Rabu, Juni 27, 2007

Berbahasa Batak yang ‘Batak’


(catatan: bagi rekan-rekan yang tidak kesulitan menggunakan bahasa Batak, mungkin tulisan ini agak kurang nyambung. Bagi yang senasib denganku, beta, rap marsiajar ma hita. Masiamin-aminan, masitukkol-tukkolan. Tapi kalau lagi ‘tukkolan’ atawa marsahit ipon, mau berbahasa apapun susah. Dang i ninna hamu? )
*************

Menyesal tidak harus terlambat. Sungguh aku menyesal sedari dulu tidak serius dalam mempelajari bahasa ibuku, Batak. Wajar untuk disesali. Dulu, orang tuaku tidaklah terlalu pelit dalam mengajari kami. Secara langsung atau tidak, kami anak-anak mereka selalu dicekoki dengan bahasa yang mereka anut itu. Namboru dan inangbaju pun silih berganti menjadi ‘parorot’ kami yang seharusnya dapat sekaligus menjadi guru ‘marsiajar marhata batak’. Apa lacur, hingga sekolah menengah aku malah lebih fasih berbahasa melayu dengan cengkoknya yang genit dan mendayu-dayu. Karena memang bahasa itulah bahasa gaul kami di sekolah dan di permainan. Mendapat kesempatan menikmati tutur sapa di bumi melayu, dimana akar bahasa Indonesia berasal sebenarnya suatu keberuntungan bagiku.
Di kota Bertuah (sebutan buat Pekanbaru), ibukota prop. Riau, tempat ‘manahu’ ilmu setelah sekolah menengah, aku beruntung tinggal serumah (kost-nya istilahnya tahe?) dengan saudara-saudara se-suku, mbatak. Mereka berasal dari Siantar, Medan, Sidikalang, Porsea ‘dohot angka lan na asing’, pokoknya dari Sumetra Utara-lah. Canda-ria dan cengkerama selalu dalam bahasa Batak. Aku ‘pe’, dengan malu-malu mempraktekkan bahasa Batakku yang bujubune ancurnya. Intonasi apalagi. Jauh dari ‘gagah-berani’ khas Batak. Celutukanku yang suka tergagap karena tidak mampu menyelesaikan kalimat dalam bahasa Batak pada awalnya sering menggangu kehangatan percakapan kami di tempat kos. Namun semester silih berganti (kami memang cukup kompak dan personil rumah kos kami relatif utuh hingga masing-masing menyelesaikan studinya) dan aku semakin bisa diterima. Entah memang karena bahasa Batakku yang makin fasih, atau mungkin karena mereka yang akhirnya maklum.
Selama studi, beberapa kali aku menyambangi orangtua. Selain karena ‘malungun’, tentunya juga untuk dapat secara langsung meyampaikan ‘proposal’ biaya studi, yang kalau harus meminta biaya-biaya ekstra rasanya lebih ‘tangkup’ atau ‘hantus’ kalau disampaikan langsung bersimuka, tidak ‘by the phone’. Pada kesempatan-kesempatan seperti itu, biasanya aku selalu memancing agar percakapan kami lakukan dalam bahasa batak. Mau dibilang pamer terserah, pokoknya mereka harus tahu aku sudah mampu menggunakan bahasa Batak. Bukan hanya mengerti. Tak dinyana mereka malah terkejut. Bukan karena aku sudah bisa, tapi karena logat batakku yang menurut mereka terlalu kasar. Kita tidak seperti itulah. Kita kan orang tarutung, itu kata ibuku (belakangan kuketahui orantua ibuku pernah lama menetap di Sidempuan. Terpikir olehku, entah hal ini berpengaruh dalam penilaiannya terhadap logatku). Sejak saat itu, aku lebih berhati-hati. Tiap kesempatan mendengar bahasa batak dibunyikan, aku berusaha menelusuri logat Batak mana yang digunakan si pemakai. Ternyata, banyak sekali ragamnya.
Saat-saat frustasi biasanya adalah ketika harus mendengar kotbah di gereja dalam bahasa Batak. Ampun deh Amang, indak tontu den do, begitulah aku kerap menggerutu dalam hati. Bahasa batak apa pula itu yang dipakai sintua dan pendeta? Apa pula artinya ‘hagiot’, ‘tois’, marsaringar’, ‘marbungaran’, ‘dohot angka lan na asing’?. Mantak mai na marsiajar bahasa batak i. ‘Jotjot’ sekali aku tertidur di gereja karena tidak paham lontaran-lontaran kalimat bahasa batak yang dipakai pengkotbah dari mimbar. Di kiri kananku, para remaja yang turut dalam kebaktian dan notabene bersuku batak, malah sibuk ngerumpi dalam bahasa minang yang memang mereka kuasai dan menjadi bahasa gaul di ibukota prop. Riau. Sekali waktu aku terdengar ocehan mereka, ‘ Aa keceknyo?’. Maksudnya menanyakan: heh, yang lagi kotbah itu ngomongin apa sih?. Wah, habislah kita. Mau kemana nih orang Batak.
Beranjak dewasa, aku pun ‘sohot’lah. Seluruh keluarga riang gembira menyambut pesta pernikahanku. Maklumlah, aku kan ‘buha baju’. Ada sanak yang membisikiku, pestamu bakalan rame. Awalnya aku bingung. Ternyata ada semacam pameo yang berlaku di sini, ‘apa yang kau tabur, itulah yang kau tuai’. Dan di pesta pernikahanku, orangtuaku menabur ‘haringgasonna mandohoti ulaon adat’ selama ini. Undangan yang disebarkan sepertinya hadir semua. Tidak seperti di kota-kota besar, di sini gedung pertemuan untuk pesta nikah Batak belum menyediakan kursi. Jadi, ya lesehanlah (di kemudian hari ketika mengikuti pesta pernikahan itoku di Medan, aku jadi geli sendiri melihat penyampaian ‘tudu-tudu ni sipanganon’ yang diletakkan di meja, karena memang semua undangan duduk di kursi. Ketika melihat ‘pamoruon’ kami menyampaikan tudu-tudu sipanganon’ itu, koq rasanya seperti menerima hidangan di rumah makan ya..). Kembali ke soal bahasa Batak. Selama pesta berlangsung, berseliweranlah ‘umpasa-umpasa’ maupun tutur-tutur Batak yang selama ini jarang sekali kudengar. Memang, dengan telah beberapa kali menghadiri pernikahan sanak saudara maupun teman atau melihat melalui rekaman-rekaman VCD, aku tidaklah terlalu terkejut dengan ragam umpasa dan tutur tersebut. Namun tentulah lain halnya ketika aku yang langsung menerima ungkapan-ungkapan itu. Pelan-pelan, sepatah-sepatah, aku dan istriku melafaskan ‘immatutu..’. Asyik juga ternyata.
Waktu bergulir. Aku memasuki dunia yang selama ini jauh dari bayanganku. ‘Ai na songon on do hape?’, begitulah sering benakku berpikir. ‘Adong do hape harsihol-sihol, pataruhon parompa, mamboan aek ni utte, tardidi, dohot angka lan na asing’. Bermacam tradisi yang sudah jamak bagi keluarga Batak, dan harus aku serta istriku jalani. Repotnya, tradisi ini mengharuskan aku ‘mangampu hata’ yang ‘dipasahat hulahula’. Awalnya aku berusaha menyampaikan dalam bahasa Batak. Namun karena terbata-bata pihak mertuaku berusaha maklum dan katanya,” Bahasa Indonesia i pe bahen hamu amang, diantusi hami do”. Kesalahanku adalah, aku mengamininya dan meneruskan kalimat-kalimatku tidak lagi dalam bahasa Batak. Sejak itu, aku tidak lagi merasa wajib belajar bahasa Batak. Dalam berbagai kesempatan ketika harus berbaur dengan para ‘pariban’ ketika marhobas di ‘ulaon-ulaon’ hulahula-ku pun aku merasa cukup dengan bahasa Indonesia. Toh mereka mengerti koq. Padahal sebenarnya aku sadar, ada keakraban atau semacam kehangatan yang timbul jika aku pun ‘mangalusi’ dalam bahasa Batak.
Kemudian waktu bergulir lagi. Adik lelakiku pun ‘sohot’ juga. Berbeda denganku, di tiap kesempatan ‘markombur’ atau ‘mangalusi hulahula’, dia selalu memaksakan diri menggunakan bahasa Batak. Kadang aku yang keringat dingin (mengingat sebenarnya kemampuan ‘marhata batak’nya lebih ancur dariku). Takut kalau sampai dia tidak mampu meneruskan kata-katanya dan menjadi ‘siparengkelon’. Ternyata lewat. Aku baru tahu, diam-diam Bapakku membantunya dengan cara berbisik. Secara positif, aku iri. Kenapa dulu aku tidak mencoba seperti itu. Sekarang kalau tiba-tiba mau berubah, tengsin juga.
Kembali aku berusaha berpikir positif. Katakanlah sampai jungkirbalik pun aku tak akan paham ‘mangulahon adat batak’. Tapi kalau ‘hanya’ memakai bahasa bataknya, koq kayaknya aku pasti bisa. Sudah adanya dasarnya, iya khan? Tinggal meneruskannya (koq tiba-tiba banyak kali pake –nya yah.. ). Kebetulan di gereja aku mengikuti paduan suara Ama. Uniknya, disitu aku tidak hanya ‘sapunguan’ dengan teman-teman sebayaku, namun juga dengan mertuaku, mertua adikku, dan teman-teman sebaya mereka. Dan beruntunglah aku. Selain tidak lagi terlalu terbata-bata, aku merasa bahwa mereka, para generasi tua di kumpulan koorku itu, dengan cara mereka yang ciamik, mampu melatihku dalam marhata Batak. Kebetulan aku punya mainan baru. Sebuah flashdisk yang dilengkapi voice recorder. Terkadang, dengan seijin mereka, latihan koor serta perbualan kami selama latihan kurekam. Di rumah, hasil rekaman itu aku simak. Hobi merekamku berkembang ke wilayah-wilayah lain dimana ada orang Batak ‘markombur’. Meski sebenarnya kurang etis (wong ngerumpi koq direkam), tapi cukup efektif sebagai sarana belajar. Untuk bisa mendalami kotbah-kotbah di gereja, aku punya kiat sendiri. Buka Bibel, buka Alkitab. Bandingkan ayat yang sama. O, ternyata kata ‘anu’ padanannya ‘anu ya… . Dan seterusnya. Pemikiran ekstrimnya, kalau tiap hari aku membaca sehalaman Bibel dan membandingkan dengan terjemahannya di Alkitab, gak mungkin gak ada yang nempel khan. Aku pun gak bodoh-bodoh kalinya.
Sekarang aku punya target. Mampu berbahasa batak yang ‘Batak’. Menyamai native speaker mungkin sulit. Tapi mendekatilah. Selain sebagai syarat untuk masuk ke komunitas Batak yang ‘Batak’, tentu wajar sekali kalau kita mampu bertutur sapa melalui salah satu identitas kita. Bahasa Batak. Asyik lho punya bahasa yang orang lain gak ngerti. Terlalu eksklusif? Sekali-sekali gak apa-apalah…

Horas..
Dumai, jonok ari pesta,
Harnata Simanjuntak

Tidak ada komentar: