Selasa, Februari 05, 2008

On Party Goers, An Pe Tong Marpestai

Tahun Baru, Pesta, Babi, Kerbau, Sapi, Musik, Poco-poco, Anak Medan. Atau : Bona taon, toktok ripe, iuran taon, manortor, hasil tortor, na somargota, na margota, parsubang, hula-hula, hela-boru-bere, anggota baru. Jangan bingung kawan. Itu tadi semua adalah lema-lema yang selalu ditarikan lidah orang Batak dalam dua tiga bulan ini. Yah, paling tidak di kotaku inilah, Dumai.

Wajib hukumnya bagi tiap punguan marga meghelat pesta bona taon atawa awal tahun. Masing-masing punya alasan kenapa itu harus dilakukan. Tiga empat tahun lalu aku masih sering mendengar bahkan terlibat diskusi tentang perlu tidaknya helat begitu diadakan. Bukankah pemborosan saja? Coba, ehm…, fulus yang dihamburkan untuk kesemua pesta itu, maksudnya dari tiap marga, dikumpulkan. Sudah terbinalah sebuah gedung baru untuk orang Batak. Sopo Godang. Ya, ya, ya, betul itu, kata yang lain. Kita memang keliwat boros. Bukan main. Kita harus berubah, kalau tidak sekarang kapan lagi, yang lain lebih bersemangat.

“Daga, holan sahali do di bagasan sataon poang, tanda na adong ma pasu-pasu i, i pe keberatan hamu. Pikkiri hamu jo antong.”, nah, yang ini pendapatnya sebaliknya pula. “Ba angka ulaon parsaoran do poang niula, tong ingkon protesan muna.”, hehehe, yang ini diucapkan dengan lakon geleng-geleng kepala. Ia bingung, lawan bicara pun mirdong. Tak nyambung.

Heran juga. Tahun ini aku hampir tak mendengar debat serupa. Yang kulihat, kalau memang tak sanggup, maksudnya tak punya duit untuk membayar toktok ripe alias sumbangan wajib, juga untuk menari atau manortor, belum lagi untuk jajan anak-anak yang minta dibelikan ini itu di gedung pesta, maka lebih baik tak datang. Jadi, ini pengamatanku, yang menghadiri pesta-pesta itu sudah siap luar dalam, jasmani (uang di dalam saku jas) dan rohani (siap mental jika yang disumbang ketika manortor ogah dikasih duit seribu, minta sepuluh ribu atau lebih dengan menjauhkan jari-jarinya ketika hendak diselipi duwit).

Pesta bona taon jamaknya diawali kebaktian. Ya bernyanyi, ya berdoa, ya mendengar kotbah. Kotbah-kotbah pada pesta bona taon adalah rangkaian kotbah yang paling tidak diacuhkan orang batak. Miris juga melihat para pewarta kabar baik itu berusaha menggugah pendengarnya untuk memulai cara hidup baru di tahun yang baru. Untuk meninggalkan kebiasan buruk dan lebih mendekatkan diri ke sang Khalik. Hei, waktu berjalan. Lihatlah bencana, lihat banjir, kelaparan. Si Polan tak bersama kita lagi tahun ini. Ucap syukurlah engkau masih bernafas, sehat dan terberkarti. Hm, baris depan pendengar lumayan serius. Baris tengah sibuk melihat jadwal partangiangan sepanjang tahun yang entah kenapa diagihkan pada awal kebaktian. Baris belakang, ngk…, keluar masuk gedung, merokok. Membunuh waktu, menunggu jeda makan dan hirup pikuk tortor.

Komisaris, makan, sup

Kebaktian usai. Layaknya tadi ditekan tombol ‘mute’, maka sekarang adalah ‘voice on’. Hendak marsipanganon.

“Hot ma hita di hundulanta be. Asa unang sarupa tu onan. Holan komisaris ma na mardalan.” Beginilah diulang-ulang oleh MC – orang batak lebih suka menamainya protokol, mungkin agar terkesan lebih menjabat – atau seruan lain yang senada. Idealnya memang, karena bukan makan ala prasmanan, ya duduk sajalah. Toh akan dilayani. Namun karena posisi duduk sedari awal tak ideal, tak berkumpul menurut pembagian wilayah atau komisarisnya, maka sibuklah para komisaris ke depan ke belakang sudut kiri sudut kanan, mencari anggotanya, membagi-bagikan jatah daging yang telah dibungkusi dalam plastik. Yang tidak sabar, telah melihat komisaris tapi merasa bahwa sang komisaris tidak melihat kehadirannya, mengambil inisiatif mendatangi. Satu memulai, yang lain ikut. Nasi dalam bakul yang diseret-seret seraya dibagikan pun dikerubungi. Begitu juga sup. Jangan sampai sup terlambat tiba. “Si Nando nami dang boi mangallang na siak.”, alasan sang ibu seraya mencedukkan ‘bokkor’nya ke dalam ember atau wadah lain berisi sup yang sebenarnya telah diletakkan jauh dari jangkauan Mak Nando dan kawan-kawannya.

Semampu para petugas – protokal, komisaris, dan para pembatunya – hal begini berusaha ditertibkan. Kalau pun tak reda juga, tetap seperti pasar, paling-paling doa hendak makan yang tertunda.

“Nunga boha, nga ris be sude? Boha di sabola siamun, alusi hamu sian pudi an, sabola hambirang, boha do, nunga ris be amang inang? Molo songon i hupasahat hami ma tu penasehat laho mambahen tangiang parmanganonta.” Akhirnya memang makan juga . Lagipula, serunya ya ketika hiruk pikuk tadi. Jika tengah makan malah hampir sunyi senyap. Hampir? Iya. Di pengeras suara terkadang terdengar juga permintaan seperti :

“Parmusik! Baen hamu ma musik na tabo i jo, asa unang kosong accara permanganan on.” Maka memang jadi mantaplah suasana makan itu. Keyboard berbunyi, suara penyanyi pun bergema. Bernyanyi seorang saja kerasnya sudah minta ampun. Tak ada treble, tak ada bas do. Heran. Sound system bagus, mahal. Tapi, bunyi yang keluar pokoknya keras. Bernyanyi pula tiga orang alis trio. Japjap ma.

(akan disambung)

Ehm.., Pesta Bona Taon Ni Punguan Amasada (2)

Biasanya, untuk memudahkan pekerjaan ini, kami menggunakan alat bantu. Semacam “burner” yang digunakan perajin rotan. Memakai bahan bakar minyak tanah, “burner” itu dengan leluasa akan melalap sisa-sisa rambut babi (untuk Amasada, sebenarnya lebih sering panangga alias sigagat solop alias anjing), karena ia dengan mudah digenggam dan apinya ditembakkan kesana-kemari. Mungkin, karena ketika sekitar sebulan lalu ketika terakhir kami pakai, alat bantu tersebut berulah, sulit menyala dan ketika akhirnya hidup, apinya merebak kemana-mana, maka kami pun tak memakai alat pinjaman tersebut. Pinjam? Ya, kami memang meminjamnya dari seorang pemilik lapo langganan punguan Amasada. Kalaulah bukan kami –biasanya diwakili sekben- yang meminjam, belum tentu Situmeang –pemilik lapo itu- sudi meminjamkan. Kaitannya memang banyak.

Ketua punguan Amasada adalah sekaligus ketua parsahutaon atau STM (serikat tolong menolong) “Mauliate”, dimana seperempat dari anggota punguan Koor Amasada bermukim. Nah, lapo bernama “Rap Mandai” itu pun terletak di parsahutaon Mauliate. >Artinya, ketua punguan Koor Amasada adalah ketua bagi pemilik lapo Rap Mandai. Jadi kalau sudah ketua yang minjam, susah jugalah menolak. Apalagi sang sekben punguan Amasada yang sering ditugasi meminjam adalah juga bendahara parsahutaon Mauliate.

Membakar rambut babi diatas tungku berbahan bakar kayu lumayan repot juga. Babi harus dibolak-balik sedemikian rupa agar semua rambut di tiap lekuk tubuh babi itu sirna. Tahunya rambut sudah tak ada bagaimana? Ya tentu harus diraba. Jika belum licin, bakar lagi. Dibakar terlalu lama akibatnya kulit babi menghitam. Kalau sudah begini, haruslah dikikis.

Setelah yakin semua rambut habis terbakar, babi malang itu pun diangkat. Seorang jagal sudah siap sedia memotong-motong menjadi ukuran lebih kecil, untuk kemudian dicuci dan akhirnya direbus dalam kuali besar. Sebelumnya, lazim terjadi tanya jawab begini :

“Boha do bahenon on? Baenon da margoar manang holan haliang na do?”, akan bertanya sang jagal.

“Ba pature ma disi. Sai hera na sahali on dope hita marulaon panukkun mi.”, menimpali yang lain, biasanya ketua punguan.

“Daong da, betak boha do asing sahali on.” Ya, manalah tahu kali ini lain pula.

“Na biasa i ma baen. Haliang dohot ihur-ihur na sajo pe.”

Haliang adalah lingkar leher. Bentuknya adalah seperti donat raksasa, namun lebih pipih. Ihur-ihur pula adalah bagian pantat. Panjang bagian ihur-ihur biasanya diukur berdasar panjang ekor. Ekor ditarik kedepan. Bagian yang disentuh ujung ekor adalah batas untuk membentuk ihur-ihur. Sisi kiri dan kanan akan dipotong seimbang, masing masing membentuk sudut sekitar 45 derajat. Jika sang jagal terlalu asyik merapikan bentuk ihur-ihur, biasanya akan ada yang mengomentari.

“Toe ma, annon pe muse padenggan i dung di robus.” Komentar ini wajar, karena bentuk daging setelah direbus akan berubah. Jadi akan lebih baik memberi ‘final touch’ setelah direbus. Melihat ihur-ihur biasanya aku akan terbayang belangkas. Bedanya, yang ini montok.

Sembari menunggu daging yang direbus masak untuk kemudian dicincang, para parhobas disibukkan dengan kopi dan teh masing-masing. Percakapan yang selalu diiringi gelak tawa pun terjadi.

Di sudut lain, beberapa temanku asyik pula dengan panggangan. Mereka memanggang bagian dada. Katanya, bagian itulah yang paling sesuai, paling sodap jika dipanggang.

Waktu berlalu, daging usai direbus, dicincang pun sudah. Hasil panggangan pun telah dicicipi. Ramuan sambal panggang sajian teman-temanku itu sebenarnya biasa saja. Bawang merah dan putih ada, cabai merah, asam, garam. Namun, kalau sudah dilengkapi andaliman (hehehe, membayangkannya saja sekarang liurku muncul), rasanya pasti akan mengguncang dunia.

Ketika memasak daging hendak di mulai, ada sedikit kendala. Ternyata sendok – bukan sembarang sendok, sendok raksasa pendamping kuali raksasa – tidak ada. Entah tercecer di mana, tak seorang yang tahu. Aku pun berlari kecil ke rumah, menebas dua batang pelepah atau batang daun kelapa, membersihkannya, sret-sret, dan akhirnya dengan menggunakan parang membentuk menjadi sendok. Dua buah sendok besar.

Mengaduk daging dan bumbu di kuali aku masih ikut. Namun kepada teman-teman segera aku permisi, hendak membawa Pho, anak lelakiku yang berumur setahun tiga bulan ke rumah sakit. Berobat. Sejak sehari sebelumnya Pho memang mencret. Namun tidak terlalu kerap dan masih dalam jumlah sedikit. Ketika sejenak pulang ke rumah membentuk sendok tadi, istriku mengajak agar kami bawa saja Pho ke rumah sakit. Jangan sampai kecolongan. Aku pun sebenarnya berpendapat sama.

**

Acara pesta bona taon itu berlalu biasa saja. Beberapa tahun lalu kami lebih antusias. Hampir semua anggota bergantian memberi ucap salam selamat tahun baru dan menghamburkan unek-uneknya. Tahun ini sepi. Organ tunggal pun tak ada. Dulu sempat ada. Kami meminjam organ gereja, Technic KN 2400 yang beru dibeli, dan bersuka ria berdendang hingga hari gelap. Tahun ini tetap juga bernyanyi-nyanyi, namun hanya ditemani gitar. Itu pun tersendat-sendat. Karena sang gitaris harus merehatkan jari-jarinya. “Nga haccit jari-jarikku. Ala na so biasa i be.”, katanya beralasan. Maka kami yang telah ‘kentang’, kena tanggung, harus menahan selera. Menunggu jari-jarinya pulih dan berharap ia segera sudi memetik gitar lagi. Kalau tak sabar, mainkan sendirilah gitarnya, dan itulah yang kulakukan. Campuran sup babi, bir dan tuak betul-betul membuat kami kena. Manginona, kata kawanku. Lagu harus ditarik. Diselingi umpama- umpama. Umpama? Ya, umpama batak. Temanku si tuan rumah kalau sudah ‘terbang’ punya hobi unik. Menciptakan umpama. “Immatutu, nitta attong.”, begitu pintanya jika umpama sudah tercipta dan dibunyikan di hadapan khalayak. O tahe...