Kamis, Juli 12, 2007

Bibelvrouw Ma Ho Ren?


Beberapa waktu lalu, Togap menyalin pengumuman penerimaan bibelvrouw
dari situs HKBP, mencetak dan dibagi-bagikan ke tetangga dan handai
taulannya. Saat ini ia sedang di rumah tulangnya, Tulang Reni,
mendengar ibunya bercakap cakap dengan ibu Reni, nantulangnya. Di
rumah itu, kebetulan hadir juga Nai Parlin, tetangga nantulang Reni.
Andaikan topik pembicaraan mereka tidak menggelitik, Togap pastilah
mendesak pulang ibunya. Namun, kali ini lain. Di ruang keluarga, tak
jauh dari lapak rumpi ibu Togap dan teman-temannya, sambil menonton tv
dengan Reni, paribannya yang udah setahun menganggur setamat SMU itu,
telinga mereka terbuka lebar.

"Alai manang na beha pe dohonon muna, songon na erget do hubereng isi
ni pengumuman i." Nai Parlin diam sejenak. Melihat muka teman
bicaranya agak keruh, segera Nai Parlin menambahi, "Unang dia-dia roha
muna eda da. Maksud hu, ala na so ruas ni HKBP ahu." Ya, Nai Parlin
memang bukan ruas HKBP, tepatnya telah hijrah ke gereja lain.

"Di dia huroha par erget na diberang hamu?", Nantulang Reni berusaha
mengatur suara agar tak meninggi. Namun, tetap saja terdengar kurang
sedap. Di raihnya kertas salinan pengumuman yang telah keriput dari
meja, diserahkan ke Nai Parlin.

Nai Parlin menampik dan berkata,"Jaha hamu ma disi. Bah dibahen gereja
tetangga. Maksud hu eda, hera na hurang tabo begeon. Aha ma salana di
bahen, misal na, dan gereja lain yang diakui PGI." Hebat memang, sejak
pindah gereja, bahasa Indonesia Nai Parlin makin hantus, lebih tumangkas.

"Olo ma.., alai khan ta antusi do maksud ni surat on." menimpali Nai Reni.

"Ta antusi do nian. Alai...", Nai Parlin tak meneruskan, ia lebih
memilih berbelok," Bereng hamu ma disi muse. Khan dang pola ingkon
`uang' bahenon disi. Aha ma salana dibaen `biaya'. Jadi dang pintor
mabiar hita mamereng."

Melihat kedua temannya terdiam dan raut muka mereka melunak, Nai
Parlin makin menggebu, "Muse, na apala hurang coccok di rohangku,
memang sona adong nian sian jabu na naeng melamar, alai ima sada. Di
nomor piga do nangkin hubereng i. Ingkon binaen ninna surat sanggup
membiayai selama kuliah. Ai khan binoto do kemampuan niba. Dang na
gabe pantang so bilak iba pamasukhon ianakhon niba, hape dang sanggup."

Ketiganya terdiam. Nai Parlin mengambil nafas, Nai Reni dan Nai Togap
menghela nafas. Huh.... .

"Memang, i do nian. Muse molo ni bereng, songon na timbo do biaya na
ate eda..", Nai Togap mengalamatkan kalimatnya ke Nai Parlin, tetapi
disambar edanya, Nai Reni, "Bah nunga wajar antong eda dah. Ai
saonari, nunga boi maniop huria molo bibelvrouw. Tu hurianta pe khan
bibelvrouw hian do dikirim. Na ta tulak do. Baru pe asa dikirim pandita"

Agak melebar bukaan mata Nai Parlin. Koq aku baru tahu ya...

"Ai molo so sala ahu..., khan adong do hamu marpelean tu jolo, tumpak
tu Sikkola Bebelvrouw. Na so cukkup do mungkin i ate, gabe dibahen
uang pembangunan onom ratus ribu..", sedatar mungkin kalimat Nai
Parlin mengalir, paling tidak menurutnya. Namun intonasi yang melemah
di ujung, memaksa telinga lebih berjuang mendengar, lebih `tinggil'.
Jelas sekali disengaja, tak siapa pun meragukan keahlian Nai Parlin
dalam hal ini. Julukan `parbabo', parbada bolon, bukanlah berarti Nai
Parlin kerap terpekik-pekik beradu urat leher dengan tetangga. Nai
Parlin sudah katham fase itu. Kini ia main lebih cantik. Hingga kombur
bubar, barulah lawan bicara sadar, betapa mereka terperdaya Nai
Parlin, parbabo.

"Alai sebenarna, molo piningkiran, nibandinghon muse tu singkola na
asing, sikkola perawat majo nidokhon, bah nga sedang on nian."
Akhirnya Nai Togap meralat.

"Bah nunga mura, nimmu ma.", wah, Nai Reni bangkit lagi semangatnya.

Biarlah, aku sudah cukup puas, batin Nai Parlin. Tak usah kutimpali lagi.

"Jadi boha do Ren? Mendaftar do ho?", sapaan Nai Parlin mengejutkan
Reni yang dari tadi belum berhasil membalas cubitan Togap, tangannya
selalu berhasil ditepis. Ah, enaknya marpariban..

"Ya terserah mamak lah namboru. Aku sih ok-ok aja. Yang penting
dibikinnya surat sanggup itu. Lagian.., bibelvrouw kan udah boleh
kawin. Aku sih asyik-asyik aj... aduh..", belum lengkap kalimat Reni,
cubitan Togap mendarat lagi. Kali ini di pipi. Ih...

Tidak ada komentar: