Kamis, Juni 28, 2007

Nai Dokdok Ikut Pesta MBO



Nai Dokdok merapikan rambutnya. Apalagi yah. Bedak
sudah. Lipstik sudah. “Renta, bawa dulu sini minyakmu
itu.” Wah ternyata Nai Dokdok sempat-sempatnya
bergenit ria. Pingin pula dia pakai minyak
sinyongnyong. Sret, sret. “Sudah cukuplah itu .” kata
Renta sambil menyemprotnya minyak wangi ke kebaya
ibunya. “Nih Mak, nambah ongkos.” Renta menyodorkan
selembar uang duapuluhribuan. Dia maklum antusiasme
ibunya saat ini. Betapa tidak. Bertemu pucuk pimpinan.
Impian tiap jemaat. Sejak ditinggal mati suaminya,
bergeraja telah menjadi satu-satunya curahan hati Nai
Dokdok.
Singkat cerita, dengan menyewa angkot, tibalah Nai
Dokdok dan teman-temannya ‘sapunguan ina par ari
kamis’ ke tujuan mereka. Ternyata mereka ke sebuah
gereja HKBP yang baru selesai dibangun dan langsung
akan menjadi resort. Lazimnya memang, untuk menghadiri
undangan gereja yang punya hajatan, maka tiap punguan
di gereja mereka digilir. Beruntung sekali Nai Dokdok,
disaat hajatan sebesar ini yang dikirim adalah punguan
mereka. Ina par ari khamis. Cihuy.. . Tentulah pucuk
pimpinan yang dari Tarutung akan hadir. Ikkon hujalang
annon ompui, begitu Nai Dokdok membatin. Niat yang
sama juga menghinggapi temannya serombongan. Diam-diam
Nai Dokdok menghidu bau tubuhnya. Tidak pede dia.
Maklumlah. Setiap hari ‘margulu-gulu’ kotoran dan
ampas makanan. Sesuatu yang harus digelutinya sebagai
seorang ‘parpinahan’. Ya, memelihara babi adalah
pekerjaannya. Memang sungguh mulia hati para pemimpin
di kota kita ini. Kita diberikan lokasi khusus untuk
‘marpinahan’. Begitulah kerap pujian yang dilontarkan
Nai Dokdok dan teman-teman seperjuangan (‘angka
parpinahan’). Berbeda dengan beberapa tahun silam,
kini Pemko telah melokalisir areal ternak babi di kota
mereka. Kebijaksanaan yang pada awalnya ditentang,
namun kini malah disyukuri. Buktinya, jumlah peternak
babi semakin banyak. Mungkin karena merasa direstui.
Namun sebenarnya karena tuntutan ekonomi yang tidak
menawarkan pekerjaan lain. Kembali ke soal bau tadi.
Pengalaman melihat pegawai kelurahan yang hampir
muntah mencium bau tubuhnya ketika mengurus KTP
membuat Nai Dokdok jera. Cukup sekali ini aku
dipermalukan. Takkan kubiarkan orang lain memandang
hina aku. Begitulah tekadnya.
Rombongan Nai Dokdok dibimbing panitia ke tempat duduk
mereka. Wah sayang, agak terlalu ke belakang. ‘Dang
tangkas be annon hubereng bohi ni ompui’, terbersit
rasa kecewa Nai Dokdok, namun cepat dihapusnya. “Kan
manortor do annon, disi ma tajalang.” Nai Harapan,
teman akrab Nai Dokdok yang melihat ekspresi
kekecewaan Nai Dokdok berusaha menghibur. “Eda, bereng
jo panditantaan, songon nasibuk hubereng Amang i.
Nidophon roha ate. “ Nai Harapan memulai topik baru
untuk mengalihkan perhatian Nai Dokdok. Memang
pagi-pagi sekali dia melihat pendeta yang bertugas di
gereja mereka sudah melintas dengan jas lengkap
menaiki sepeda motornya. Kebetulan Nai Harapan
tinggal tidak terlalu jauh dari tempat tinggal
pendetanya, sehingga aktifitas sang pendeta selalu
dicermatinya. Nai Harapan maklum pendetanya hendak
berangkat lebih dulu ke gereja yang akan MBO itu. Hal
tersebut telah disampaikan pendeta ketika punguan
mereka, ina par ari Kamis marguru. “Lok ma sintua na
mandongani hamu annon ate angka inang. Anggo ahu
ingkon parjolo do berangkat. Alana… mangantusi ma
hamu.” Dan mereka memang ‘mangantusi’. Imajinasi Nai
Dokdok mengalir, membayangkan murid-murid Yesus
menyiapkan keledai dan dengan penuh pengabdian
melayani sang Mesias. Begitukah yang akan dilakukan
pendetanya? Menyambut dan melayani pimpinannya? Ah,
suatu perbandingan yang terlalu berani. Cepat-cepat
dihapusnya imajinasi itu.
Awalnya Nai Dokdok gamang melihat sekelilingnya.
Pameran kemewahan dan segala pernak-perniknya. Namun,
sesaat dia sudah dapat duduk tenang. Pelan-pelan
kerikuhan bersanding dengan ‘angka dongan sa huria’
dari berbagai pagaran dan resort lain di kotanya yang
juga hadir memenuhi undangan mulai redup. Rasa nyaman
mulai hadir. Mungkin setelah melakukan pengaturan
nafas. Op. Jetro, temannya yang duduk di bangku
belakang ‘manggoit’. Nai Dokdok pun terkejut. Ah,
ternyata Ompung Jetro menawarkan permen. Permen
konidin kebanggaannya yang memang extro strong. Makin
‘cas’lah perasaan Nai Dodok. Melihat pameran kebaya
yang dikenakan ‘angka ina sian huria na asing’ pun dia
sudah biasa-biasa saja. Paling-paling kalau ada yang
terlalu wah, dia akan saling lirik dengan
teman-temannya. “Bagak nai ate.” Begitulah mereka
bergumam. Pertunjukan belum selesai. Walaupun acara
sudah hampir dimulai, masih ada saja yang baru tiba.
Mengikuti arah pandang hadirin yang lain, nai Dokdok
menoleh ke belakang. ‘Amangoi, aha doi?’, Nai Harapan
yang dari tadi berlagak kalem, tak sadar terpekik
lirih. Undangan yang baru tiba ternyata orang penting.
Paling tidak untuk komunitas yang hadir. Keluarga Op.
Japjap. Siapa tak kenal keluarga tajir yang satu ini.
Sudah berapa gereja disumbangnya. Terlihatlah Op.
Japjab boru dengan kebaya yang menyilaukan pandangan.
Op. Jetro berbisik ke telinga Nai Dokdok,” Hurasa,
holan horong-horong dohot angka golang nai pe di gadis
nunga cukkup mambangun gareja on ate.” Nai Dokdok
tergelak dan menepis tangan Op. Jetro,” Ho nian
natua-tua.”
Dan acara pun dimulai. Cukup panjang memang
rentetannya. Kebaktian minggu selesai, disambung
dengan MBO (mameakkon batu ojahan), peresmian resort
lagi. Tidak seperti beberapa temannya yang mulai resah
dan beberapa kali merubah cara duduknya, Nai Dokdok
terlihat cukup patuh menekuni tiap acara yang
berlangsung. Keresahan teman-temannya tidak
berlangsung lama. Acara seremonial selesai. Makan
bersama pun terlewatkan dengan penuh canda. Sesekali
mata mereka memerhatikan pelayanan ‘khusus’ yang
diberikan panitia kepada Op. Japjap dan teman-temannya
yang memang masuk golongan undangan khusus karena
sumbangan yang telah (dan akan) diberikan.
Musik mulai berbunyi. Jantung Nai Dokdok ‘taroktokan’
dan jauh lebih kencang dari bunyi gondang. “Manortor
nama,” nai Harapan mengingatkan. Aku sudah tahu, batin
Nai Dokdok. Giliran manortor pertama adalah parhalado
partohonan. Yes…, ompung.. aku datang, Nai Dokdok
berteriak dalam hati. Tapi tunggu dulu. “Ai boasa gabe
rarat na di panggung i. Biasana holan sampulu halak
do.” Pandangan Nai Dodok beradu dengan Nai Harapan.
Hati-hati sekali Nai Dodok mencoba menghitung
parhalado yang berdiri di panggung. Hampir duapuluhan.
Tangan Nai Dokdok mulai dingin. “Beha nama on. Hape
hepeng na sian si Renta i tinggal sappulu ribu nama.
Dia cukkup on manolopi.”
Tiba-tiba satu lagi teman mereka ‘sapunguan’
menghampiri. Nai Jefri, istri seorang pegawai yang
memang lebih beruntung hidupnya dibanding
teman-temannya yang lain. “Uwe poang. Dang acci
parsaribuan. Lima ribu do partoru.” Kata Nai Jefri.
Ternyata Nai Jefri barusan dari panitia untuk
menukarkan duitnya, dan berkesempatan melihat lebih
dekat kejadian yang berlangsung di panggung. Sama
seperti temannya, dia pun ingin ‘manolopi’ atau
menyumbang ke depan. Itu memang satu-satunya jalan
untuk dapat naik ke panggung dan menatap lekat-lekat
wajah sang pucuk pimpinan. Harus ikut monortor dan
‘manolopi’. Nai Jefri terlihat menggenggam beberapa
ikat uang seribuan dan lima ribuan. “Ba dang
tartondong i dah,” yang lain mulai menggerutu. Solider
terhadap temannya, Nai Jefri kembali duduk. Tak
satupun dari mereka yang naik ke panggung untuk ikut
manortor. Pandangan mereka semua ke depan. Cukup lama
juga tortor yang satu ini. Betapa tidak. Yang berniat
‘manolopi’ tak habis-habisnya. “Tabo nai angka
sigodang hepeng i ate eda,” kata-kata itulah yang
akhirnya keluar dari mulut Nai Dokdok. “Beha bahenon
eda, mamereng-mereng sajo ma hita.” Nai Harapan
menimpali.
Akhirnya ‘penyiksaan’ itu pun berakhir. Selesai juga
tortor parhalado partohonan. Aha ma nuaeng muse ate,
Nai Dokdok berpikir. O, ternyata lelang. Lelang ulos,
ditambah lukisan. Sangat klise sebenarnya. Namun tentu
berbeda lelang di pagaran dengan lelang di hajatan
seperti ini. Babak baru pun dimulai. Juta demi juta
diteriakkan. Juru lelang tertawa. Memanas-manasi
peserta. Sungguh tontonan yang menarik. Ada yang
berniat menyaingi ‘bid-bid’ yang dilontarkan Op.
Japjap. Selalu menaikkan sejuta diatas penawaran Op.
Japjap. Akhirnya Op Japjap palak (hehehe, diantusi
hamu do tahe?). “Lima puluh juta!!” hadirin terdiam.
Hening dua detik. Jantung Nai Dokdok sepertinya sudah
jatuh. Namun tak lama tepuk tangan bergemuruh. “Hidup
Ompung Japjap.” Sang juru lelang berteriak meyambut
‘bidding’ Ompung Japjap. Nai Dokdok berusaha melihat
ke barisan bangku terdepan, dimana tamu-tamu
kehormatan duduk. Terlihat mereka yang duduk disana
mengangguk-angguk. Ada yang berbisik. Seandainya Nai
Dokdok tahu apa yang mereka bisikkan pasti jantungnya
benar-benar copot.
“SAHALI…., DUA HALI……, DUA SATONGA HALI….., TO…….LU
HALI. Ro ma hamu amang. Ro ma hamu.” Pemenang telah
diputuskan. Ompung Japjap merapikan jasnya. Ompung
Japjap buro melipat kipasnya. Hahaha…, lihatlah… Kami
akan diulosi ompui, mungkin begitulah teriakan mereka
dalam hati, pikiran liar Nai Dokdok bermain. Karena
memang untuk lelang istimewa seperti ini tentu tak
sembarang orang yang akan menyerahkan.
Berusaha menenangkan dirinya, pikiran nai Dokdok
melayang. Samakah aku dengan janda yang memberikan dua
peser itu? Sebaliknya siapa pula bandingannya Ompung
Japjap ini? Ah, hayalanku ini sudah terlalu liar,
pikir Nai Dokdok. Pelan-pelan, dia pun sudah ikut
mengangguk-angguk melihat jor-joran yang berlangsung
di atas panggung. Bolon nai hape HKBP on.

Tidak ada komentar: