Kamis, Juli 12, 2007

Tentang Lia, Tentang Ditha






Ditha, putriku, berusia dua tahun delapan bulan. Natal kemarin, berkat
kegigihan ibunya mengantarkan ke gereja tiap hari minggu, sehingga
Ditha terdaftar sebagai anak sekolah minggu, maka ikut pulalah Ditha
bernatal dan berliturgi, juga mambacakan sajak. Wah, bangga sekali aku
waktu itu, apalagi ibunya.

Tingkah lakunya yang perajuk dan 'parhata sada' terkadang sering juga
mengganggu batas kesabaran aku dan ibunya. Kadang tercetus juga
kata-kata "entah siapa yang ditirunya", begitulah sambil bercanda, aku
dan ibunya kerap saling menuding perilaku keras hati siapa yang
diturunkan ke ditha. Sifa ibunyakah, atau aku, bapaknya. Menurut Mbak
Ijah, tukang urut kenalan kami, sifat keras hati adalah bawaan
namanya, Ditha. Memang nama itu pilihanku. Tapi, masak sih, keras hati
karena nama.

Ditha gemar mengamat-amati perilaku orang-orang disekitarnya. Merekam
kata-kata, dan meniru perbuatan. Akhir-akhir ini Ditha suka menirukan
kegiatan ritual 'parorot 'nya, Sari. Sari, menggantikan kakaknya yang
sudah menikah, menjadi pengasuh putriku dan membantu istriku
mengerjakan pekerjaan rumah. Sari, yang muslim, taat sekali melakukan
sholat. Repotnya, Ditha suka nyelonong ke kamar Sari untuk
melihat-lihat, dan yang merisaukan kami, dia bahkan menirunya. Ya,
Ditha menirukan sholat. Ditha bahkan sudah berani memaksa ibunya untuk
memakaikan sarung dan secarik kain untuk dijadikan sarung dan
telekung. Bercampur geli, kami menegur Ditha. kami marah. Ditha cuek.
Memang begitulah Ditha. Semakin berontak jika ditegur. Karena memang
penasaran, istriku pun memakaikan sarung dan kain tadi. Wah, Ditha
cantik sekali. Ayu. Tak sampai hati lagi kami untuk marah. Wajahnya
yang lucu itu, ketika dibalut kain menyerupai telekung, menampilkan
paras yang elok.

Merasa mendapat angin, maka Ditha pun memulai apa yang dinamakannya
'colat'. Ditha bersimpuh, dan mulai mencium lantai. Berulang kali.
Ketika kuperhatikan, ternyata mulutnya komat-kamit. Terbersit juga di
benakku, jangan-jangan Sari benar-benar mengajarkan anakku sholat.
Sari, yang memang ketika itu tepat di samping istriku terlihat pucat.
Aku jadi merasa tak enak. Curigaku tertangkap olehnya.

Tak lama, Ditha pun menyelesaikan 'colat'nya. Rasa tidak senang kami,
aku dan istriku, terbaca olehnya. Maka, Ditha yang cerdik itu pun
berusaha melakukan pendekatan.

"Papa tau apa kakak bilang waktu colat?" Ditha bertanya padaku, apakah
aku tahu ayat-ayat yang dibacakannya tadi. Ditha memang selalu
menyebut dirinya dengan sebutan 'kakak'. Meniru adik-adikku, uda,
inanguda dan namborunya, yang memanggil istriku kakak.
Karena masih gondok, akupun menjawab ketus "Enggak!"

Akhirnya Ditha beralih ke ibunya,"Ma, Ma, tadi kakak bilang, pada
mulanya Allah menciptakan langit dan bumi." Kemudian Ditha tergelak.
Istriku diam sejenak, kemudian ikut tergelak. Lebih kuat. Aku yang
kurang menyimak berusaha menghentikan tawa istriku. "Dia bilang apa?"
Istriku berusaha berhenti. Terengah-engah dia menjelaskan,"katanya,
waktu dia sholat tadi, dia bacakan liturginya, pada mulanya Allah
menciptakan langit dan bumi." Dan tawakupun pecah. Meningkahi tawa
Ditha dan ibunya. Sari hanya senyum-senyum. Lega dia.

Malam itu, entah kenapa aku jadi teringat Lia Aminuddin. Ada kemiripan
Lia dan putriku. Bedanya, Ditha adalah putriku. Ditha butuh bimbingan.
Dan hal itu adalah tanggung jawab kami, bapak ibunya.

Dumai, 20 Januari 2006
Harnata Simanjuntak

Tidak ada komentar: