Rabu, April 23, 2008

On Party Goers, An Pe Tong Marpestai. Bagian dua : Trio Flamingo

Hingga hari sabtu yang lalu (5/4) aku masih menghadiri satu lagi pesta bona taon. Bukan sebagai peserta, melainkan penghibur. Bersama dua lagi temanku, yang satu semargaku Simanjuntak, satu lagi bermarga Simatupang, kami bernyanyi menghibur di banyak pesta batak. Nama kelompok kami, Trio Flamingo.

Meski dengan formasi berbeda, antara kami bertiga sebenarnya telah pernah bersama dalam kelompok bernyanyi, baik trio maupun vocal grup. Namun, untuk mempertemukan formasi sekarang ini sempat tersendat-sendat. Maklumlah. Simatupang , yang selalu kusapa ‘Tulang’, sebagai penggagas trio ini awalnya ragu apakah kami Simanjuntak berdua bersedia bersama dalam satu grup nyanyi. Siapa tidak tahu kisah bau marga Simanjuntak dan dua kerbaunya, yang hingga sekarang masih diseret-seret dan dihembuskan. Aku dan Uda, Simanjuntak satu lagi di trio kami, memang lain kerbau. Dan menurut para pemuja kisah horor Simanjuntak, kami berdua tidak semestinya berdekatan, apalagi sampai bersatu membentuk satu kelompok bernyanyi atau semacamnya.

Namun niat kami tak dapat dibendung oleh kisah, yang maaf saja menurutku, lebih dekat ke tahyul. Hampir dua tahun lalu kami pun menggabungkan diri. Aku personil termuda. Tulang sudah kepala empat, demikian juga Uda. Anak-anak mereka telah pun beranjak dewasa. Ada yang bahkan telah memakai seragam polisi. Sedang putriku masih TK nol kecil. Begitupun, beda usia mampu kami jembatani. Kebetulan, dengan Tulang aku sama-sama menjadi anggota kelompok koor di gereja. Namanya Koor Amasada. Aku dan Uda, meski baru berkenalan cepat sekali akrab. Jujur saja, mereka berdua banyak mengajariku ihwal bernyanyi dengan cengkok batak. Bagaimana membunyikan suara tiga atau lima, yang menjadi bagianku dalam grup kami. Suaraku yang tipis namun lumayan melengking memang lebih cocok kesana. Satu yang hingga sekarang belum dapat kulakukan. Bernyanyi dengan suara palsu. Kata mereka ‘marskill’. Aku dulu terkagum-kagum dengan ketinggian dan padunya suara-suara trio batak. Belakangan baru kutahu bahwa banyak dari penyanyi itu yang menggunakan suara palsu. Aku tak tahu nama tehnik itu. Apakah itu falseto, entahlah. Pengalamanku hanyalah menyanyikan lagu-lagu Guns n Roses, Skid Row, Extreme, Quenn serta sejenisnya.

Pekanbaru dan Piala Yang Tak Digilir

Begitulah, ketika beberapa bulan lalu diadakan sebuah festival trio batak di kota kami, Dumai. Kami ikut serta dan juara. Awalnya kami tak bulat suara hendak mengikuti. Tulang seperti teragak-agak. Ragu. Ketika mendengar lagu wajib ia makin ragu. Lagu ini dinyanyikan keroyokan. Ada Victor Hutabarat, Rita Butarbutar dan Trio Ambisi. Bagaimana hendak mentriokannya? Begitulah ia gusar. Namun, sebagaian karena tidak ikhlas kalau hadiah sekian juta jatuh ke tangan orang lain, kami pun rajin jugalah latihan. Hasilnya mallapak.

Dilanjutkan dengan tingkat propinsi. Kami berangkat ke Pekanbaru. Hendak merebut piala Kapolda. Kami dikarantina di sebuah hotel yang karena menyandang nama ‘bintang’ – hotel ‘Bintang Anu’, semacam itulah - maka berani-beraninya memampangkan gambar tiga buah bintang di atas hotelnya. Seperti kontestan lain, kami pun kecele. Di hotel, rajin sekali kami berdoa. Hendak makan berdoa. Mau tidur berdoa. Berangkat tanding ke hotel yang benar-benar berbintang tiga, pun berdoa. Lebih gomos tentunya. Bunyi doa kami kira-kira begini, “Tuhan kami tidak minta kemenangan. Namun jika kiranya kami layak Tuhan, berikanlah kemenangan itu. Agak sombong ya sebenarnya. Kalau tidak salah, tiga kali doa seperti itu dipanjatkan Tulang. Diaminkan kami.

Di malam final aku benar-benar grogi. Dengan bahasa Batak yang dikental-kentalkan, kuusahakan membaur dengan para kontestan lain. Mereka datang dari serata Riau, namun tampak betul bukanlah seperti aku, lahir dan besar di Bumi Lancang Kuning ini. Di penyisihan siang hari, semua kontenstan kecuali dari Pekanbaru dan Dumai sudah tersingkir. Jadi kalaupun hadir di malam final, mereka yang berasal dari Pelalawan Siak dan lainnya hanyalah menonton. Meski begitu, dapat jugalah mereka bertegur sapa, bahkan sesekali bercanda dengan para pesohor di kancah musik Batak. Trio Ambisi hadir, demikian juga Trio Maduma. Andolin Sibuea yang aransemen musiknya telah menghiasi ratusan album lagu Batak, bahkan bernyanyi. Victor Hutabarat yang ramah datang membawa istrinya. Benny Panjaitan dan Rita Butarbutar menjadi juri. Ah, banyak lagi. Mereka semua ramah dan memang punya suara indah belaka. Tak terbayangkan sebelumnya aku akan pernah selarut ini dengan jenis musik yang dulu selalu kuanggap kelas tujuh belas. Malu aku ke diri sendiri. Namun tak lama. Ketika akhirnya ketua tim juri, Benny Panjaitan mengumumkan kami memperoleh tempat kedua, alamak, betapa berbungah hatiku, hati kami. Sungguh sebuah pencapaian.

Pelan-pelan terungkap bahwa hanya kamilah, finalis dari Dumai, yang merupakan trio comoton. Maksudku, bukan bagian dari suatu grup musik Batak. Para pesaing kami, memang menjadikan seni bernyanyi sebagai sandaran hidup. Mereka punya tempat latihan tetap dan alat musik serta pemain, sedangkan kami hanya menumpang latihan di gedung serbaguna yang memiliki alat musik. Hanya modal pertemanan belaka.

Bahkan di kemudian hari ada yang mengatakan bahwa festival tersebut diadakan untuk mengadu gengsi masing-masing grup musik Batak di kota Pekanbaru. Apa iya? Ada-ada saja.

Hingar bingar malam itu tuntas sekitar pukul dua dini hari. Besok siangnya, setelah mengelilingi kota Pekanbaru, bukan hendak mau pesiar, namun karena supir yang membawa rombongan sok tahu dan akhirnya lilu, kami pun pulang.

Baik ketika berangkat, maupun pulang dari Pekanbaru, aku selalu duduk sebangku dengan Uda. Di hotel pula setempat tidur. Nir bencana. Terima kasih Tuhan, bathinku. Mudah – mudahan dibukakan mata hati saudara-saudaraku Simanjuntak lainnya.

Piala setinggi kurang lebih delapan puluh sentimeter pun kami boyonglah. Sebagai pendiri dan memang pimpinan kami, Tulang berhak membawa ke rumahnya untuk pertama kali. Katanya, “Tu jabunami ma parjolo ate lae. Ba marganti hita.” Aku dan Uda mengiyakan. Jadi, kalau nanti anak istriku hendak melihat rupa piala itu, aku harus menjemput, atau tepatnya meminjam dari rumah Tulang. Ah, kupikir tak perlulah itu. Siapa juga yang mau menenteng piala di sepeda motor, kemudian beberapa hari kemudian memulangkannya. Di kemudian hari, ketika berlatih di rumah Tulang, penglihatanku sering terbetot oleh piala yang memang dipajang di ruang di mana kami sering latihan. Aku hampir lupa, piala itu ada.

Karena Dumai bukanlah kota besar, pencapaian kami cepat tersiar. Diberitakan di koran lokal sebenarnya. Akan tetapi karena hanya memperoleh posisi kedua, foto kami yang berada baris kedua tertutup sosok kapolda, panitia dan juara satu. Dari bagian tubuhku yang terlihat hanya dahi ke atas. Dengan malu-malu harus kuterangkan juga ke handai-taulan dan teman-teman bahwa kepala yang tersembul itulah aku. Tulang dan Uda bahkan tidak kelihatan. Maklum, mereka tidak lebih tinggi dariku.


The Job.

‘Job’ manggung kami bertambah. Di natal oikumene kami tampil. Ikut juga menemani ibu walikota ketika didaulat bernyanyi di natal tersebut. “Nanti kalau ada acara kita nyanyi sama-sama lagi.”, demikian bisik ibu walikota ke kami waktu itu. Hingga sekarang belum kesampaian. Mungkin ibu walikota lupa, atau ia ingat tapi tak tahu bagaimana menghubungi kami .

Masih di minggu kedua bulan januari 2008 sudah ada punguan marga mengadakan pesta bona taon. Panggilannya pun mendadak. “Marsogot marende hita lae, di jabu ni si Hasibuan katua.”, demikian Tulang menelepon malam itu. ‘Hasibuan katua’ adalah ketua koor Amasada (koor kami), juga menjabat ketua parsahutoan Mauliate (parsahuton kami) dan sekaligus ketua marga Hasibuan.

“Waduh, suaraku lagi rusak tulang. Aku batuk..”

“Palan-palan pe tabaen. Nunga terlanjur huoloi.”

Demikianlah, dengan suara pas-pasan, bahkan sering keseleo, aku datang dan ikut bernyanyi juga besoknya. Waktu berlalu dan hampir tiap minggu kami manggung. Di pesta parsahutaon atau STM, pesta marga, ataupun kumpulan yang dibentuk karena rasa kebersamaan. Seperti punguan yang mengundang kami awal April lalu. Punguan Satahi Saroha, demikian namanya. Dibentuk atas rasa kebersamaan para penggiat lapo tuak. Baik pemilik, maupun pengunjung, se Dumai. Jumlah mereka sekitar delapan puluh orang. Ketuanya juga si “Hasibuan Katua’. Di pesta Sabtu itu, mereka menyertakan istri. Uniknya, istri boleh duduk manis. Para suamilah yang meladeni. Menyiapkan cuci tangan, nasi, lauk, sup, air minum dalam kemasan semua dilakukan para suami. Kecuali air minum dalam jirigen alias tuak, tak dihidangkan bagi para istri.

Mereka puas akan suguhan kami. Kami pula menikmati saweran mereka. Semua senang, kecuali mungkin tetangga tuan rumah yang terpaksa mendengar dentuman pengeras suara. Entahlah.

Akan halnya pesanan alias orderan atau ‘job’ manggung kami sebenarnya lumayan banyak. Namun tak sedikit yang batal, karena ketidaksesuaian harga. “Musik ni halahan (disebutkanlah nama pemilik) nasa i nunga lengkap martagading dohot suling. “, demikian biasanya pemilik hajatan yang berniat menanggap kami bersuara ketika mendengar penawaran kami. Apa boleh buat. Kami memang belum memiliki sound system sendiri. Perangkat musik dan sound system orang lainlah yang kami sewa saban manggung. Jadi sulit untuk menekan harga. Maka secara umum ‘job’ yang datang terbagi dua. ‘Real job’, yaitu orderan yang memang ‘deal’, dan ‘ blow job’, yakni pesanan manggung yang tak menjadi, lalu bersama angin, karena ketidaksesuain harga tadi.


­Parendeon

Tahun lalu, ketika berniat menjadi pengisi acara di hotel, kami telah membuat buku lagu. Tulang dan Uda memberikan teks lagu-lagu, kemudian kuketik dan kujilid dengan sampul dilaminating dan tulangan spiral, agar benar-benar awet. Kubuat rangkap tiga sehingga masing-masing kami kebagian satu. Meski bernyanyi di hotel urung, sekali lagi karena ketidaksesuain harga, buku lagu tersebut tetap dipakai. Bahkan bertambah tebal karena banyak lagu baru. Jadi bukan buku ende HKBP saja yang punya suplemen.

Untuk lagu-lagu tortor, tak melulu lagu Batak yang kami dendangkan. Masuk juga lagu –lagu seperti Volare, La Bamba, bahkan Munajat Cinta.

Di tiap penampilan, baik pesta marga maupun STM atau parsahutaon, biasanya kami akan menyanyikan beberapa lagu sebelum panortoron. Sebelum, ketika atau sesudah makan. Bernyanyi ketika orang Batak makan benar-benar tak sedap. Ada saja orang yang menyebut diri protokol menimpali dengan suara dibesarkan, entah dapat mike dari mana dia, ”Paso hamu jo, paso hami jo na marende i, adong pengumuman.” Ketika kami yang ‘kentang’-kena tanggung- akhirnya benar-benar berhenti di tengah lagu yang hampir klimaks, beginilah bunyi penguman itu :

“Tu akka ina, tinggalhon hamu solop muna i di luar. Unang panaek manang diboan tu tikkar. Saulak nari, tu akka ina, bege hamu-bege hamu...”, ini biasanya karena yang dikasih peringatan, kaum ibu, cuek dan tetap ngerumpi. “Tinggalhon solop muna di luar, unang dipanaek tu tikkar. Songon i ma. Toe, torushon hamu ma na marende i.”, katanya sambil berpaling ke kami, khususnya ke Tulang yang berada di belakang keyboard. Kami bertiga akan saling pandang, dan sulit kulukiskan di sini wajah jengkel Tulang. Biasanya ia akan melengos, pergi ke sudut-sudut, marbete-bete, kemudian balik lagi ke belakang keyboard. Banyak lagi contoh pengumuman tak kalah norak dan tak perlu yang kerap menyela penampilan kami.

Kadang aku heran juga melihat kebiasaan orang Batak dalam menggunakan mikrofon. Sulit menemukan suku lain yang punya kepercayaan diri tinggi seperti orang Batak dalam memegang dan berbicara memakai mikrofon. Di pesta adat pernikahan, paling tidak di kotaku, tampak sekali hal itu. Sering terlihat mike wireless bahkan dimasukkan ke saku jas sambil berjalan kesana-kemari jelajatan. Entah mencari dongan tubu atau borunya hendak memasuki gedung, atau mungkin mencari istri, hendak meminta sapu tangan. Bisa jadi ia takut mikenya diambil orang lain. Tapi ini sudah ngelantur. Kali lain kita bicarakan.