Namun, masih juga Dapot, atau mungkin Pendeta Hisab, bernasib baik. Bersua juga Dapot dengan sebuah kantongan plastik hitam. Tunggu dulu, ada isinya. Hm, ternyata sisa goreng pisang. Mungkin sangu ruas yang bercakap-cakap sambil menunggui Pendeta Hisab yang tak kunjung turun dari langgatan. Benarlah, sungguh hurik pikuk pekarangan gereja beberapa hari terakhir ini. Sampai kapan ya? Tak berani Dapot meneruskan tebak-tebakan dalam hati, bergegas ia ke dalam gereja.
“Na lelang ma i.”, sebuah gerutu. “Baen batu, danggur ma nanget tu son.” Dapot telah menyiapkan batu di sakunya, namun dongkol telah terbit. Ia pun pura-pura keluar mencari batu. Ia mulai bisa menduga, apa gerangan kegunaan kantongan plastik ini. Sunguh menjijikkan!
“Ai tu dia dope hamu?..”
Mungkin inilah telejamita. Malam itu, dengan bersemangat Pendeta Hisab menyampaikan kotbahnya dari langgatan. Tak terlihat ada jemaat yang mendengarkan di bangku-bangku gereja. Pendeta Hisap pun tidak terlalu mengarahkan wajah ke depan. Ia lebih menunduk. Sebuah ponsel terletak di sebelah tiang mike, di sebilah papan mimbar, dalam posisi speaker on.
“Hamu dongan na pinarhamaol ni Debata.., aha do na ro tu rohanta ditingki ro pangunjunan i ?”, menarik nafas ia sejenak. Tak dihela dalam-dalam, hanya dibiarkan berlalu seteratur mungkin. Sesak di bawah dada dan di ujung tulang belakang akibat gerak peristaltik usus yang telah jenuh, butuh pelampiasan. Merapat paha Pendeta Hisap, menahan kuatnya dorongan dalam perut. Kantongan plastik, kantongan..., kenapa lama sekali.
“Ago!”, Pendeta Hisap terkejut sekali. Sebuah benda keras menerpa kepalanya. Hendak dilanjutkan gerutunya. Kuat sekalilah lemparan Dapot itu. Namun ia sadar, sedang mengudara. Online, terhubung dengan pendengar, nun di
Dapot yang di bawah pun teridu bau tak sedap. Baling-baling kipas tepat di atas kepala Pendeta Hisap turut berperan dalam penghantaran bau itu. Diam-diam Dapot menuju suis kipas angin gantung itu, dan mematikannya.
“Adong diida hamu harotas, manang koran pe?” demikian suara dari atas. Semakin menjijikkan. Dapot sudah tak tahan.
Wibawakah namanya jika tak kuasa kita menolak kehendak seseorang, yang paling konyol sekalipun? Takut mungkin. Lebih tepat perpaduan keduanya. Jika balas budi turut menyertainya, tentu semakin menjadi beban. Maka, apapun itu, genapi sajalah. Begitulah untuk kesekian malam Dapot tidak berbaring di samping istrinya, sebaliknya di lantai dingin di bawah langgatan gereja. Menemani Pendeta Hisap.
Istri Pendeta Hisap selalu berhasil mencari alasan yang tepat untuk menghindari tugas menemani suaminya. Saya harus menunjukkan ketegaran, memberi peneguhan kepada jemaat, memberi informasi yang benar atas apa yang terjadi, agar tidak simpang siur. Toho tahe, seketika batin Dapot mengiyakan. Seberlalunya dari hadapan istri Pendeta Hisap, saat itu juga ia sadar akan kelemahannya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar