahlah sebuah lagu. Mendengar ceritanya, aku tersenyum.

(LUAHON DAMANG karya: Nahum Situmorang)

Holan na balga do

na hupapungu hepeng na lao pangoli mi

Pungu hian do i, lehonon tu parboru i

Hape madabu ma, saparsappulu nama sian arga na i

Boha roham doli, pikkiri damang ma i

Luahon damang ma

tung boru nise pe taho doli

dang pola sala da, na mangalua pe

na masuk adat do

ianggo utang da, di pudi pe sai na gararon do

pos ma roham doli

na patureon do anggo pangoli mi

i pe luahon ma,

luahon damang ma si boru i doli

i pe luahon ma,

luahon damang ma si boru i

Selasa, September 18, 2007

Senandung Hati Gundah


Suatu penggalan waktu yang panjang, untuk selalu menahan nafas, menariknya dalam-dalam, mengelus dada. Aku tak tahu kapan berakhir. kehendak bersekutu dengan Khalik tercidera, dan mereka sangat menikmati bugang mengangaku.

Dalam banyak ketika kegalauan ruhani, aku suka bersenandung. Acap buku ende, kidung jemaat juga. Bila tak kunjung tuntas risauku, inilah yang akan kubunyikan :


(You Are My Religion oleh Firehouse)

I've lost my faith in everything
I couldn't believe in anything
Until I put my faith in you
Is it a sin, is it a crime
To worship somebody all of the time?
Anytime, I would do anything for you

I''ve found my heaven, right here with you
Believe in me forever, I believe in you

CHORUS:
Not just on Sunday, I love you everyday
And I fall to my knees
Everynight I pray since
You've come and saved me
For all eternity
In the name of the Father and the Son
You are my religion

I wasn't looking for a miracle
Didn't think that love was possible
But your love has made me whole
And I pray that this will never end
You are my lover, my best friend
You took me in and saved my soul

I've found my heaven, right here with you
Believe in me forever, I believe in you

REPEAT CHORUS

And forgive me for the things that I have done
In the name of the father and the Son
You are my religion

atau malah lagu berikut :


(Have I told you lately that I love you oleh Rod Stewart)


Have I told you lately that I love you
Have I told you theres no one else above you
Fill my heart with gladness
Take away all my sadness
Ease my troubles thats what you do

For the morning sun in all its glory
Greets the day with hope and comfort too
You fill my life with laughter
And somehow you make it better
Ease my troubles thats what you do
Theres a love thats divine
And its yours and its mine like the sun
And at the end of the day
We should give thanks and pray
To the one, to the one

Have I told you lately that I love you
Have I told you theres no one else above you
Fill my heart with gladness
Take away all my sadness
Ease my troubles thats what you do

Theres a love thats divine
And its yours and its mine like the sun
And at the end of the day
We should give thanks and pray
To the one, to the one

And have I told you lately that I love you
Have I told you theres no one else above you
You fill my heart with gladness
Take away my sadness
Ease my troubles thats what you do
Take away all my sadness
Fill my life with gladness
Ease my troubles thats what you do
Take away all my sadness
Fill my life with gladness
Ease my troubles thats what you do

Senin, September 17, 2007

”Si Muka Selamba’’ Macedo oleh Hasan Junus

(dimuat di riau pos edisiahad 16 September 2007)

Setelah kehidupan Jorge Barbosa sebagai pelopor perpuisian di Cape-Verde dan Oswaldo Alcântara sebagai perintis seni novel berakhir, sejarah kesusastraan di negeri berpenduduk 400 000 jiwa itu diperkenalkan pula dengan karya teater dengan pemula bernama Donaldo Pereira Macedo. Ia lahir di Cape-Verde tahun 1950 dan pada usia sepuluh tahun mengikuti orang-tuanya pindah ke Amerika Serikat. Karya-karya pentas ciptaan Macedo yang diperkenalkan kepada masyarakat Boston menarik perhatian orang-orang di luar Cape-Verde terhadap karya-karya seni yang dihasilkan di negeri itu. Walau bagaimanpun karya-karya sastra dan pentas Cape-Verde terutama mulai dikenal karena tiga nama para perintis: Jorge Barbosa, Oswaldo Alcântara dan Donaldo Pereira Macedo.

BAHASA Kreol di negeri itu yang disebut juga sebagai bahasa Portugis bebas tanpa batas dan mulai mendapat tempat yang bermartabat di Cape-Verde apabila bahasa itu dipakai dalam medium kesusastraan. Sesudah terpakai dalam puisi Barbosa dan novel Oswaldo Alcântara lalu bahasa itu benar-benar secara bebas dipergunakan dalam karya-karya teater oleh Macedo. Karya Donaldo Pereira Macedo yang paling luas dikenal diterbitkan buat pertama kali tahun 1979 berjudul Descarado (‘’Muka Selamba’’). Karena itulah di kalangan intelektual Afrika baik yang berbahasa Portugis atau bahasa lainnya teaterawan ini dikenal juga sebagai Donaldo Pereira Descarado Macedo atau Donaldo Pereira Si Muka Selamba Macedo. Dalam bahasa Melayu ‘’muka selamba’’ dikatakan pada muka atau wajah orang yang pada lahirnya terlihat biasa-biasa saja sedangkan sebenarnya dalam dirinya telah terjadi sesuatu. Keadaan jiwa seperti inilah yang digambarkan teaterawan Macedo dalam karya paling terkenalnya Descarado.

Dengan kemerdekaan politis Cape-Verde dari kolonialisme Portugis pada tahun 1975 maka selain dari bahasa Portugis yang di-kreol-kan [baca: dibebaskan] penduduk negeri pulau-pulau dekat pantai Senegal itupun tidak lagi mengakui sangkut-kaitnya dengan negara induk yang nun jauh di Semenanjung Iberia sana. Pada tahun 1977 negeri pulau-pulau berserakan itu mempunyai sebuah jurnal kesusastraan dan kebudayaan bernama Raizes (‘’Akar’’) tempat para intelektual di negeri itu saling beradu argumentasi merumuskan suatu gerakan kebudayaan yang samasekali tak dikenal sebelumnya yang berarti siap berseberangan dengan karya-karya tradisionalis. Dari panggung-panggung teater di Boston dan kota-kota di Amerika Serikat lainnya Si Muka Selamba Macebo meneriakkan suara dan gema kemerdekaan yang mutlak, termasuk juga kemerdekaan dari belenggu tradisi sejak dari zaman dulu penuh kebohongan yang bagi ketiga pelopor dan perintis kesusastraan Cape-Verde itu dapat berarti ketololan yang sudah sejak lama ditanam pada masa lampau

Sastrawan lainnya setelah triumvirat pelopor itu ialah Manuel Lopes yang lahir sama tahunnya dengan Alcântara yaitu tahun 1907. Mula-mula ia dikenal sebagai penyair, tapi kemudian lebih-lebih novel-novel memasyhurkan namanya, karena pada tahun 1956 ia menerbitkan Chuva braba (‘’Hujan Ganas’’) dan pada tahun 1960 terbit pula novelnya Os flagelados do vento (‘’Sang Mangsa Angin Timur’’). Tenaga novel-novel Manuel Lopez dapat dirasakan sebagaimana para pelaut Cape-Verde merasakan angin pada layar yang terbentang di Teluk Senegal menuju ke pulau-pulau yang nembentuk Cape-Verde. Jangan heran kalau ada orang yang mengatakan bahwa bahasa Kreol di negeri itu ialah angin bebas yang membuat kelajuan perahu bertambah.
Amílcar Cabral (1924-1973) mencetuskan gerakan kesenian yang sejalan dengan gerakan politis, karena ia mengetuai Partai Bangsa Afrika Demi Kemerdekan Guinea dan Cape-Verde yang pada mulanya merupakan suatu kesatuan itu. Cabral berkhotbah tentang suatu kesusastraan yang samasekali baru dengan mengibarkan panji-panji keunikan Kreol dan cap khas Cape-Verde. Ia disukai dan mempunyai banyak pengikut di kalangan anak-anak muda yang sibuk berkarya mengisi kemerdekaan negerinya. Nama-nama yang tercatat sebagai pengikut Cabral antara lain Ovídio Martin (lahir 1928) yang terkenal dengan kumpulan sajak Anti-Evasão yang membabit masalah sosial, ekonomi dan politik. Nama Ovídio Martin senantiasa diikuti oleh dua nama penyair militant masing-masing Gabriel Mariano (lahir 1928) dan Onésimo Silveira (lahir 1937). Semua ini berlangsung dengan langkah kesusastraan yang tegap dan bersemarak sampai ke tercetusnya kemerdekaan pada tanggal 5 Juli 1975. Para sastrawan Cape-Verde banyak sekali yang bertemperasan tinggal mencari kehidupan di Eropa dan Amerika (Utara dan Selatan; dan untuk Amerika Selatan terutama di Brasil yang berbahasa Portugis). Seorang penyair kelahiran Cape-Verde yang melanglang ke sekotah benua seperti Oswaldo Osório (lahir 1937) terus mendendangkan pulau-pulau yang membentuk Cape-Verde sepanjang hayat di manapun ia berada. Tokoh ini dikuti oleh orang-orang seperti Arménio Vieira (lahir 1941), Tacalhe (nama-pena Alírio Silva (lahir 1943), dan Kaoberdiano Dambara (nama-pena Felisberto Vieira Lopes, lahir 1936). Dasawarsa antar tahun 1970 dan 1980 kesusastraan Cape-Verde mengalami stagnasi, bahkan ada kritikus yang bahkan menyebut masa itu sebagai periode krisis kebudayaan. Hal ini terutama disebabkan menggebu-gebunya penciptaan karya-karya sastra yang terdiri dari puisi, novel dan cerita-pentas pada masa sebelumnya. Namun pada masa ini beberapa orang berkiprah seperti Kwame Kondé (nama-pena Fransisco Fragoso, lahir 1940), João Varela (lahir 1937 dan memakai nama-pena Timóteo Tio Tiofe) dan Corsino Fortes (lahir 1933).

Periode krisis kebudayaan atau masa kebuntuan atau stagnasi kebudayaan ini juga menghasilkan seorang Henrique Teixeira de Sousa (lahir 1926) yang pada tahun 1978 menerbitkan saga dalam sosok novel berjudul Ilhéu de Contenda yang begitu kuat sehingga dapat membangkitkan hasrat terpendam para generasi muda untuk mengisahkan kembali sejarah negeri yang bernama Cape-Verde. Untuk orang Melayu bagian Cape-Verde dari keluasan kesusastraan Portugis (yang murni maupun yang Kreol) mungkin saja membangkitkan ingatan kolektif terhadap tokoh Awang @ Panglima Awang @ Henrique yang telah mencatat kepiawaian navigasi Melayu di tengah-tengah para pakar Portugis di Semenanjung Iberia.

Biarkan sajalah para kritikus berceloteh menyebutkan dan menggambarkan suatu masa di Cape-Verde sebagai periode yang suram, akan tetapi selagi bahasa Kreol di situ dianggap bahasa Portugis yang bebas dan karya-karya sastra tetap hadir maka semua celoteh itu bahkan bisa dijadikan inspirator oleh para sastrawan. Apa arti Si Muka Selamba Macedo bagi Riau? Baru beberapa hari setelah memiliki sebuah gedung teater di Pekanbaru triumvirat Zuarman Ahmad dan Al Azhar serta Marhalim Zaini sudah menggebrak dengan karya mereka berjudul Tun Teja. Lalu beri mereka ruang dan luang yang lebih leluasa. Itu saja!

Sabtu, September 15, 2007

Saigo atawa Encik Sumpok oleh Hasan Junus

(dimuat di riau pos edisi ahad 26 Agustus 2007)

Dalam usia 76 tahun Clint Eastwood pergi ke Jepang mengunjungi satu per satu alamat keluarga serdadu Jepang yang meninggal pada penghujung Perang Dunia Kedua di Iwo Jima. Para janda atau anak-anak yang dijumpainya seorang demi seorang membungkuk dalam-dalam menerima surat yang dibawanya, mengucapkan terima kasih dan memandang dengan mata tak berair sedikitpun lagi. Kisah para serdadu itu digambarkanya dalam film yang disutradarainya berjudul ‘’Letters from Iwo Jima” yang diproduksi oleh Warner Bros. Sejarawan Taufik Abdullah pada suatu kesempatan mengatakan kira-kira bahwa nadi sejarah paling keras berdenyut pada tokoh orang-orang kecil yang tanpa dirinya paparan sejarah tak akan kita kenal seperti sekarang. Orang-orang kecil itu mungkin saja seorang tukang masak pasukan Jepang di Iwo Jima yang bernama Saigo atau bisa juga Encik Sumpok seorang pendayung bidar dalam Perang Raja Haji Fisabililah di perairan Tanjungpinag.


SELASA tanggal 21 Agustus 2007 pagi Pak Tua yang mengelola kantin di lingkungan Riau Pos meninggal-dunia. Ia seorang ‘’Nobody” yaitu orang yang tak diperhitungkan di tengah gempita dan gemerlap dunia, karena ia bukan seorang wartawan yang mengejar Hadiah Adinegoro atau Anugerah Sagang. Akan tetapi orang seperti ini sebenarnya bisa mendenyutkan nadi sejarah kalau saja ia berhubungan dengan seorang ‘’Somebody” entah di mana dan bila, di tempat tak tertentu dan di waktu tak tertentu pula. Kepada almarhum yang Nobody bacaan Alfatihah dapat dilantunnya dengan khusuk di tengah malam hening bening lebih syahdu daripada yang difadhiahkan kepada seorang Somebody.

Kematian almarhum Pak Tua mengingatkan saya kepada tokoh utama dalam roman Jules Romains yang diterbitkan pada tahun 1911 yang berjudul Mort de quelqu’une yang diterjemahkan ke bahasa Inggeris dengan memakai judul The Death of a Nobody. Karya ini mengisahkan tentang kematian seorang sederhana yang task masuk masbuk dan terdaftar dalam perhitungan di mana dan kapanpun. Namun di mata sastrawan seorang yang sangat biasa dapat menjadi penting atau luarbiasa.

Sutan Sjahrir (lahir 1910) dengan nama-pena Sjahrazad dalam Indonesische overpeinzingen (1946) mengatakan perlunya kita membaca karya-karya André Malraux. Tokoh-tokoh dalam La condition humaine menyeruak sampai meliputi semua kalangan manusia dengan berlatarkan Syanghai tahun 1926. Di kota yang terbagi-bagi oleh kuasa-kuasa besar dunia itu ada tokoh-tokoh Tschen dan Kyo Gisors, ada isteri Kyo bernama May, seorang perempuan Jerman, ada Baron de Clappique, seorang penjudi berkebangsan Perancis, dan lain-lain.

Karya Malraux ini dapat dipandang sebagai lanjutan dari karyanya yang terdahulu yang berjudul Les Conquerants (‘’Para Pemenang”) yang berlatar-bekakang Timur Jauh, kawasan Asia yang merujuk pada pusatnya di Cina dan dalam kacah revolusi sosial dan politik yang mendidih. Sedangkan La Condition humaine lebih tegas memfokuskan locus atau penempatan kejadian di Shanghai yang dalam ejaan lama bahasa Perancis dulu dituliskan Chang-Hai pada bulan Maret tahun 1926 ketika kota itu dikepung oleh pasukan yang dipimpin oleh Chiang Kai Sek, sang pewaris politik Sun Yat Sen yang pada tahun 1911 telah berhasil mendirikan Republik Cina dengan memakai kendaraan politik Partai Nasionalis atau Kuomintang. Sun Yat Sen meninggal-dunia pada tahun 1925. Chiang Kai Sek melanjutkan membuat persatuan rakyat Cina yang pada masa itu dipimpin raja-raja perang @ warlords yang sangat berkuasa dan memerintah dengan cara lebih keras dan otoriter dari kaisar-kaisar Cina terdahulu. Jenderal Chiang pun tak kurang kerasnya dan dengan sikap yang tidak melunak ini pindah memimpin eksodur ke Taiwan yang dinamakan Formosa oleh orang Jepang. Shanghai dibagi-bagi oleh kuasa-kuasa Eropa (Inggerisd, Perancis dan Amerika Serikat) serta Rusia dan Jepang. Kota Shanghai sudah dikenal sebagai kota metropolitan sejak awal ketika kota-kota di Asia belum menjadi metropolitan. Inilah kirta-kira latar belakang karya Andre Malraux ayang dipujikan oleh seorang Sutan Sjahrir untuk dibaca oleh orang-orang Indonesia.

Taufik Abdullah mengatakan pada suatu kesempatan kira-kira bahwa nadi sejarah paling kuat berdenyut ketika menyentuh pada orang-orang kecil yang berperan besar dalam suatu peristiwa. Orang Perancis menawarkan Cherhez la femme! Sedangkan bangsa lain, lain lagi yang ditawarkan. Bagi Orang Melayu Riau yang berkenaan dengan riwayat Raja Haji Fisabililah, tokoh orang kecil itu bernama Encik Sumpok, seorang pengayuh bidar yang membawa pemimpin Riau itu dalam perang di perairan Tanjungpinang. Dalam karya Herman Melvile (1819-1891) Moby-Dick kapal ‘’Pequod” dalam pelayaran terakhir menangkap ikan paus di laut lepas dinakhodai oleh Kapten Ahab dan satu-satunya anak buah kapal yang selamat Ishmael untuk menyampai kisah itu kepada dunia (=pembaca).

Clint Eastwood pada usia 76 tahun masih menyutradarai sebuah film yang sangat bagus berjudul Letters from Iwo Jima yang diproduksi oleh Warner Bros. Orang kecil yang berperan besar dalam film ini bernama Saigo, tukang masak pasukan Jepang yang diperankan oleh Kazunari Ninomiya. Orang besar dalam film ini ialah Jenderal Tadamichi Kuribayashi yang diperankan oleh Ken Watanabe. Padanan pas seorang Saigo dan seorang Tadamichi Kuribayashi dalam film yang disutradarai oleh Clint Eastwood dengan novel sejarah yang berlatarkan Perang Riau tahun 1784 ialah seorang Encik Sumpok dengan seorang Raja Haji Fisabililah.

Dengan rambut yang putih membuih Clint Eastwood membawa ke Jepang sekantong surat-surat dari Iwo Jima dan mengantarkan surat-surat ke semua alamat. Dalam karya Taha Hussein (1889-1973) Ahlam Syahrazad (Mimpi-mimpi Syahrazad) tak muncul tokoh pembantu atawa babu atawa bedinde yang diam-diam menguping rangkaian cerita yang dikisahkan melalui lidah petah Syahrazad. Nama-nama seperti ini dapat ditambah sehingga menjadi sangat panjang di antaranya khdam Rasulullah yang pada suatu waktu mengikut perjalanan Junjungan Alam ke pekuburan Baqi. Atau khadam Imam Bukhari yang memanaskan salju pada subuh hari agar sang Imam bisa berwudhu’, penccicip anggur kaisar Napoleon Bonaparte szemasa pembuangannyaz di Elba dan di St Helena, dan nama-nama yang terus bermunculan berpanjang dan berkepanjangan.

Setelah selesai menyerahkan semua surat-surat para almarhum tentara kemaharajaan Jepang itu Clint Eastwood merasa lega. Pikir hatinya, ‘’Benarlah sejarawan Indonesia yang bernama Taufik Abdullah itu ketika ia mengatakan bahwa nadi sejarah paling keras berdenyut pada tokoh orang-orang kecil yang tanpa dirinya paparan sejarah tidak akan kita kenal seperti sekarang.” Orang-orang kecil itu barangkali bernama Saigo atawa Encik Sumpok atawa ….. atawa ….. atawa ….. atawa …..

ROXANE oleh Hasan Junus

(dimuat di riau pos edisi ahad 9 Agustus 2007 )


Dalam suratnya kepada Usbek di Paris salah seorang perempuan jelita penghuni harem di negeri Persia bernama Roxane tertangkap basah ketika sedang berada dalam pelukan seorang lelaki, lalu dibunuh oleh para pengawal yang terdiri dari orang-orang kasim. Peristiwa dramatis ini tertuang dalam surat yang ke-161 sebagaimana tertera dalam dua buku terbitan lama yaitu pertama susunan PM Maas, ‘’Les Grands écrivains français – Esquisse historique et anthologie illustrée de la littérature française”, LCG Malmberg, Bois-le Duc, 1834, dan yang kedua Dr JB Besancon & W Struik ‘’Abrégé de l’histoire de la littérature française”, JB Wolters, Groningue Batavia, 1938. Di dalam akedua buku ini terdapat beberapa surat yang berasal dari karya Montesquieu yang terkenal berjudul ‘’Lettres persanes” (Surat-surat Persia) yang tercatat terbit buat pertama kali pada tahun 1721.


BERSAMA dengan Voltaire dan Jean-Jacques Rouseau, Montesquieu merupakan satu dari tiga nama triumvirat pemilik pikiran-pikiran yang mendorong terlaksananya Revolusi Perancis yang terkenal dengan semboyan solidaritas, persamaan, dan persaudaraan. Karya Montesquieu yang sangat dalam berpengaruh ialah De l’esprit des lois (1748) di mana untuk pertama kalinya orang mengenal trias politica yang langsung mengguncang sendi-sendi aritostokrasi di Perancis dan Eropa, lalu menyebar ke seluruh dunia.

Charles-Louis de Sécondat Baron de la Brede et de Montesquieu (1689-175) sendiri mengatakan dalam Lettres persanes surat ke-11 dari Usbek di Paris kepada Mirza di Isfahan yang mengatakan bahwa ‘’barangkali pecahan cerita berikut ini lebih dapat menyentuhmu daripada filsafat yang pelik” (Peut-etre que ce morceau d’histoire te touchera plus qu’une philosophie subtile).

Karena itulah surat Roxane di sebuah harem di kota Isfahan, Persia, kepada Usbek di Paris menyatakan tentang saat-saat terakhir seorang penghuni harem yang melanggar aturan yang dibuat para penguasa sehingga surat terakhir itu ditulisnya sementara bisa racun hukumanya mulai menjalari urat-urat di tubuhnya.

Oui, je t’ai trompé, j’ai séduit tes eubuques, je me suis jouée de ta jalousie, et j’ai su, de ton affreux sérail, faire un lieu de délices et de plaisirs.

(Ya, memanglah, aku telah mengkhianatimu, telah kugoda orang-orang kasimmu, telah kumanfatkan rasa cemburumu, telah kuubah haremmu yang mengerikan menjadi tempat penuh garirah dan nikmat.)

Je vais mourir: le poison va couler dans mes veines. Car que ferai-je ici, puisque le seul homme qui me retenait à la vie n’est plus? Je meurs; mais mon ombre s’envole bien accompagnée; je viens d’envoyer devant moi ces gardiens sacrilèges qui ont répandu plus beau sang du monde.

(Aku akan mati: racun akan mengalir di urat-urat tubuhku. Apa yang akan kulakukan sesudah satu-satunya lelaki yang membuat aku bersemangat hidup sudah pergi? Aku akan mati; tapi bayang-bayangku melayang bersama kekasihku; aku mengusir para penjaga celaka yang telah menumpahkan darah paling berharga di dunia ini.)

Comment as-tu pensé que je fusse assez crédule pour m’imaginer que je ne fusse dans le monde que pour adorer tes caprices? que, pendant que tu te permets tout, eusses le droit d’affliger tous mes désirs? Non! J’ai pu vivre dans ala servitude, mais j’ai toujours tenu dans l’indépendance.

(Bagaimana kau memikirkan aku percaya saja tentang aku ada di dunia ini Cuma untuk memuja kehendak-kehendakmu yang aneh? Tentang hakmu melukai hasratku sementara kau bisa berbuat sesukamu? Tidak! Aku mungkin hidup menghamba namun aku tetap merasa bebas.)

Tu devrais me rendre grâces encore du sacrifices que je t’ai fait: de ce que je me suis abaissee jusqu’à te paraître fidèle; de ce que j’ai lâchement gardé dans mon cœur ce que j’aurais dû faire paraître a tout la Terre; enfin, de ce que j’ai profané la vertu, en souffrante qu’on appelât de ce nom ma soumision à tes fantaisies.

(Mestinya kau berterima-kasih karena pengorbanan yang telah kulakukan buatmu: kurendahkan dirinya sepertinya aku setia padamu; dendamku kupendam dalam hati secara pengecut, padahal seharusnya kuperlihatkan pada seluruh Alam terbentang. Ujung-ujungnya kukotori kebajikan dengan cara menerima anggapan bahwa kepasrahanku pada kemauanmu ialah suatu kebajikan.)

Tu étais étonné de ne point trouver en moi les transports de l’amour. Si tu m’avais bien connue, tu y aurais trouvé toute la violence de la haine.

(Tentulah kau merasa heran sebab tidak mendapatkan sedikitpun rasa cintaku padamu. Sekiranya kau mengenal dahu lebih baik, akan kau lihat adanya perasaan benci yang menggelegak.)

Mais tu as eu longtemps l’avantage de croire qu’un cœur comme le mien t’était soumis. Nous étions tous deux heureux: tu me croyais trompée, et je te trompais.

(Akan tetapi untung saja selama ini selama kita bersama kau menyangka bahwa hatiku ini ialah milikmu. Selama itu kita nampak bahagia: kau menyangka kau telah mengkhianati daku, padahal aku yang telah mengkhianatimu.)

Ce langage, sans doute, te paraît nouveau. Serait-il possible qu’après t’avoir accablé de douleurs, je te forcasse encore d’admirer mon courage? Mais c’en est fait: le poison me consume; ma force m’abandonne; la plume me tombe des mains; je sens affaiblir jusqu’à ma haine; je me meurs.

(Tentu saja, bahasa yang kelihatannya saja baru bagimu, apakah masih mungkin agaknya, setelah demikian rupa aku menyakitimu, aku memaksamu mengagumi keberanianku? Akan tetapi semua ini sudah terjadi: racun akan menjalari tubuhku, kekuatan akan meninggalkan diriku; kalam akan terlepas dari pegangan tanganku, bahkan kurasa rasa benciku padamu pun melemah; aku akan mati.)

Surat dahsyat dari Roxane di sebuah harem Isfahan, Persia, kepada Usbek di Paris itu bertanggal 8 Rabiul-awal tahun Masehi 1720.

Sebagai salah-seorang peletak dasar bagi Revolusi Perancis maka Montesquieu bersama Voltaire dan Rousseau menyemai benih-benih perlawanan yang menghentikan laju kekuasaan feodalisme dengan aristokrasinya yang sewenang-wenang. Pengarang tiga serangkai ini menolak tradisi yang sudah berdiri lama tiada mau bergeser mermberikan jalan, dan mereka berupaya membuka dasar kebebasan dan menegaakkan hak-hak dasar kemanusiaan zaman modern kita. Karyanya yang di dalamnya ada tokoh Roxane yang harus menghakhiri hidupnya dengan hukuman mionum racun (seperti Sokrates) dihidangkan dalam bentuk epistolaire yaitu terdiri dari surat-surat.

AHAD oleh Hasan Junus

(dimuat di riau pos edisi ahad 27 Mei 2007)


Dalam rubrik ‘’Konsultasi’’ KOMPAS Minggu 8 Mei 1994 seorang ibu di Cirebon mengkhawatirkan perkembangan jiwa anaknya. Suatu Ahad dia dibawa sang ayah pesiar di pantai, pulangnya si anak bercerita kepada ibunya bahwa dia melihat ikan-ikan terbang, dan orang-orang pun terbang di atas laut. Pernah si anak bercerita seorang teman mau makan dia, dan teman lain hanya sepedanya pergi ke sekolah. Leila Ch Budiman yang memimpin rubrik itu mengatakan bahwa penyebab utama ialah si anak belum dapat membedakan mana yang fantasi, mana mimpi dan mana pula yang kongkrit. Dunianya masih campur baur. Bukankah si kecil ada kalanya menangis ketika bangun tidur, karena mainan dalam mimpinya tiba-tiba hilang. Dia mungkin pernah melihat lukisan Marc Chagall, bukan saja ikan terbang tapi bahkan main biola. Dengan mengembangkan imajinasi dan kreativitas anak ini mungkin jadi pengarang bagus, tidak hanya di hari Ahad.


JOSEPH BRODSKY, penyair dan Nobelis tahun 1987, tahun paling keras pada puncak titik didih dalam Perang Dingin antara blok Sovyet dan blok Amerika Serikat. Ia dimusuhi oleh pemerintahnya, dipersalahkan bahkan karena ia tak sempat berpendidikan tinggi sehingga dianggap benalu masyarakat. Ia lahir di Leningrad (artinya: kota Lenin) tahun 1940, mendapat suaka politik di Amerika Serikat dan meninggal-dunia di situ tahun 1996. Dalam bukunya Less Than One ia menekankan bahwa banyak sekali folklore dan cerita anak-anak yang sebenarnya sangatlah surealistis.

Penyair Rusia yang tragis lainnya Osip Mendelstam (1891-1938) banyak memanfaatkan dongeng, cerita pusaka dan cerita anak-anak dalam karya-karya puisinya. Demikian pula dengan penyair Inggeris Oscar Wilde (1854-1900) dan penyair Amerika Serikat Carl Sandburg (1878-1967). Carl Sandburg menghasilkan pula kisah anak-anak Rootabaga Stories yang terbit tahun 1922; karya ini memperlihatkan keakraban Carl Sandburg dengan apa yang dinamakan ‘’folk ballad’’ dan ‘’nonsense verse’’ dengan mengemukakan tokoh-tokoh seperti Hot Dog the Tiger, Gimme the Axe, White Horse Girl, Blue Wind Boy, dan Jason Squiff the Cistern Cleaner. Ini semua diikuti oleh karya lanjutan Rootabaga Pigeons (1923), Rootabaga Country (1929) dan Potato Face (1930). Kalau William Faulkner membangun kawasan imajinatifnya dengan nama Yoknapatawpha, Gabriel García Márquez dengan Macondo, dan kawasan impian Carl Sandburg yang sengaja diuntukkan buat anak-anak dinamakan Rootabaga.

Nathaniel Scarlet Letter Hawthorne (1804-1864) juga tak melupakan para pembaca usia muda. Cerita anak-anaknya terhimpun dalam A Wonder-Book for Girls and Boys (1853) yang antara lain berisi enam mitologi Yunani yang telah ditulis kembali oleh Nathaniel Hawthorne.

Jangan lupa bahwa kritikus sastra yang pertama ialah kanak-kanak. Ini dibuktikan ketika kanak-kanak itu menolak cerita yang ini tapi mau cerita itu, dengan alasan cerita yang ini tak hebat perangnya sedangkan cerita yang itu banyak dan hebat perangnya. Kritikus cilik ini tidakkah terpengaruh oleh pencerita yang kebanyakan perempuan sehingga kisahnya bergaya feminin? Timur mengenal Sheherazad yang perempuan.

‘’Dongeng,’’ kata filsuf Amerika Serikat berdarah Spanyol George Santayana @ Jorge Agustín Nicolás Ruiz de Santayana (1863-1952), ‘’yang tak lain dari tahayul jika didekati secara sinis, menjadi puisi jika didekati dengan penuh kasih.’’ Pendapat itu baik disanding dengan kata-kata pengarang Jerman Peter Härtling (lahir 1933) yang mengatakan, ‘’Märchen können vergnügen und können erschrecken wie alle Literatur’’ (Dongeng dapat menghibur dan dapat pula mengejutnya sebagaimana semua karya sastra). Dalam dongeng atau cerita-cerita fiksi imajinasi manusia boleh menguakkan ruang, mendedas maju atau mundur melompati waktu, dan karya sastra tumbuh di atas lahan seperti itu yang disemai sejak masa dini dalam diri seorang anak manusia.

Cerita dan lirik dendang saja belum cukup muatan untuk menjadi karya sastra yang unggul. Dengan dua sayap yang bernama ‘’indah’’ dan ‘’faedah’’ (terjemahan dari dulce et utile Horatius) barulah cerita dan dendang itu dapat terbang mengitari cakrawala kehidupan. Itulah sebabnya karya sastra dari awal sampai tamatnya sudah diketahui pun tetap saja dapat terus dinikmati berulang-ulang tanpa jemu. Dr Will Derks dari Universitas Leiden dalam penelitiannya di Pasir Pengarayan semasa menyusun disertasinya yang berjudul The Feast of Storytelling – On Malay Oral Tradition menceritakan bagaimana ia pada siang hari membaca sekian jilid Joseph und seiner Brüder karya novelis Nobelis Thomas Mann dan pada malam hari mendengarkan cerita Panglimo Awang baik dari Pak Ganti maupun Taslim.

Dongeng, cerita anak-anak, cerita pusaka @ cerita rakyat, kisah peri-peri dan yang surrealistis semacam itu telah memendap sejak lama dari ruang rohani manusia. Karena itulah banyak para pandai-sastra yang beranggapan karya sastra yang dihasilkan oleh penulis yang berusia muda setara dengan karya orang dewasa. Dengan kata lain sastra tidak mengenal usia, yang perlu dicatat usianya hanya badan yang tentu berguna untuk urusan pengobatan. Oleh karena itu banyak pandai-sastra yang menyambut dengan gembira karya-karya yang dihasilkan oleh para pengarang muda. Di antara mereka inilah yang kemudian tumbuh menjadi sastrawan besar yang melompati zaman seperti Arthur Rimbaud dan Minou Drouet dalam puisi, dan Laxness, Francoise Sagan, Raymond Radiguet, Carrera dalam prosa. Pada mulanya anak-anak hanya merekam bunyi dan suara. Lalu ia melihat gambar-gambar yang dipantulkan perasaan dan pikiran yang diantar oleh bunyi dan suara tadi. Gambar-gambar puitis itu berbentuk nyinyin dan fantasmagoris, realistis dan surrealistis. Semua itu dijadikan tabungan untuk ditranformasikan dengan alat yang bernama bahasa (anak-anak). Bunyi tadi bisa saja menjadi simfoni, bisa kakofoni. Gary Provost berkata, kepada para pengarang muda, seperti juga dulu pernah ditulis penyair Rainer Maria Rilke kepada seorang penyair muda kesayangannya, ‘’Tulisanmu harus menciptakan bunyi-bunyi di dalam pikiran pembaca, bunyi-bunyi yang dapat menyejukkan dan memuaskan, atau menggetarkan, membangkitkan gairah atau kegerunan. Inilah imbalan bagi gubahan simfoni, samasekali bukan kakofoni, di dalam prosamu.’’

Kerja kreatif paling awal dalam penciptaaan karya sastra ialah menciptakan makna (to create the meaning) lalu membina sesuatu yang mungkin dinamakan sebagai kesadaran pada cerita (story awareness). Telur tembakul dalam dongeng kita pastilah sesuatu yang tidak berhenti pada telur sejenis ikan di laut. Mungkin saja yang benar ialah tafsiran Freudian yang tak disukai para tradisionalis Melayu. Ibu di Cirebon tak perlu khawatir pada perkembangan anaknya. Bisa-bisa anak ibu bisa menjadi seorang pengarang yang tak kepalang tanggung cemerlangnya

Jumat, September 14, 2007

HUJAN HITAM oleh Hasan Junus

(dimuat di Riau Pos Edisi Ahad 20 Mei 2007)

Diiringi musik khas Jepang yang menyentak-nyentak penuh kejutan di layar mula-mula muncul huruf Cina ‘’koku’’ yang dibaca oleh orang Jepang dengan tiga cara yaitu ‘’kuro’’, ‘’kuroi’’, ‘’kuromu’’, ‘’kurozumu’’ artinya ‘’hitam’’, lalu di bawahnya muncul pula huruf Cina ‘’u’’ yang dibaca oleh orang Jepang sebagai ‘’ame’’ artinya ‘’hujan’’. Film Jepang hasil produksi tahun 1989 berjudul ‘’Kuroi-ame’’ yang diterjemahkan ke bahasa Inggeris sebagai ‘’Black Rain’’ itu tentulah berarti ‘’Hujan Hitam’’ dalam bahasa Indonesia. Film itu dibuat berdasarkan sebuah novel atau roman berjudul ‘’Kuroi-ame’’ karya Ibuse Masuji, seorang pengarang Jepang yang lahir di Kamo, perfektur Hiroshima 15 Februari 1898 dan meninggal-dunia di Tokyo 10 Juli 1993. ‘’Kuroi-ame’’ ialah novel @ roman karya Ibuse Masuji yang terpanjang dan terpenting, sebuah elegi sunyi tentang jatuhnya bom atom di Hiroshima.


IBUSE menghabiskan masa kecilnya di desa sebagai anggota keluarga petani yang sederhana, bebas dan bahagia. Pada tahun 1917 ia pindah ke ibukota Jepang sambil memperdalam sastra dan lukisan. Ibuse Masuji memilih kesusastraan Perancis yang kelak juga menjadi pilihan dua peraih Hadiah Nobel bidang kesusastraan yaitu Kenzaburo Oe, orang senegerinya dengan Ibuse peraih tahun 1994, dan Gao Xingjian peraih tahun 2000 dari Cina. Persamaan Ibuse Masuji dengan Kenzaburo Oe juga pada tokoh yang sama-sama pilih yaitu John Manjiro yang dalam karya Ibuse ada dalam Jon Manjiro hyoryuki, karya yang terbit tahun 1937. Terjemahan ke bahasa Melayu karya Ibuse Masuji Hujan Hitam (Dewan Bahasa dan Pustaka Kementerian Pendidikan Malaysia, Kuala Lumpur, 1993) hasil alih-bahasa Fatimah Ahmad & Zulkifli Ahmad dari terjemahan bahasa Inggeris Black Rain saya dapatkan dari kiriman Dr Bazrul Bin Bahaman dari Universiti Malaya sebagai tanda ingat yang seringkali dilakukannya kepada saya. Kecenderungan mutakhir dalam menerjemahkan karya sastra ialah terjemahan karya sastra itu seyogianya dilakukan dari bahasa sumber yang orisinal dan bukan terjemahan dari terjemahan. Tetapi yang itupun memadai daripada samasekali tiada.

Ketika harus memilih satu di antara dua kekasih yang sama-sama dicintainya Ibuse Masuji memilih Sastra Perancis meskipun ia juga dikenal sebagai peminat berat karya-karya Tolstoy dan Chekov dalam Sastra Rusia.

Hujan Hitam ialah elegi sangat pahit tentang sebuah kota dan penduduknya. Pengarangnya memang tak mau menggambarkan tentang bencana yang menimpa kota Hiroshima tapi membuat latar cantik di kawasan Selatan negeri Jepang, adat istiadat lama penghuni kawasan itu, orang-orang yang terdiri dari pribadi-pribadi yang tak pernah tunduk kalah, segala hal tentang kehidupan sehari-hari masyarakat, semua berbeda sangat dengan keganasan yang diakibatkan jatuhnya bom atom yang menutup suatu babak penting dalam sejarah Jepang.

Di desa Kobatabe yang terletak kira-kira seratus kilometer di sebelah Timur kota Hiroshima Shigematsu Shizuma dan isterinya disangka penduduk menyembunyikan kenyataan bahwa anak-buahnya Yasuko terkena radiasi akibat bom. Sementara itu pada tanggal 6 Agustus 1945 pagi di Jembatan Temma guru-guru sebuah Sekolah Menengah di Hiroshima memimpin paduan suara murid-muridnya menyanyikan lagu yang liriknya berarti lebih-kurang kalau aku pergi ke laut mayatku akan dibungkus ombak, kalau aku ke gunung mayatkan akan diselimuti rumput, ‘’Umi yu-kaba mizu ku kabane, yama yu-kaba kusa musu kabane…’’ Lagu yang dinamakan juga nyanyian selamat tinggal terhadap dunia dan kehidupan ini sangat dikenal di kalangan orang-orang Asia Tenggara yang pernah diduduki oleh pemerintah Balatentera Dai Nippon di sekitar Perang Dunia Kedua.

Pada hari itu pada pukul 8:15 pagi sebuah bom atom dijatuhkan oleh pihak Amerika Serikat di atas kota yang molek itu. Bom berkekuatan 22 kiloton bahan peledak itu telah menghancurkan kota Hiroshima dan sekitarnya. Penduduk Hiroshima pada waktu itu lebih-kurang 420 ribu jiwa, sedangkan jumlah korban bom dahsyat itu menurut Le Petit Larousse Ilustré 1993 berjumlah 140 ribu jiwa. Konon 60% kawasan Hiroshima musnah dan punah-ranah. Lalu datang giliran Nagasaki yang merenggut korban berjumlah 70 ribu jiwa. Lalu yang tinggal dari kedua kota molek yang ditata dengan semangat seni bangun kesenimanan tinggi Jepang itu hanyalah kesedihan. Cuma sendu dan sedu sedan!

Barangkali murid-murid Sekolah Menengah yang menyanyikan lagu Umi yu-kaba di Jembatan Temma pagi-pagi sebelum jam 8 itu banyak yang langsung meninggal-dunia. Atau karena panas luarbiasa yang sampai ratusan derajat Celcius itu menyebabkan beberapa murid lenyap menghilang dan cuma meninggalkan bayang-bayang di tanah. Radiasi bahkan menyebabkan hujan yang turun siang dan petang itu menakutkan rupanya karena berwarna hitam. ‘’Hujan hitam!’’, ‘’Hujan hitam!’’, ‘’Kuroi ame!’’ teriak penduduk Hiroshima bersahut-sahutan.

Sejak itu rangkaian dukacita berjela-jela mengikuti bayang-bayang para penduduk. Banyak di antara mereka yang sudah tak ingat lagi bilakah terakhir mereka mencecap lezatnya kue mochi di lidah. Entah kapan mereka merasakan nasi pulut kepal dibungkus dalam daun bambu muda? Suatu kali mereka mendapat pembagian beras barley dengan beberapa kaleng daging yang membangkitkan selera. Tapi seperti diungkapkan oleh pengarang Ibuse Masuji, ‘’Terasa mubazir memakan sesuatu yang sangat bagus di tengah-tengah kemusnahan kota ini.’’

Gambaran ini mengingatkan saya pada suatu bagian dari Doktor Zhivago karya Boris Pasternak ketika di tengah kota Moskwa yang dikelilingi bencana kelaparan, tetapi di suatu rumah seseorang sedang menghadapi angsa panggang. Orang itu berkata, ‘’Di tengah kota yang kelaparan, angsa panggang bukanlah angsa panggang.’’ Begitu di Moskwa dalam karya Boris Pasternah, begitu pula di Hiroshima dalam karya Ibuse Masuji.

Tidak boleh ada the hegemony of meaning dalam karya sastra sehingga bencana dan malapetaka hanya boleh ada dalam sastra Rusia dan sastra Jepang, tidak dalam sastra Indonesia, lebih tidak dalam sastra Indonesia yang ditulis di Riau. Kebuluran karena perang yang ada di Moskwa dan Hiroshima juga pernah dirasakan oleh orang Riau pada masa Konfrontasi dengan Malaysia ketika kita sibuk dengan Ganyang Malaysia yang tertulis Ganjang Malaysia. Orang Riau pernah makan bulgur dan bukan beras pada suatu masa tertentu. Bencana, malapetaka atau prahara pernah dan sudah pula kita alami dalam peritiwa seperti Tsunami di Aceh dan Gempa di Yogyakarta. Semua itu pasti menggamit para seniman, dan jangan bilang engkau tak tahu pada itu semua. Satu kata untukmu, ‘’Perdulilah!

BIBI KOMALA oleh Hasan Junus

(dimuat di Riau Pos Edisi Ahad 22 April 2007)

Kalau Anda sampai ke India, sempat melihat Taj Mahal dan mengunjungi makam Akbar, singgah jugalah ke desa Kako di Bihar, karena ada suatu kubur yang sangatlah istimewa di situ. Istimewa? Istimewanya ialah itu kubur seorang yang dianggap suci, sebangsa wali atau orang keramat. Biasanya wali keramat itu seorang lelaki tapi Bîbî Kamâlo yang empunya kubur di Kako, Bihar, sejak abad ke-14 ini seorang perempuan. Saya tak pernah sampai menjejakkan kaki di India tapi karena baru-baru ini mendapat kiriman sebuah buku setebal 588 halaman dari École française d’Extrême-Orient hasil kumpulan Henri Chambert-Loir dan Claude Guillot ‘’Ziarah dan Wali di Dunia Islam’’ saya menjadi tertarik pada tokoh wali keramat perempuan ini seperti tertariknya saya kepada Syaripah Syuhada dan seorang wali keramat di Penyengat dalam buku kumpulan ‘’Cakap-cakap Rampai-rampai Bahasa Melayu Johor’’ karya Haji Ibrahim tahun 1868.

BARANGKALI nama-nama seperti Bîbî Kamâlo di Kako dan Syaripah di sebuah pulau di kawasan Riau, seorang keramat keturunan Arab di Penyengat, orang gila tak dimakan api di Senggarang akan saya tuliskan dengan senafas atau sambil satu kali bernafas dalam novel yang tak juga selesai. Kalau tokoh perempuan yang hanyut dari pantai utara Pulau Jawa ke Riau lalu jatuh hanyut di laut Riau dan tersadai telanjang bulat berbungkus daun di sebuah pulau itu berasal dari tulisan Haji Ibrahim, tokoh Bibi Kamâlo saya dapatkan dari tulisan Catherine Champion ‘’Wali Perempuan di India – Bibi Kamâlo di Kako’’ dari halaman 261 sampai 267 dalam buku Ziarah dan Wali di Dunia Islam hasil kumpulan Henri Chambert-Loir & Claude Guillot terbitan bersama Serambi & École française d’Extrême-Orient & Forum Jakarta-Paris & Jakarta 2007.

Bîbî Kamâlo rajin dan tunak beribadat, tapi dia juga seorang yang suka membangkang dan juga dikenal sebagai seorang tukang sihir yang hebat. Pada kata ‘’tukang sihir’’ ini kita berhenti sejenak. Karena perempuan ini seorang muslimah yang sangat taat, baiklah kata ‘’tukang sihir’’ diartikan sebagai seorang yang bisa mengobat orang-orang sakit secara gaib.

Le Petit Larouse Illustré 1993 halaman 1183 mencatat bahwa Bihar ialah suatu negara bagian India seluas 174 000 kilometer persegi, berpenduduk 69 823 000 jiwa, dengan ibukota Patnâ. Keterangan Catherine Champion tentang Bihar ialah bahwa agama Islam masuk ke kawasan itu pada akhir abad ke-12 dan sekarang jumlah penganut agama itu sebanyak 14% dari jumlah penduduk. Enam tariqat besar Islam yang dikenal di kawasan ini ialah Firdausiyah, Suhrawardiyah, Chistiyah, Qâdiriyah, Shattâriyah, dan Madâriyah.

Di antara kubur keramat para wali yang bertebaran di sekotah Bihar itu ada pula kubur keramat Bîbî Kamâlo yang terletak di desa Kalo, distrik Jahanabad.. Orang-orang bersalut mistis seringkali menyakitkan hati kebanyakan orang dan orang kebanyakan. Konon suami Bîbî Kamâlo bosan dengan isterinya yang terlalu saleh, lalu pada suatu malam meninggalkannya dengan diam-diam. Namun setiap kali si suami tiba di ujung jalan, ternyata ia berada di samping ranjang suaminya. Demikian terjadi sekian kali sehingga suami ingin lari itu berkesimpulan Bîbî Kamâlo memang seorang perempuan dan isteri yang sakti sehingga suami itupun mengalah.

Wali keramat perempuan ini berasal dari keturunan sederetan panjang sufi-sufi Bihari terkenal sebagai pengamal tariqat Suhrawardiyah dan Firdausiyah. Dari garis ayahnya dia berasal dari pakar ilmu qalam Jerusalem Tâl Faqîh yang datang menyebarkan agama Islam ke India tahun 1180. Sedangkan garis ibunya membabit kadi-kadi penyebar Islam dari Turkestan di Bihar pada abad ke-13.

Cerita lain tentang Bîbî Kamâlo ialah mirip dengan cerita Haji Ibrahim dalam bukunya Cakap-cakap Rampai-rampai Bahasa Melayu Johor (huruf Arab, Percetakan Gubernemen Batavia, 1868) tentang orang gila tak dimakan api yang kononnya terjadi di

Senggarang atau Seberang (dari Pulau Penyengat). Bukankah para wali keramat sering dipandang oleh anggota masyarakat sebagai orang yang intimewa, genius, dan kadang-kadang mungkin gila? Ketika api mendekati rumahnya, Bîbî Kamâlo tetap dan terus saja tidur. Dan begitu api sudah sangat mendekati rumahnya kebakaran itu lenyap dengan menakjubkan. Konon dari peristiwa inilah munculnya ungkapan orang Kako yang berbunyi, ‘’Sekotah Kako terbakar, tetapi Bîbî îKamâlo tidur nyenyak.’’ Begitulah bunyi sindiran terhadap seorang wali keramat perempuan dilantunkan berbancuh dengan kekaguman yang jujur. â

Kalau Anda berziarah ke kubur Bîbî Kamâlo sambil berobat penyakit gaib Anda akan disuruh melakukan ritual khusus, mula-mula ditanya hal-hal semacam ini: ‘’Siapa Anda? Agama Hindu atau Islam? Anda jin? Atau kirat (semacam hantu kubur), atau dev (yaitu iblis), atau devî (roh gadis yang meninggal sebelum kawin), atau curail (perempuan yang meninggal sebelum melahirkan), atau bhût (roh orang yang mati sebelum waktu kematiannya), atau pari (yaitu semacam peri). Apakah Anda roh petapa Hindu yang mati tak wajar? Tinggal di mana? Mengapa kau mengganggu orang ini? Mau apa Anda? Apa yang harus kami lakukan agar Anda pergi?’’

Tempat kuburan keramat Bîbî Kamâlo di tempat ketinggian itu ialah sebuah situs suci agama sebelumnya. Ada tersebar legenda bahwa tempat itu dulu digunakan untuk praktek religius lokal Hindu membabit nama Dasaratha dalam epos Ramayana. Konon danau yang ada di bawah sengaja dibuat oleh isteri sang raja yang bernama Kaikeyi. Selain dari Hindu tempat itu juga membabit Buddhisme karena seorang arkeolog menemukan sebuah arca Buddha yang memperlihatkan bahwa di situ dulu ada sebuah biara.

Bîbî Kamâlo berupaya keras mempertahankan tempat itu sebagai kawasan suci Islam. Ketua umat Buddha bernama Kanaka merasa terganggu oleh kehadiran wali keramat perempuan itu. Ia pun mencari akal agar dia pergi dari kawasan tersebut. Lalu diantarnya persembahan yang khas kepada Bîbî Kamâlo yang terdiri dari daging tikus. Ajaibnya ketika perempuan wali keramat itu hendak menyantap makanan itu tikus-tikus hidangan itu tiba-tiba hidup. Lalu Bîbî Kamâlo melepaskan kutukan kepada ketua umat Buddha itu dengan pengikut dan keturunannya. Tak lama setelah kejadian itu raja dan keturunannya dibunuh oleh para penduduk yang adalah rakyatnya sendiri.

Ketertarikan Anda dan/atau saya kepada Bîbî Kamâlo boleh kita tingkatkan sampai setinggi-tingginya sehingga mungkin kita menjadikan perempuan wali keramat itu sebagai salah-seorang tokoh utama atau tak-utama dalam sebuah karya sastra, entah dari genre apapun. Dengan semangat post-modernisme yang menggebu-gebu kita berdua mengajak para pengarang di sini mengisi luang dan ruang yang ada dalam mengisi gelanggang kesusastraan yang tersedia bagi kita. Bîbî Kamâlo mungkin berteman atau bertengkar dengan Syaripah karena mereka bertemu di Singapura. Mereka berdua sama-sama mandi air sulung di dua perigi suluk di belakang mesjid Pulau Penyengat.

ATAKA oleh Hasan Junus

(dimuat di Riau Pos Edisi Ahad 13 Mei 2007 )

Beberapa orang guru yang telah bertungkus lumus dan berhempas pulas menuntun para siswa mereka memperkenalkan, berakrab dan menggauli sampai menyatukan diri dengan kesusastraan seperti yang dilakukan oleh Musa Ismail, Hafney Maulana, MT Siallagan, dan lain-lain seyogianya perlu mendapat perhatian masuyarakat sastra dan masyarakat umumnya. Setidak-tidaknya para siswa yang sudah diarahkan dan dituntun ke gelanggang kesusastraan itu dapat muncul dan lahir sebagai penyair belia atau pengarang karya-karya yang dikenal sebagaui ‘’chicklit’’ atau ‘’teenlit’’ sebagaiamana yang berlangsung di bagian negeri kita terutama di Jakarta dan di beberapa kota besar di Pulau Jawa.
NAMA lengkap Ataka ialah Ahmad Ataka Awwalul Rizqi. Anak Taufiqurrahman, pegawai sebuah lembaga swadaya masyarakat di Yogyakarta. Tinggal di Jalan Turonggo No. 27, Pakuncen, Kecamatan Wirobrajan. Umurnya 14 tahun. Siswa SMPN 5 Yogyakarta.

Ada dua sosok manusia yang mempengaruhi Ataka sampai menjadi seorang pengarang chicklit atau teenlit, karya sastra yang dikarang dan diperuntukkan bagi mereka yang belum dewasa. Pada mulanya karya chicklit atau teenlit dikarang oleh orang yang sudah dewasa, kemudian umur pada pengarang karya jenis ini menurun sampai pada setingkat SMA, dan terus menurun pada usia SMP, bahkan ada juga yang SD atau setingkat itu.

Pada usia semuda itu Ataka telah berhasil melahirkan karya berjudul Misteri Pedang Skinhead 660 halaman. Karena karya ini akan diterbitkan pengarangnya sebagai trilogy, jadi kelak kira-kira tebal karya ini menjadi 3 kali 660 halaman, maka Ataka dapat dipandang sebagai pengarang chicklit (teenlit) dan juga pengarang novel monster yang ukuran tebalnya lebih dari 1000 halaman. Tak dapat disangkal bahwa Ataka ialah orang muda pertama yang mencapai gelar seperti itu.

Ada dua tokoh yang sangat berpengaruh pada kepengarangan Ataka. Tokoh pertama ialah guru bahasa Indonesia di sekolah SMPN 5 di Yogyakarta yaitu Yosepha Niken Sasati. Tokoh kedua ialah Faiz Ahsoul, salah-seorang aktivis Akademi Kebudayaan Yogya yang adalah sebuah komunitas penulis usia muda di Yogyakarta. Ibu guru Yosepha berpengaruh karena dia mengajarkan bahasa Indonesia , sedangkan Faiz Ahsoul karena bimbingan intelektual yang diberikannya. Karena mereka pernah memancing di sebuah sungai kecil Ataka lalu melukiskan Sungai Tak Bernama dalam karyanya.

Riwayat kepengarangan Ataka tidak lengkap kalau tidak disertai dengan kisah ia meraih juara kedua Olimpiade Fisika di Semarang. Dengan uang sebesar 4 juta rupiah itu ia membeli laptop seharga 6,95 juta. Kekurangan hampir 3 juta rupiah itu dipenuhi oleh ayahnya. Maka jadilah Ataka seorang pengarang muda yang menjanjikan.

Ataka tak pernah merasakan dinginnya salju, karena ia belum pernah menjejakkan kaki di Eropa. Tapi perjalanan fisik tidak sama dengan pengembaraan rohani. Nuansa Eropa dalam karyanya ialah hasil pengembaraan rohani. Tapi Ataka juga menghasilkan karya yang berjejak di bumi atau beraroma local; dua karya yang pantas disebutkan ialah Kenangan di Bumi Rencong dan Bulan Sabit di Langit Parang Tritis.

Ataka tidak sendiri. Sederetan nama yang muda yang berkarya dapat disebutkan seperti Nabila Nurkhalisah Harris, Ali Riza, Sri Izzati, Sha Sha, Melisa dan lain-lain melengkapi taman para penulis berusia muda ini.

Dr Murti Bunanta mengkhawatirkan para penulis usia muda ini hendaklah dijaga agar pertumbuhannya tidak terganggu. Dia membandingkan dengan para pemenang lukisan Asia yang setelah dewasa langsung menghilang. Tapi pertanyaan kita di sini dan kini mengapa pengarang berusia muda kita belum lahir seperti yang sudah hadir di Yogyakarta dan ibukota? Tentulah seyogianya kita harus memikirkan kenapa sampai hari ini di daerah kita belum muncul seorang sastrawan ‘’chicklit’’ atau ‘’teenlit’’ yang meyakinkan sebagaimana dicontohkan oleh sederetan nama-nama yang tercantum di atas. Sebagai langkah-langkah awal hadirnya Ataka, Nabaila Nurkhalisah Harris, Ali Riza, Sha Sha, Melisa, dan lainnya patut benar diperkernalkan seluas-luasnya kepada para siswa yang berat berminat kepada kesusastraan di sini sebelum meningkat pada perkenalan kepada sastrawan seluruh negeri kita, lalu seterusnya berkenalan dan bergaul dengan sastrawan dari segala penjuru dunia.

Pada awalnya hendaklah terbina suatu pilihan bebas di kalangan para siswa dari sekolah apapun. Jenis fiksi yang menjadi pilihan seorang siswa mungkin saja fiksi yang bermuatan kisah kriminal atau juga dikenal dengan cerita detektif. Dalam kawasan ini kesusastraan dunia memiliki George Simenon yang cukup luas membangkitkan perhatian bahkan seorang André Gide yang adalah seorang sastrawan Perancis yang sangat terkenal lagi pula peraih Hadiah Nobel. Dalam lingkungan sastra Indonesia di Riau cerita detektif diolah oleh tak kurang oleh sang pelopor Soeman Hs. Perlu dicatat karya Soeman Hs Percobaan Setia sampai-sampai diterjemahkan ke Bahasa Sunda yang dikenal sebagai Tjotjoba. Karya bahasa Melayu / Indonesia yang diterjemahkan ke bahasa Sunda, Jawa, Madura, dan bahasa-bahasa daerah di Indonesia lainnya merupakan suatu peristiwa budaya ayang unik dan menarik. Kajian pada bisang ini terlihat belum terlalu banyak menarik perhatian. Khusus tentang diterjemahkannya beberapa karya Soeman Hs ke bahasa Sunda jejak masa lalunya dapat dicari dari dikirimnya seorang guru dari Bandung Raden Marta Atmaja untuk belajar bahasa Melayu dengan pendeta budaya Raja Ali Haji di Pulau Penyengat. Ia membawa Kitab Pengetahuan Bahasa kembali ke Bandung. Untuk mendalami hal ini Jan van der Putten dan Al Azhar telah menerbitkan surat-surat Raja Ali Haji yang juga berisi hal tersebut dalam buku Dalam Berkekalan Persahabatan Surat-surat Raja Ali Haji Kepada Von de Wall, Kepustakaan Populer Gramedia, Jakarta, 2007.

Pilihan bebas itu bisa saja pada jenis kisah-kisah yang lain misalnya cerita silat atau cerita kongfu atau karate, cerita Western atau cerita koboi, cerita hantu atau peri-peri. Dari kawasan dan gelanggang inilah kelak calon-calon pengarang itu diarahkan sampai memiliki suatu visi yang orisinal dan yang inovatif. Untuk mencapai pergaulan sastra yang total maka para guru yang berdidikasi seperti nama-nama yang telah tertera di atas seyogianya diberi semangat agar terus berbuat tanpa jemu.

Kelak apabila hadir seorang sastrawan yang cemerlang bersinar dan mengibas dan mengibarkan bau yang harum di sekitarnya maka tak dapat tiada semua itu berpunca dari upaya tuan-tuan dan berpuncak pada apa yang bernama kesusastraan. Pada mulanya dalah perhatian, dan pada akhirnya ialah karya sastra

NIR ORANG oleh Hasan Junus

(dimuat di Riau Pos 01 April 2007 )

Nama ‘’Cyberpunk” bermula dari sebuah fiksi yang terbit pada tahun 1982 karya Bruce Bethke. Tepatnya pengarang fiksi sains itu menggunakan kata ‘’cybernetics” untuk menyatakan tentang suatu jenis sains yang menggantikan tempat manusia sehingga kalau kita memakai pengamatan filsuf Jean-François Lyotard maka sosok makhluk-tak-makhluk, manusia-tak-manusia, orang-tak-orang itulah barangkali yang diberi nama oleh Lyotard sebagai ‘’Inhumain” atau Nir-orang. Sedangkan kata ‘’punk” dipadankan dari nama kelompok musik cacaphonous yang merupakan pelengkap pandangan hidup nihilistis di kalangan para pemuda di tahun-tahun 1970 dan 1980-an kemarin.

TAHUN 1984 diprediksikan oleh George Orwell dalam novelnya Nineteen Eighty–four sebagai tahun kegerunan mendalam karena dunia kita ini sedang dikuasai oleh totalitarianisme yang buas ganas tak tanggung-tanggung dan tak kenal ampun. Akan tetapi pada tahun 1984 itulah pula terbitnya sebuah fiksi sains berjudul Neuromancer karya William Gibson yang merupakan punca gerakan atau aliran Cyberpunk.

Gerakan atau aliran ini tentulah berakar di masa lampau yang jauh, puncanya mungkin saja dari mitologi Yunani, lalu tiba-tiba orang menyebutkan serangkaian fiksi karya Jules Verne (1828-1905) seperti Voyages extraodinaires – Cinq semaines en ballon (1863; ‘’Perjalanan istimewa – Lima Minggu dalam Balon”), Le Voyage au centre de la terre(1864; ‘’Perjalanan ke Pusat Bumi”), De la Terre à la Lune (1865; ‘’Dari Bumi ke Bulan”), Vingt Mille Lieues sous les mers (1870; ‘’Dua Puluh Ribu Kaki di Bawah Laut”), dan lainnya. Karya-karya fiksi sains yang digolongkan klasik di Perancis itu dapat disandingkan dengan masakini seperti Dark Carnival (1947) dan The Martian Chronicles (1950; dibuat film 1966) oleh Ray Bradbury di Amerika Serikat.

Meskipun pencetus gerakan ini seorang pengarang bernama Bruce Bethke dan pemimpin ‘’Cyberpunk” dipercayakan kepada pengarang lain yang bernama William Neuromancer Gibson, ada seorang tokoh penting lainnya yang memutar roda gerakan ini. Ia seorang editor fiksi sains yang sangat terkenal sekali dan namanya ialah Gardner Dozois. Maka tiga serangkai inilah, Bethke-Gibson-Dozois, paling diperhitungkan dalam melahirkan serangkaian karya-karya yang tokoh utamanya ialah Nirorang. Sedangkan para anggota gerakan atau aliran Cyberpunk lapisan pertama terdiri dari para penulis fiksi sains seperti Samuel R Delany, Bruce Sterling, John Shirley dan Rudy Rucker.

Di dalam ruang dan tempat yang artifisial diperlukan bahasa yang artifisial. Bukan seperti bahasa Esperanto yang dicipta oleh Lejzer Ludwik Zamenhof (1859-1917) untuk mempersatukan orang-orang dari golongan tertentu, tapi semacam bahasa Klingon yang dituturkan oleh para alien yang entah berasal dari planet mana di ruang angkasa dan dapat Anda saksikan dalam film-film tentang semacam Star Trek atau Perang Bintang.

Kalau sesosok alien berdepan dengan Anda dan hendak mengatakan, ‘’Menyerahlah kau atau mati?” ia atau dia akan mengucapkan, ‘’blejeghbe’chugh vaj blHegh.” Untuk bertanya, ‘’Di mana restoran yang bagus?” menjadi, ‘’nuqDaq ‘oH Qe’ QaQaq’e.” ‘’Aku tak mengerti” dalam bahasa Klingon ialah ‘’jlyajbe.” ‘’Anda bisa berbahasa Klingon?” sama dengan ‘’Hol Dajatlh’a’.” ‘’Aku pening” yaitu ‘’jlwuQ.” ‘’Di mana kamar mandi?” yaitu ‘’nuqDaq ‘oH puchpa”e.”

Saya tak pernah belajar bahasa Klingon. Berani sumpah! Saya hanya membacanya dalam majalah berita TIME bertanggal 5 April 1993. Bahasa Klingon yang digunakan oleh para alien ini semangat penciptaannya dapat dibandingkan dengan bahasa yang muncul di bumi ini setelah revolusi informasi yang dahsyat habis-habisan. Hal ini karena mungkin sekali kebudayaan makhluk angkasa luar itu melangkah dimulai dari teknologi informasi dengan seperti yang kita alami di zaman serba cyber sekarang ini.

Keadaan ruang yang sebenarnya bukan ruang dalam pengertian yang konvensional, waktu yang juga bukan waktu yang konvensional, memerlukan ‘’inhumain” yaitu Nir-orang yaitu manusia yang bukan manusia seutuhnya sebagaimana dikenal dalam pengertian yang konvensional, pada gilirannya Nir-orang itu memerlukan bahasa yang juga bukan bahasa yang konvensional. Jadi keadaan ekstrim seperti ini dapat dipahami dengan mengikuti perkembangan teknologi informasi yang sekarang ini. Kehidupan yang artifisial pada gilirannya memang akan menghasilkan kecerdasan artifisial @ Artilect yang tak lain dari Artificial Intelect.

Akan tetapi keseragaman yang menjadi ciri alam cyber juga menghadapai tantangan. Sama benar halnya kekhawatiran Jean-François Lyotard sekitar tahun 1990 dengan kekhawatiran Karel apek dalam karya monumentalnya Válka s mloky (1936; ‘’Perang dengan Biawak”). Pada mulanya ialah kata. Dan kata-kata kemudian yang membentuk diri menjadi bahasa. Kapten J van Toch dengan kapalnya ‘’Kandong Bandoeng” di suatu kawasan sebelah Barat Pulau Sumatra mengajarkan kepada biawak-biawak bahasa manusia yang kemudian meningkat dengan pengetahuan teknologi sehingga selangkah demi selangkah para biawak menjajah dan nyaris mengalahkan manusia.

Keadaan hampir dikalahkan oleh bangsa biawak inilah yang kemudian mempersatukan manusia dan melawan penjajahan totaliter yang dilakukan oleh makhluk yang berhasil mengadopsi bahasa dan teknologi. Seperti itulah kira-kira dan kurang lebih atau lebih kurang keadaan orang-orang di sekitar kita pada masa depan yang sudah dimulai sekarang berhadapan dengan kelompok baru yang samasekali baru karena belum ada contoh dalam sejarah pada masa lalu, yaitu kelompok nir-orang yang dibina dari pencapaian terakhir teknologi informasi.

Sama halnya dengan para biawak dalam gambaran Karel apek begitu pula dengan para nir-orang yang diteropong oleh Jean-François Lyotard, hendaklah kita ketahui sejak awal dan seterusnya bahwa manusia mempunyai suatu andalan yang bernama bahasa. Bahasa yang dikuasai para makhluk cerdas yang telah mengembangkan teknologi bernama biawak dan bahasa cyber yang dipakai oleh orang-tak-orang yang adalah nir-orang pasti akan berhadapan dengan bahasa manusia yang memadukan hati dan pikiran. Tugas manusia, baik ketika berhadapan dengan makhluk seperti biawak maupun dengan para nir-orang ialah terus membina bahasa sebagai karya terbesar manusia yang merupakan paduan sebati dari hasil perahan pikiran dan hati, dan sudah tertulis di lauhul mahfuz ditentukan sebagai pemenang pada akhir pertembungan besar antara manusia dengan manusia yang tercuri miliknya atau antara manusia dengan yang bukan manusia sejati. Bahasa dapat saja diarahkan untuk membangun teknologi infomasi yang selalu hambar dan kering, tapi bahasa dapat melahirkan sastra, terutama puisi, yang memang tugasnya menyiram kekeringan itu. Di Riau ada sesuatu yang unik karena orang yang tahu berbahasa biasa mengungkapkan pikiran dan perasaan sebagai ‘’pikir hati”

Le diable au corps oleh Hasan Junus

(dimuat di Riau Pos Edisi Ahad 08 April 2007)


Françoise Sagan ialah seorang gadis Perancis yang mulai menulis roman sulungnya pada usia 18 tahun. Raymond Radiguet, seorang pemuda tanggung yang sudah berhasil menyiapkan karya perdananya pada usia 15 tahun. Akan tetapi baik Françoise Sagan maupun Raymond Radiguet bukanlah pengarang ‘’chicklit’’ atau ‘’teenlit’’. Meskipun berusia muda mereka telah berhasil melahirkan karya sastra tanpa embel-embel ‘’chick’’ atau ‘’teen’’ atau sastra yang masih muda atau belum cukup umur atau masih mentah. Karya-karya mereka benar-benar tergolong dalam kesusastraan tanpa embel-embel yang ujung-ujungnya tak enak seperti ‘’karya penulis muda usia’’ atau ‘’hasil karangan pengarang yaang masih junior’’ atau ‘’ciptaan para pemula’’ atau ‘’karya sastra yang belum masak’’ atau ‘’cuma chicklit’’ atau ‘’hanya teenlit’’ dan semacam itu lainnya.


SI PENCERITA, seorang remaja tanggung berusia 15 menjelang 16 tahun membuka cerita tentang pengalaman dan pergaulan dirinya dengan Marthe, isteri Jacques yang berusia 19 tahun. Hubungan seperti api yang disiram minyak karena perang meletus dan Jacques diwajibkan pergi ke medan perang. Si pencerita mengajukan suatu pertanyaan kepada dirinya sendiri, ‘’Est-ce ma faute si j’eus douze ans quelques mois avant la declaration de la guerre?’’ karena pertanyaannya itu berarti, ‘’Salahkah daku kalau aku berusia dua belas tahun semasa pernyataan perang diumumkan?’’

Dan dari si pencerita itu pula kita tahu tentang tempat tinggalnya. Tertulis masih di bagian pembukaan bahwa ‘’Nous habitions à F…, au bord de la Marne’’ (Kami tinggal di F…, di pinggir sungai Marne). Pernyataan singkat ini sangat penting karena Raymond Radiguet sang pengarang Le diable au corps pun tinggal di kawasan bahkan rumah yang sama dengan si pencerita dalam kisah yang diberi judul Le diable au corps.

Dalam keluasan korpus sastra adalah hal yang biasa jika antara pengarang dan tokoh karyanya tak terpisahkan. Tak dapat dipisah dan tak mungkin dibelah karena mereka memang menyatu, begitu bersatu sehingga pengarang sama dengan tokoh dan sebaliknya tokoh sama dengan pengarang. Bahkan dalam ‘’Borges y Yo’’ (Borges dan Saya) peengarang Jorge Luis Borges meragukan siapakah yang menulis halaman cerita itu, mungkin Borges, barangkali sang Kembaran, ‘’I do not know which of us has written this page’’.

Tokoh utama yang adalah si pencerita kisah itu mengisahkan tentang kematian kekasihnya Marthe, isteri Jacques karena melahirkan anak. Bayi itu adalah buah cinta antara Marthe dengan si pencerita. Bukan hasil hubungan dengan suaminya karena Jacques segera dikirim ke medan perang begitu mereka menikah. Namun tak ada orang yang memberitahu tentang kehidupan si pencerita selanjutnya dan juga tentang kehidupan Jacques, suami Marthe.Yang dicatat orang ialah kematian pengarang karya ini karena Raymond Radiguet yang dilahirkan di Saint-Maur pada 18 Juni 1903 meninggal-dunia di Paris 12 Desember 1923.

Karena itu pernyataan Stendhal dalam karyanya Le Rouge et le Noir (1830), ‘’Une mouche éphémère naît à neuf heures du matin dans les grands jours d’été, pour mourir à cinq heures du soir; comment compredrait-elle le mot nuit? Donnez-lui cinq heures d’existence de plus, elle voir et comprends ce que c’est la nuit’’ ditujukan bukan saja kepada tokoh utama karyanya Julien Sorel tetapi juga kepada Raymond Radiguet dan juga kepada tokoh karyanya si pencerita dalam Le diable au corps, atau kepada pengarang dan / atau bukan pengarang orang-orang yang mati muda, karena sitiran karya Stendhal itu berarti, ‘’Serangga pendek usia yang lahir pada pukul sembilan pagi pada hari-hari cemerlang musim-panas, untuk mati pada pukul lima petang; bagaimanalah dia tahu arti kata malam? Berikan padanya lima jam lagi hidup, dia akan melihat dan memahami apa itu malam.’’

Raymond Radiguet ialah hasil temuan seniman serigunting Jean Cocteau (1889-1964). Dikenal luas sebagai penyair, Cocteau juga seorang pengarang roman, teaterawan, perupa, bahkan seorang sineas yang telah menghasilkan film kontroversial ‘’La Belle et la Bête’’ Ia melihat dalam diri Raymond Radiguet ada seorang Arthur Rimbaud (1854-1891) yang pernah menggoncangkan Perancis dengan puisi-puisinya yang amat dahsyat yang dihasilkan pada usia sangat muda, 16 atau 17 tahun; salah-satu di antaranya berjudul Une Saison en enfer (Semusim di Neraka). Persahabatan mereka melahirkan Raymond Rimbaud Radiguet yang menggetarkan gelanggang sastra Perancis dengan kisah seorang belia yang mengalami keadaan seperti kerasukan setan menggauli seorang isteri muda sampai perempuan muda itu melahirkan hasil hubungan mereka. Marthe meninggal-dunia karena melahirkan, sedangkan usia kekasihnya yang memaparkan kisah itu hampir sama dengan usia dan jalan kehidupan Raymond Radiguet. Jorge Luis Borges (1899-1986) yang sangat suka dengan imaji ‘’cermin’’ mengingatkan dalam banyak sajak dan kisah-kisah pendeknya bagaimana kalau kita bercermin maka di dalam cermin ada cermin, ada cermin, ada cermin. Seperti juga dalam hidup ada mimpi, ada mimpi, ada mimpi-mimpi. Dan bahwa mimpi itu pada gilirannya bermimpi-mimpi.

Cocteu bersama Radiguet berhasil menyusun karya bersama berjudul Paul et Virginie, sebuah tragedi percintaan kasih tak sampai Perancis yang terkenal yang memantul dari dan oleh karya semacam Le diable au corps. Akan tetapi Raymond Radiguet dengan usianya yang singkat tidak hanya berkarya tunggal. Roman karyanya yang cukup luas dikenal memakai judul Le bal du comte d’Orgel (1924) yang menggambarkan tentang pesta tari bertopeng yang meriah dan semarak namun mengandung bahaya dan ancaman cemburu, khianat, fitnah dan pertaruhan nyawa. Orang menyembunyikan diri dengan topeng, bukan saja terhadap orang lain tapi juga terhadap diri sendiri. Namun untuk memperkenalkan pengarang yang meninggal pada usia 20 tahun memadailah menyebutkan karyanya Le diable au corps yang dihasilkan pada tahun 1923.

Pada bagian penutup Le diable au corps entah Raymond Radiguet, entah si pencerita yang mungkin sekali Si Kembaran sang pengarang untuk membandingkan dengan karya sangat singkat Jorge Luis Borges ‘’Borges y Yo’’ sekilas dikisahkan bahkan ‘’La seule fois que j’aperçus Jacques, ce fut quelques mois après. Je voulus voir l’homme auquel Marthe avait accordé sa main.’’ (Cuma sekali aku bertemu dengan Jacques, terjadinya beberapa bulan kemudian. Aku ingin melihat lelaki yang tangannya disambut oleh Marthe).

Pertemuan antara kekasih dan suami Marthe itu baru terjadi ketika sang kekasih setengah mati merintih menahan hati yang terlalu pedih. ‘’Marthe! Kecemburuanku terus mengikuti sampai ke dalam kubur… Marthe! Ma jalousie la suivant jusque dans la tombe …

DERRIDA oleh Hasan Junus

(dimuat di Riau Pos Edisi Ahad 15 April 2007)

Kepakarannya sebagai seorang peroboh nyaris seorang penceroboh menyebabkan namanya riuh-rendah disebut di serata dunia selama parohan kedua kehidupannya. Namun ia sendiri sering mengulangi ungkapan sendu yang tumbuh barangkali dari kedalaman hati, katanya (dalam terjemahan bahasa Inggeris) keadaan dirinya (yang juga berarti kita) berdepan dengan kematian, ‘’All my writing is on death … If I don’t reach the place where I can be reconciled with death, then I will have failed. If I have obe goal, it is to accept death and dying.” Bacalah kalimat itu beberapa kali, Anda tentu akan mendapat kesan ia seorang peroboh yang sendu.


EMPAT tahun setelah Perang Dunia Kedua usai, tepatnya pada tahun 1949 barulah ia menjejakkan kaki di Paris untuk mempersiapkan diri belajar di ibukota Perancis itu. Sebagai orang keturunan Yahudi ia dilahirkan di El-Biar, Aljazair 15 Juli 1930 dengan nama Jacques Derrida. Pada tahun 1960 namanya terbabit sebagai salah-seorang anggota ‘’Tel Quel”, suatu himpunan yang berdedikasi di gelanggang penulisan. Tempat pendidikannya yang tepat bukanlah universitas itu dan perguruan tinggi itu tapi dia berkubang di lingkungan tempat Jean-Paul Sartre, Albert Camus, Simone de Beauvoir dan kumpulan eksistensialis berada.

Sebagai seorang pemikir terkemuka abad ini yang telah menghasilkan karya sekitar 50 buah termasuk menulis sajak yang diterbitkan sejak di Aljazair sampai Paris, namanya yang hingar bingar itu dapat ditelusuri dari luasnya publikasi dan pengaruh karya-karya Jacques Derrida. Karya dan pemikirannya telah dibahas secara ilmiah setidak-tidaknya dalam 400 paparan akademisi seluruh dunia. Untuk bidang sastra dan filsafat nama dan karya Derrida telah disitir sebanyak 14.000 kali dalam jurnal-jurnal tersohor di dunia. Di Amerika Serikat, Inggeris dan Kanada saja sekurang-kurangnya ada 500 disertasi tentang karya dan pemikiran Derrida. Abad ke-20 dan ke-21 tak dapat berlalu begitu saja tanpa membabit pemikiran Jacques Derrida.

Dulu nama Malraux pernah diplesetkan sebagai ‘’mal du hero” sehingga dapat berarti wira celaka, nama Derrida pun diperolok-olok orang. Nama itu dimaknakan secara berseloroh menjadi ‘’derrière le rideau”, sehingga Derrida derrière le rideau ialah Derrida di belakang tabir.

Dari seloroh sebagai Derrida di belakang tabir menjadi parasit hanyalah diperlukan setengah langkah saja. Selain dari penceroboh, orang di belakang tabir, ia juga dinamakan parasit. Karena kebanyakan tulisan-tulisan Derrida hanya komentar (dalam pengkajian ilmu di kalangan Islam dinamakan ‘’syarah”) kepada buah pikiran para filsuf lain misalnya Friedrich Hegel (1770-1831), Edmund Husserl (1859-1838), Martin Heidegger (1889-1976), Francis Fukuyama, dan lain-lain. Seorang profesor filsafat dari Universitas Berkeley membandingkan tiara pemikiran Derrida yaitu Dekonstruksi sebagai manifesto kelemahan intelektual; selanjutnya ia membandingkan pula dengan tokoh dongeng Hans Christian Andersen (1805-1875) tentang Kaisar telanjang yang menyangka dirinya memakai pakaian termegah yang kononnya tak terlihat oleh mata orang yang tak layak pada pekerjaannya; tapi seorang anak kecil tidak perduli dinyatakan layak atau tidak, di matanya sang kaisar itu telanjang dan keadaan itu diteriakkannya senyaring suaranya. Para pendongeng kita tidak menanam kecemburuan kreatif kepada pendongeng seperti Andersen yang kisah-kisahnya dibaca mulai dari anak-anak kecil sampai profesor ilmu filsafat atau ilmu fisika. Lihatlah bagaimana peraih Nobel bidang fisika 1979 Dr Abdus Salam mengatakan bahwa pikiran awal rumus fisika yang ia geluti didapatnya dari puisi-puisi teman senegeri asalnya yaitu Mohammad Iqbal (1876-1938).

Perobohan dan bukan sekadar pencerobohan yang paling berkesan dilakukan Derrida ialah ditujukan kepada karya Francis Fukuyama dengan karyanya The End of History and the Last Man. Dekonstruksi yang dilakukan Derrida terhadap Fuyuyama sangatlah telak karena serangan Derrida itu menyatakan bahwa bukan akhir sejarah yang sebenarnya dipaparkan oleh Fukuyama, akan tetapi akhir konsep tentang sejarah. Sementara si sejarah itu sendiri terus juga melangkahkan kaki menuju ke zaman yang menanti di depan sana. Sejarah itu ditemani suatu sosok yang lebih berurusan dengan orang per orang, dan sosok itu bernama kematian.

Bahasa merupakan suatu penemuan manusia yang mengandung keajaiban. Meskipun sudah terpisah ribuan tahun dari sumber asalnya hubungan yang tertua dengan yang akan datang meskipun mungkin terganggu dan genting namun tak pernah benar-benar putus. Dan hubungan yang menakjubkan ini terutama terletak pada kesusastraan. Gottfied Benn sampai menyatakan keunggulan sastra dibandingkan dengan kesenian lain dengan berkata, ‘’Farbe und Klänge gibt es in der Natur, Wörte nicht!” (Warna dan bunyi ada dalam alam, kata-kata tidak).Yang tak kurang pentingnya dikemukakan oleh Derrida ialah tentang makna kata-kata yang tidak kebal berhadapan dengan perubahan. Observasi linguistik yang telah dilakukan oleh Ferdinand de Saussure (1857-1913) dikembangkan seluas-luasnya oleh Derrida antara lain tercapai yaitu hubungan antara kata @ penanda dengan makna @ petanda bersifat arbiter. Segala macam plesetan dan / atau permainan kata dipakai dan digunakan benar-benar secara taktis dan strategis oleh para pengamal dekonstruksionis sehingga mereka sampai pada kesimpulan yang dipelopori oleh Derrida yaitu kata-kata tak pernah mempunyai makna yang semata-mata menetap dan membeku yang secara fanatik digila dan digila-gilai oleh para tradisionalis. Kepada seorang yang sangat terbius oleh Gurindam XII saya pernah ingatkan bahwa kata ‘’kemaluan” yang digunakan oleh Raja Ali Haji elok benar disanding dengan pikiran para pengamal dekonstruktisme. Para filolog berkeras tidak mengubahkan, tak mau bahkan tak sudi mengganti kata itu dengan ‘’keaiban” demi linguistik dan demi ilmu pengetahuan, berbeda dengan para tradisionalis yang cuma mengandalkan kedegilan (di negeri Derrida disebut ‘’têtu”, ‘’kopfig” kata orang Belanda, dan ‘’kepala batu” kata orang ibukota kita). Akan tetapi kelompok lain dengan gembira mengubahkan karena sastra lama yang tak terpahami apalah gunanya, kita bukan hidup di masa lampau. Dan yang pedih bagi kita mungkin bukan apa-apa bagi Jacques Derrida karena seperti Paul Valéry, André Malraux, Rainer Maria Rilke dan Franz Kafka, Philip Roth, Susan Sontag dan Milan Kundera, ia tak pernah meraih Hadiah Nobel bidang kesusastraan meskipun sering atau terus menerus masuk nominasi. Hal semacam ini mengurangi tabik masyarakat sastra dunia kepada Akademi Swedia.

Akhirnya di Paris pada suatu hari tepatnya 8 Oktober 2004 badai yang dahsyat telah menjatuhkan tabir kehidupannya Jacques Derrida . Dari gemuruh buah pikirnya memasuki kesunyian. Adieu!

Václav Havel oleh Hasan Junus

(dimuat di Riau Pos Edisi Ahad 04 Maret 2007)

Kalau Léopold Sédar Senghor ialah penyair yang menjadi Presiden Negara, Václav Havel ialah dramawan yang menjadi Presiden Negara. Senghor menjadi Presiden Sénégal di Afrika sejak negeri itu merdeka dari Perancis pada tahun 1960 sampai 31 Desember 1980 ketika ia meletakkan jabatan. Dan Havel menjadi Presiden Republik Cek di Eropa Tengah dari tahun 1989 sampai tahun 1992; pada masa pemerintahannya negeri Cekoslowakia terbagi dua. Ia dilahirkan di Praha, ibukota negeri Cek sewaktu negeri itu masih bersatu dan bernama Cekoslovakia, pada 5 Oktober 1936. Ia anak seorang kaya di tengah belantara totaliterisme yang lebih dahsyat dari lebatnya hutan sepanjang Amazone. Karena itulah ia ditolak memasuki semua pintu perguruan tinggi. Sehingga sejak sangat muda ia sudah amat memahami penolakan yang dialami oleh tokoh-tokoh dalam banyak karya Franz Kafka (1883-1924), pengarang berdarah Yahudi yang menggunakan bahasa Jerman, berasal dari kota yang sama.
BERBEDA dengan Kafka, Havel tidak menulis dalam bahasa Jerman tapi memakai bahasa Cek seperti yang dilakukan oleh pengarang-pengarang Karel Èapek (1890-1938), Jaroslav Hašek (1883-1923), Václac Øezáè (1901-1956), Jan Procházka 1929-1971), Bohumil Hrabal (lahir 1914), Josef Škvorecký (lahir 1924), Arnošt Lustig ((lahir 1929), Milan Kundera (lahir 1929) dan lain-lain. Berbeda dengan Josef Škvorecký dan Milan Kundera yaang pergi dari negerinya menyelamatkan diri dari cengkeraman pemerintah totaliter di negeri Cek dan Slowakia yang masih bersatu, Vaclav Havel tetap bertahan biar seperti apapun berat penanggungan. Berbeda dengan kedua temannya itu, Škvorecký yang menyelamatkan diri ke Kanada dan memakai juga bahasa Inggeris, dan Kundera ke Paris dan memakai juga bahasa Perancis bila perlu, Havel terus setia di Praha dan menjadi bentara setia bahasa dan sastra Cek.

Václav Havel ialah gambaran terbalik dari tokoh Oliver Twist dalam karya Charles Dickens. Karena ia anak seorang kaya di tengah rimba totaliterisme yang lebat, ia bahkan dilarang masuk ke perguruan tinggi. Dan dilarang itu, dilarang ini, hidup dalam kebudayaan larangan yang dengan subur menumbuhkan sikap dan perintah tak boleh itu tak boleh ini, jangan itu jangan ini, yang boleh ialah yaang ini saja dan semata-mata, Bukan ini dan bukan itu. Semua itu hampir saja membuat pemuda Václav Havel berhenti hidup. Kebudayaan larangan atau kebudayaan jangan sebenarnya dapat kita jumpai di sekitar kita kalau saja kita mau menghadapkan muka ke masa lampau yaitu di dalam kebudayaan tradisional, terlebih-lebih pada bagian yang sangat kental dengan kadar dan nilai feodal. Sisi buruk bagian ini ialah terlampau kaya dengan jangan dan terlalu banyak dengan beban berat aneka larangan yang dapat membuat hidup orang berhenti mendadak.

Seperti angina pectoris yaitu serangan jantung yang serbuan mendadaknya tak akan kuat menghadang datangnya gempa dahsyat kematian. Di sinilah terletak berbahayanya kebudayaan totoliterian dalam berbagai bentuk. Racun totaliterisme seperti ini dimasak pada api di atas tiga tunggu yang tegap solid yang terdiri dari tungku pantang, tungku larang dan tungku jangan. Penawar atau obat racun seperti ini yang telah melalui perjalanan masa pengujian yang panjang hanya ada dua macam yaitu agama dan seni. Kebudayaan totaliter yang senantiasa otoriter dan senantiasa pula mengandalkan pantang, larang dan jangan dapat membuat rapuh tulang dan daging kehidupan.

Di tengah prahara seperti inilah Václac Havel bertahan. Dan ketika gergasi totaliter berlalu dari Cekoslowakia ia berhasil keluar hidup-hidup dari kancah yang sudah banyak memakan korban. Namun perlu diingat bahwa yang bernama totalitarisme itu sosoknya berwujud saling bertentangan, sangat buruk rupa atau sangat rupawan. Sama halnya dengan hantu dapat memakai sosok puntianak @ kuntilanak yang cantik, pari-pari yang jelita, perempuan bunian yang mempesona, bisa juga setengah mati hodoh @ buruk seperti kuda Nil yang buta sebelah berjanggut tujuh helai atau lain-lain seumpama itu. Pakailah imajinasi Anda seluas-luasnya dan sebebas-bebasnya.

Karya-karya pentasnya yang terkenal di antaranya Zahradní slavnost (1963; ‘’Pesta Taman’’), Vyrozumní (1965; ‘’Memorandum’’), Ztížena možnost soustøedìni (1968; ‘’Konsentrasi Kesulitan yang Bertambah’’). Semua karya pentas Václac Havel mengandung ciri yang sama dengan karya seni yang didamba dan dicita-citakan semua seniman sejati yaitu karya yang mengandung semangat zaman ketika karya itu diciptakan, bukan yang mengelap-ngelap warisan lama yang sudah basi. Setiap seniman sejati menolak makan nasi dan roti basi dan telinga mereka tak sudi mendengar musik basi, mata mereka tak sualak memandang nyanyi basi dan rohani mereka tak bisa menerima karya basi. Suatu contoh: tragedi William Shakespeare memang besar dan mendalam pengaruhnya pada zamannya, tapi kemudian datang Eugène Ionesco (1909-1994) memandang semua itu dari teropong Rabelaisian yang mengajak orang sedunia ketawa, mengetawakan lawan di seberang dan juga mengetawakan diri sendiri. Tiresias dalam mitologi Yunani ialah seorang peramal buta, tapi penyair surrealisme Perancis Guillaume Apollinaire menjadikan lelaki itu mempunyai tetek seperti perempuan jelita sempurna dalam karya pentas surrealistis pertama pada tahun 1917 berjudul Les Mamelles de Tirésias.

Di manapun gelanggang penciptaannya seorang seniman senantiasa melawan status quo yang biasanya dikawal ketat oleh kaum tradisionalis. Golongan yang disebut terakhir ini terdiri dari orang-orang yang lucu karena mereka secara gila-gilaan sehingga nyaris gila, dan juga secara mati-matian sampai hampir mati berupaya sekeras-kerasnya, lebih keras dari batu dan besi, menahan lajunya waktu. Bukanlah kita diajarkan oleh para filsuf (yang sebenarnya tak mengenal arah Timur dan Barat karena dalam kata filsafat itu terkandung makna universal) agar mengetahui bahwa waktu itu terbang dan kita haruslah terbang bersama waktu. Faal kehadiran diri seorang seniman dan sekaligus faal karya seni ciptaannya ialah suatu keharusan untuk terus menerus bergerak sejalan dengan terbangnya waktu. Sang waktu itulah yang memerintahkan para seniman berkarya sesuai dengan jelajah penerbangannya. Karena itu apabila seorang seniman berkarya pada tahun 2007 ia haruslah meresapi dan melahirkan hal-hal yang sesuai dengan kehendak dan ukuran serta keharusan periode yang dihidupinya. Kalau ia berkarya seperti seniman zaman dulu berarti ia membohongi masyarakat seni yang hendak menikmati karyanya.

Saudara-saudaraku para pengarang yang berusia muda, salangkan Václac Havel yang hidup di tengah belantara lebat totaliterisme yang hebat dahsyat, yang lebih sempit dari penjara, yang lebih terkungkung dari penindasan para tiran, yang lebih pedih dari disembelih sedangkan dapat menghasilkan karya-karya besar yang tahan dirempuh waktu apalagi Anda yang jiwa dan badan merdeka tidak terbelenggu.

JEMBATAN oleh Hasan Junus

(dimuat di Riau Pos Edisi Ahada 25 Maret 2007)

Terjemahan ialah jembatan. Penerbit Balai Poestaka di Batavia yang juga menerbitkan karya-karya terjemahan seperti membuat jembatan yang menghubungkan suatu kebudayaan dengan kebudayaan lain. Dalam rentang masa selama 82 tahun kehidupannya Nur Sutan Iskandar telah berbuat banyak kepada kesusastraan Indonesia. Ia lahir di Sungai Batang, Maninjau, Sumatera Barat pada tanggal 3 November 1893 dan meninggal-dunia di Jakarta 28 November 1975. Selain menghasilkan sederetan karya sastra dalam bentuk roman @ novel di antaranya ‘’Salah Pilih’’ (1928), Hulubalang Raja (1934), ‘’Katak Hendak Jadi Lembu’’, ‘’Neraka Dunia’’ (1937), ‘’Cinta Tanah Air’’ (1944), ‘’Cerita Tiga Ekor Kucing’’ (1954) ia juga menerjemahkan karya-karya asing, termasuk beberapa karya pengarang Perancis tersohor Alexandre Dumas (1802-1870) yang terdiri dari ‘’Tiga Panglima Perang’’, ‘’Dua Puluh Tahun Kemudian’’ dan ‘’Graaf de Monte Cristo’’. Akan tetapi ada dua orang yang menyandang nama Alexandre Dumas yaitu Alexandre Dumas sang Ayah (lahir di Villiers-Cotterêts di Aisne 24 Juli 1802 – meninggal di Puys dekat Dieppe 5 Desember 1870). Sedangkan Alexandre Dumas sang Anak (lahir di Paris 27 Juli 1824 – meninggal di Marly-le-Roi 27 November 1895).
UNTUNGLAH di samping banyak mengarang Nur Sutan Iskandar juga menyempatkan diri menerjemahkan karya-karya Alexandre Dumas yang terdiri dari ‘’Les Trois Moussquetaires’’ (karya tahun 1844) menjadi ‘’Tiga Panglima Perang’’ dan diterbitkan oleh Balai Poestaka, Batavia, 1922. Menurut pandangan filologis kerja penerjemahan itu agak cacad sedikit karena terjemahan itu dilakukannya bukan dari sumber asli dalam bahasa Perancis tapi mungkin sekali dari terjemahan bahasa Belanda. Hal ini lebih kentara pada terjemahan karya-karya Alexandre Dumas yang lain oleh Nur Sutan Iskandar yaitu kisah lanjutan dari karya pertama tersebut di atas berjudul ‘’Dua Puluh Tahun Kemudian’’ (Balai Poestaka, Batavia, 1925) yang tentulah terjemahan dari karya asli ‘’Vingt Ans après’’ (karya tahun 1845) dan ‘’Graaf de Monte Cristo’’ (Balai Poestaka, Batavia, 1929) yang tentulah terjemahan dari karya asli ‘’Le Comte de Monte Cristo’’ (karya tahun 1844-1845).

Gelar kebangsawanan Perancis ‘’le Comte’’ sederajat dengan gelar kebangsawanan Belanda ‘’Graaf’’ dan sederajat pula dengan gelar kebangsawanan Inggeris ‘’the Count’’. Hal ini menjadi jelas kalau kita bandingkan judul-judul karya Alexandre Dumas dalam sosok asli berbahasa Perancis dengan terjemahan dalam bahasa Indonesia yang asalnya dari terjemahan bahasa Belanda. Judul asli Le Comte de Monte Cristo menjadi Graaf de Monte Cristo dalam terjemahan bahasa Indonesia yang diterjemahkan dari bahasa Belanda, dan menjadi The Count of Monte Cristo dalam terjemahan bahasa Inggeris.

Daniel Bermond dari majalah sastra Perancis Lire dalam berkala Label France N° 47 July 2002 rubrik ‘’Literature’’ halaman 44-45 dengan judul ‘’Alexandre the Magnificent’’ menyatakan tentang empat panglima sastra Perancis yaitu sebagaimana dikatakannya, ‘’Seandainya Balzac ialah dunia, Stendhal inteleknya, Hugo inspirasi dan Dumas (sang Ayah) ialah tubuhnya.’’ Honore de Balzac, Stendhal, Victor Hugo dan Alexandre Dumas memang sangat tepat apabila diumpamakan sebagai empat pahlawan sastra Perancis seperti halnya tiga pengawal raja Perancis dalam Tiga Panglima Perang karya Alexandre Dumas (sang Ayah) yang terdiri dari Athos, Porthos, Aramis, dan ditambah satu anak muda pendatang baru yang berasal dari kawasan Gascogne yang bernama D’Artagnan.

Pemuda Gascogne ini begitu penting peranannya dalam Les Trois Mousquetaires sehingga meskipun judul karya Alexandre Dumas ini dalam bahasa Indonesia berarti Tiga Musketir atau Tiga Panglima Perang namun ketiganya agak redup atau malap cahaya wajahnya digagahi oleh kecemerlangan D’Artagnan.

Tiga wira cerita ditambah satu calon pengawal raja Perancis bersaing ketat dengan para pengawal Kardinal Richelieu, pejabat spiritual yang kekuasaan melingkupi duniawi yang berbau busuk. Tangan kotor kardinal itu tak berhasil mencederai permaisuri Anne d’Autriche berkat Sang 3+1 yang perkasa. Upaya jahat selanjutnya juga gagal karena 3+1 berhasil mengembalikan kalung berlian yang diberi sang permaisuri kepada kekasihnya Buckingham. Athos menjadi Comte de la Fère, Porthos menjadi Comte du Vallon, Aramis menjadi Chevalier d’Herblay, dan D’Artagnan berhasil menjadi musketir sang panglima perang.

Jembatan demi jembatan yang menghubungkan suatu kebudayaan dengan kebudayaan lain telah dibangun. Dengan menerjemahkan karya Soeman Hs Kasih Tak Terlarai ke bahasa Sunda oleh Moh Amri menjadi Teu Peugat Asih (Serie No 981, 1932) dan Percobaan Setia diterjemahkan oleh Marta Perdana menjadi Tjotjoba (No 1033, 1932) telah terentang jembatan antara kebudayaan Melayu (Riau) dengan kebudayaan Sunda. Demikian juga telah terentang jembatan yang menghubungkan kebudayaan Perancis dengan kebudayaan Melayu (Indonesia) dengan diterjemahkannya beberapa karya Alexandre Dumas (sang Ayah) ke bahasa Melayu (Indonesia) oleh Nur Sutan Iskandar.

Lebih jauh kerja Balai Poestaka di Batavia juga menggapai pada bidang menerjemahkan karya-karya dari bahasa Melayu ke berbagai bahasa daerah di Indonesia dan sebaliknya menerjemahkan karya-karya dari bahasa Melayu (Indonesia) ke bahasa-bahasa daerah. Jembatan-jembatan kebudayaan telah bersilang lintang menghubungkan suatu kebudayaan dengan kebudayaan lainnya. Peristiwa dan pekerjaan kebudayaan seperti ini hendaklah mendapat perhatian untuk dilanjutkan atau diperbaiki bagian-bagian yang kurang tepat. Nur Sutan Iskandar ialah seorang di antara penegak jembatan kebudayaan dan jembatan-jembatan lainnya harus terus diperbaiki, didirikan kembali, dibangun baru untuk mencapai harapan terdalam manusia sehingga tak ada anehnya manusia ini bagi siapa saja. Karena sudah menjadi tuntutan manusia hidup terus menerus ingin menggapai matlamat senantiasa menuju ke kesempurnaan (toujours à la perfection) maka seyogianya suatu karya terjemahan berasal dari bahasa sumber. Karena itu untuk senantiasa menggapai ke kesempurnaan karya Alexandre Dumas sang Ayah diterjemahkan dari bahasa sumber yaitu bahasa Perancis, bukan terjemahan dari terjemahan ke bahasa Belanda, Inggeris, Jerman, Arab, Jepang dan lain-lain.

Untuk mencapai matlamat yang sempurna seperti ini diperlukan adanya pertama lembaga-lembaga pendidikan berbagai bahasa asing di sini dan kini, dan diperlukan pula adanya lembaga-lembaga pendidikan menerjemah yang berkualitas tinggi dan dapat diandalkan sehingga bermanfaat dan membangkitkan rasa bangga yang tepat pada tempatnya. Beberapa tahun terakhir ini kedua hal itulah yang saya dengung-dengungkan pada berbagai kesempatan.

Bonsoir tristesse! oleh Hasan Junus

(Dimuat di Riau Pos Edisi Ahad 8 Maret 2007 )

Suatu pagi beberapa hari yang lalu, Bung Sudjatie, pengelola Pusat Dokumentasi dan Perpustakaan Riau Pos melambai ketika lewat di depan pintu Sagang. ‘’Ada Label France, pak. Sudah lama tak datang. Menumpuk!’’ Dengan riang saya menjemput ke sebelah (perpustakaan itu bersebelahan dengan Sagang). Dalam Label France No 57 1st rubrik Literature ada semacam obituari atas meninggalnya pengarang Perancis Françoise Sagan. Karena itu tak salah kalau ada orang yang menyambut kabar duka itu dengan berseru, ‘’Bonsoir tristesse!’’ artinya ‘’Selamat malam dukacita!’’ Mengapa begitu? Sebabnya ialah roman sulung karya Françoise Sagan yang terbit ketika pengarangnya baru berusia 19 tahun diberi judul oleh pengarang yang baru saja dewasa itu ‘’Bonjour tristesse!’’ yaitu ‘’Selamat pagi dukacita!’’



FRANÇOISE Sagan meninggal-dunia pada 24 September 2004 pada usia 69 tahun. Pada tahun 1954 karya sulungnya mengejutkan Paris, Eropa, dan dunia yang membaca sekaligus memecut nama pengarangnya ke cakrawala kesusastraan. Ensiklopedia Sastra Dunia yang saya miliki semuanya bertahun di bawah 2004 sehingga tak mendapat berita tentang kematian Françoise Sagan.

Dia dilahirkan di Cajarc, kawasan Lot, barat-daya Perancis 21 Juni 1935 sebagai Françoise Quoirez. Ayahnya seorang usahawan yang pindah ke Lyon lalu ke Paris ketika Françoise baru berusia 10 tahun. Di ibukota Perancis itu Françoise Quoirez memasuki universitas dengan memilih belajar di Sorbonne. Juli 1953 dia gagal ujian kenaikan tingkat, tapi kegagalan itu menyebabkan lahirnya seorang pengarang remaja.

Musim panas ketika itu. Karena tidak lagi mengikuti kuliah, gadis itu mengucilkan diri di rumahnya sambil menyiapkan sebuah roman selama 32 hari. Dia mengetik dengan dua jari yang menari-nari lincah. Ketika roman itu akan diterbitkan pengarangnya tetap memakai nama kecilnya Françoise dan mengganti nama keluarganya Quoirez menjadi Sagan. Nama Sagan itu diambilnya dari nama Puteri Sagan dalam roman karya Marcel Proust (1871-1922) yang terkenal À la recherche du Temps perdu (‘’Mengingati Waktu yang Lalu’’). Dari tokoh dalam karya Marcel Proust nama Sagan barangkali mengandung tuah sebab segera pengarang belia itu terkenal berkat karya sulungnya yang mengucapkan selamat pagi kepada dukacita.

Françoise Sagan berteman dengan penyanyi Juliette Gréco yang sering dijuluki sebagai penyanyi eksistensialis karena kedekatannya dengan Raymond Queneau dan Jean-Paul Sartre. Juliette Greco menyanyi dari satu bar ke suatu bar, dari satu café ke suatu café di Paris yang dikenal sebagai bar dan café eksistensialis. Dengan Raymond Queneau dia punya himpunan nyanyian berjudul Si tu t’imagines, dan dengan Jean-Paul Sartre Rue des Blancs-Manteaux. Dengan demikian Juliette Greco sering dinyatakan sebagai penyanyi eksistensialis. Demikian juga halnya dengan Françoise Sagan seringkali dinyatakan bahkan ditahbiskan sebagai pengarang wanita muda yang sedikit banyak punya hubungan dengan sastrawan dan filsuf eksistensialisme.

Sebagai pengarang wanita yang juga menulis repertoir drama Françoise Sagan dikenal oleh Ariane Mnouchkine tokoh teater wanita yang mengelola Théâtre du Soleil di Paris. Kalau Ariane Mnouchkine mengenal karya-karya pentas Françoise Sagan berjudul Château de Suède (1960; ‘’Puri di Swedia’’) dan L’Excès contraire (1987; ‘’Oposisi terdahsyat’’) maka Françoise Sagan barangkali sangat mengetahui ucapan tokoh teater masakini Perancis Ariane Mnouchkine yang seringkali diulang-ulangnya yaitu (dalam terjemahan bahasa Inggeris di Label France 4th QUARTER 2005 halaman 14): ‘’I am in the present and only the present matters to me.’’ Karena itulah salah-satu panduan bagi orang yang mengamalkan filsafat eksistensialisme seringkali dinyatakan dengan ungkapan orang Itali niente domani yaitu ‘’tak ada hari esok’’ karena esok berarti hari kita diantar ke kubur. Baik diketahui bahwa langkah pertama menjadi penganut eksistensialisme ialah menyingkirkan sejauh-jauhnya amalan tradisionalisme dalam karya seni dan filsafat. Jadi dua amalan filsafat dan estetik di antara sekian banyak yang sangat keras menolak tradisionalisme ialah eksistensialisme dan futurisme.

Bagi saya dan barangkali juga bagi banyak orang yang mengenalnya Françoise Sagan bukanlah pengarang perempuan berusia 69 tahun yang sudah meninggal-dunia pada 24 September 2004 tapi seorang gadis belia berusia 19 tahun yang baru menyelesaikan karya sulungnya setelah 32 hari mengarang. Akan tetapi sejak pagi-pagi dia sudah mengucapkan selamat pagi kepada dukacita. Karyanya Bonjour tristesse secara sangat tepat melukiskan semangat zamannya yang dipenuhi oleh rasa putus-asa dan ketiadaan harapan.

Dengan kedua jari telunjuk kiri dan kanan gadis 18 tahun itu menarikan jari-jarinya di atas tuts mesin-tik, karena pada tahun 1950-an untuk mengarang orang belum memakai komputer. Karya sudah rampung namun harus menunggu sebentar dan diterbitkan setelah pengarangnya berusia 19 tahun.

Si pencerita dalam Bonjour trristesse ialah seorang gadis berusia 17 tahun. Bersama bapanya dan perempuan simpanan si bapa yang agak kasar dan kurang adab @ mal èlevè, mereka itu pergi berlibur di kawasan pantai Laut Tengah yang hangat. Kemudian datang pula mantan simpanan si bapa yang anggun dan beradab, terjadi pertentangan di antara kedua wanita. Mantan perempuan simpanan itu meninggal-dunia karena kecelakaan lalu-lintas, padahal sebenarnya dia mati karena membunuh-diri. Lalu musim-gugur pun tiba dan orang-orang akan pulang ke ibukota serta berakhirlah sebuah kisah cinta di musim-panas yang penuh dukacita, Bonjour tristesse! Selamat pagi, dukacita!

Dalam roman yang berkerangka bentuk klasik ini ada ungkapan amoralisme, rasa bosan yang teramat sangat pada kehidupan dan dunia sampai-sampai membangkitkan rasa loya mau muntah tak tertahankan, watak dan tokoh yang hidup dalam kesepian yang berbunyi nyaring, waktu merangkak lamban dicengkam dan dicengkeram oleh kebosanan dan kesunyian, dunia yang seperti apapun harus diisi dengan mendapatkan nikmat hidup, setiap orang lain harus diperalat untuk memeras kenikmatan itu, pikiran yang memperlihatkan pengaruh awal Jean-Paul Sartre dan Simone de Beauvoir, semua yang diajarkan eksistensialisme tersedia di dalam karya itu, Françoise Sagan dalam usia sebegitu muda telah menghidangkan suatu sisi relita yang sangat keras dan tak mengenal kompromi sedikitpun.

Sastrawan dan kritikus sastra Perancis termasuk François Mauriac seperti berebut tempat mengelu-elukan karya sulung Françoise Sagan itu.. Koran-koran Paris hampir semuanya memuat sorak semarak Bonjour tristesse! Karena itu kita tidaklah terlalu perlu mengucapkan Bonsoir tristesse! untuk menanggapi kematian pengarang yang bernama Françoise Sagan itu. Kematian yang bukan kematian, samasekali bukan.