Selasa, Juni 26, 2007

LANGGATAN


Hari ahad itu, Togap memang berjanji akan menemani Pendeta Togu
melayani ke sesama gereja pagaran di resort mereka. Letaknya nun di
pinggir kota. Biasalah, jika sebuah huria belum memiliki pelayan penuh
waktu, maka akan bergantian dikirim dari resort untuk melayani disana,
walau hanya sekali sebulan. Kali ini giliran Pendeta Togu.

"Gak ada lagi yang tinggal Amang?"
"Nga lengkap be sude. Pangolu ma kareta i."
"Suri Amang? Suri?"
Dan Pendeta Togu menarik sesuatu dari saku belakang celananya. Togap
tersenyum.
"Bukan apa-apa Amang. Perjalanan kita jauh. Rusak nanti sigatan rambut
Amang itu. Hehehe.."
Mereka pun berlalu.

***

Perjalanan itu sekitar duapuluh menit. Ah, sampai juga akhirnya. Ini
kunjungan Pendeta Togu kali kedua ke gereja ini. Sebelumnya, beberapa
bulan yang lalu, ketika di sini diadakan pesta pembangunan. Ia membawa
punguan Ama dari hurianya. Kini, hasil pesta telah tampak. Bak
benteng, di sekeliling gereja kecil berukuran delapan kali dua belas
meter persegi itu telah tumbuh pondasi. Namun begitu, suasana gereja
kecil yang terlihat teduh lebih memikat hati. Paling tidak Togap dan
Pendeta Togu sepakat akan hal itu. Gereja masih lengang. Terlihat
beberapa sisa bungkus permen berceceran di lantai. Pastilah kerjaan
anak sekolah minggu.

Togap terlalu asyik memindai tiap sudut gereja yang berlantai tanah
itu. Tepatnya berlantai pecahan batu yang kemudian di lapis tanah.
Togap menebak, pecahan batu itu didapat dari salah satu gereja di
resort mereka yang tengah di pugar. Ah, perihal bangun membangun
gereja, HKBP memang jagonya. Ketika kemudian matanya berhenti di
langgatan, cukup terkejut juga Togap. Di atas mimbar telah berdiri
Pendeta Togu dengan gerakan agak aneh. Ia seperti menekan-nekan
tubuhnya ke bawah, hampir seperti melompat-lompat, namun dengan arah
ke bawah. Togap mendekat, namun Pendeta Togu telah lebih dulu turun.

"Dang pos rohangku marjamita di sada-sada gareja molo so naek dope ahu
tu langgatanna." Demikian ujar Pendeta Togu.

"Ah, amang ini ada-ada saja.", Togap menjawab, tapi Pendeta Togu sudah
berlalu. Kali ini ia memilih duduk ke baris paling belakang gereja.

"Hoi.., nimmu jo sian jolo i Gap.", minta Pendeta Togu.

"Hoi..!", Togap pun berseru. Pendeta Togu mengangguk-angguk. Mungkin
ia tak terlalu yakin dengan kejernihan pengeras suara di gereja itu,
sehingga berniat tak menggunakan mikrofon. Pengalaman beberapa kali
berkotbah dengan pengeras suara yang kebanyakan echo nya, membuat
Pendeta Togu lebih waspada.

Tak lama, satu persatu jemaat pun datanglah. Pendeta Togu menyapa di
pintu gereja. Memberi jabatan tangan paling hangat, sesekali
rangkulan. Ada pula yang menyempatkan diri berbisik ke telinga Pendeta
Togu. Ah, paling-paling ngajak makan kerumahnya, batin Togap yang
mengawasi dari jauh. Togap memang punya kesibukan sendiri.
Bercengkerama dengan jemaat remaja, khususnya putri. Sesekali terlihat
mereka tersipu, kali lain pula cekikikan.

Bertemu kerabat rohani, apalagi yang sangat terpisah jarak selalu
menjadi pengalaman haru dan indah. Maka ketika suara Pendeta Togu
marsaringar dari langgatan membunyikan pesan-pesan langit, banyaklah
anggukan kepala. Bagi jemaat yang rindu disapa ini, kesempatan
dilayani pendeta tak selalu datang tiap hari atau minggu. Maka jika
saat itu tiba, tak boleh digantikan dengan saling berbisik, manggoit,
apalagi mondohondok. Ah, kalaulah semua pemakai jubah itu tahu betapa
berartinya mereka.

Dumai, 29 juli 2006.

Tidak ada komentar: