Selasa, Juni 26, 2007

Torop ni naro




Sejatinya, Togap adalah penikmat setia kebaktian minggu pagi berbahasa
Indonesia. Sayang, karena harus ikut gotong royong se-RT yang usai
hampir jam sepuluhan, terpaksalah Togap mengikuti kebaktian siang
berbahasa Batak. Ia pun mandi seadanya, pakai baju sekenanya, dan...,
berlari ke gereja. Sayup-sayup terdengar lonceng gereja sudah dibunyikan.

Berusaha mengatur nafas yang masih ngos-ngosan, Togap pun terpaksa
duduk di bangku belakang. Ada enaknya duduk di barisan bangku yang
tanpa sandaran itu. Dijamin gak bakalan ngantuk. Soalnya, khan gak
bisa mangunsande.

Tibalah giliran tingting dibacakan. Telinga Togap pun agak
tinggil-lah. Ingin ia dengar jumlah jemaat yang mengikuti
partangiangan di tiap wijk. Seramai yang dirumahnya kah? Kamis lalu di
rumah Togap tentulah ramai. Naposobulung ada, pendeta hadir, tetangga
kanan kiri pun turut serta. Mamak Togap adalah penggiat partangiangan
na utusan. Paling ringgas lah pokoknya. Bapak Togap pun, sejak jadi
calon sintua, makin ringan langkah kakinya menjejaki inganan
partangiangan. Di masyarakat yang masih erat memegang budaya balas
budi, tentulah banyak yang tak enak hati jika tak datang partangiangan
ke rumah Togap.

Namun bagaimana dengan jumlah jemaat yang hadir di kelompak lainnya.
Ah, sungguh mengenaskan. Koq bisa ya, ama yang hadir cuma empat orang,
sudah termasuk tuan rumah dan sintua. Bikin miris hati. Pelan-pelan
Togap mengitarkan matanya ke bangku-bangku gereja. Wah, ternyata
hampir sepuluh baris bangku di depan kosong. Penghuninya,
naposobulung, mengikuti kebaktian pagi. Entah karena malas atau
mungkin segan, tidak ada pula dorongan hati jemaat untuk mengisi
bangku – bangku kosong itu. Pikir Togap, mungkin sintua pun merasa
ruas-nya sudah dewasa, jadi tidak perlu diatur tempat duduknya. Hm..,
sepele memang. Namun sungguh tak elok dipandang. Togap jadi ingat
kemarin sore ketika bermain bola. Togap jadi bek, Rudi kiper. Karena
saling tunggu dalam menghadang bola, gawang mereka kebobolan

Tidak ada komentar: