Rabu, Juni 27, 2007

Catatan Seorang Pelantun


Riwayat aku berdendang dimulai ketika di usia masih sangat belia, di sekolah dasar, aku kerap diusung oleh guru untuk bernyanyi, baik di acara natal sekolahan, maupun sebagai undangan, pengisi acara di natal gereja tetangga. Aku memang mengecap pendidikan taman kanak-kanak dan sekolah dasar di yayasan yang dikelola HKBP, sehingga tak heran jika perayaan natal sekolahku selalu dilakukan dengan cukup akbar. Guru agama kami adalah seorang pensiunan pendeta yang selalu tampil necis. Tiba di sekolah dengan sepeda ‘omar bakri’nya yang mengilap, terkadang memakai jas dan.., topi koboi. Gagah sekali. Ompung Pendeta, begitu kami menyapanya, mengajarkan lagu-lagu indah, yang selalu berhasil memompakan semangat. Bagi kami waktu itu, seorang pendeta adalah tokoh panutan, jauh di atas guru, seorang pejabat surgawi. Ketika natal menjelang, kegiatan belajar agama lebih sering dilakukan di gereja, karena sekolah kami memang berada di kompleks gereja. Di situlah kami dilatih bersajak, membaca liturgi, belajar koor, ber-kanon. Beberapa orang guru akan setia mendampingi Ompung Pendeta.

Memasuki sekolah menengah, tidak ada catatan yang layak dicetak tebal dalam riwayat bersenandungku. Mungkin karena sekolah yang kumasuki, baik SMP maupun SMA, tidak mau terlalu repot menyelenggarakan kegiatan yang berkaitan dengan olah vokal. Demikian juga di luar sekolah, tidak ada kegiatan yang membuatku dapat menyalurkan hobi berdendang.

Hari-hariku di SMA adalah perayaan gelombang FM. Ya, mendengar siaran radio telah menjadi bagian terpenting di penggal hidupku waktu itu. Letak geografis kotaku, Dumai, yang berhampiran dengan negara jiran, Malaysia dan Singapura, memungkinkan pesawat radio di kamarku untuk membunyikan siaran-siaran yang berasal dari negara-negara tetangga itu, dalam FM stereo. Seisi rumah sudah maklum, bahwa radio di kamarku pantang ditekan tombol off-nya, atau diputar ke kiri tombol volume-nya. Bunyi radio itu pulalah yang menjadi penanda bahwa aku memang sedang ada di rumah, di dalam kamar. Memang dibandingkan radio swasta lokal yang seragam noraknya, siaran radio-radio negeri seberang itu jauh lebih profesional. Pas ditelinga dengan ragam khazanah musik.

Ada yang khusus memutar lagu - lagu top 40. Siaran ini ditandai dengan gaya yang ‘funky’, pas di hati kaum muda. Radio lainnya memilih menyiarkan tembang-tembang ‘easy listening’, musik sayup-sayup, minim bicara. Ada pula yang memasang badan sebagai pembunyi musik klasik, lengkap dengan nuansa opera. Lucunya, di siang hari bolong, radio yang satu ini menyiarkan lagu-lagu batak populer. Aneh khan? Dan itu disiarkan dari Singapura. Mungkin mereka menyejajarkan harmoni khas trio-trio batak dengan musik opera.

Begitulah. Dikemudian hari, bahkan hingga kini, aku sangat bersyukur telah mengikuti dorongan hati yang entah datang dari mana waktu itu, untuk mencantelkan kabel antena teve ke pesawat radio, yang memang sama-sama menggunakan gelombang FM. Aku berhasil masuk ke kazanah musik yang luas (paling tidak menurutku), dan tidak menjadi terlalu kagok dengan bahasa asing (baca inggris), karena memang semua siaran radio itu memakai bahasa pengantar Inggris dan sedikit Melayu.

Sebenarnya, di bangku SMA aku sempat berkenalan bahkan bergaul dengan teman-teman yang menyebut diri ‘anak band’. Namun, untuk menawarkan diri sebagai seorang vokalis, penampilanku masih kalah ‘ajaib’ dibanding kandidat yang lain. Aku tidak punya telinga bertindik, tidak merokok, rambut selalu potong pendek, belah samping, pakai minyak rambut. Hehehe, band mana pula yang sudi punya vokalis seperti aku. Gak ‘metal’ banget..

Meski ketika melihat penampilan mereka kerap aku harus menahan tawa, mendengar cerocosan vokalis band teman-temanku itu yang bujubune hancurnya. Melafalkan syair ‘Don’t Cry’nya Guns N Roses saja gak beres, apalagi harus ber-‘Metallica”. Memang heran juga. Bagi teman-temanku itu, bahasa Inggris setara dengan bahasa luar angkasa, yang sampai kapanpun tidak akan mampu dipelajari. Mungkin dalam benak mereka, yang penting ‘metal’. Kamipun sudah cukup terhibur waktu itu. Gak perlulah repot-repot jadi pengamat bahasa atawa musik. Enjoy aja lage..

Pertengahan tahun 1992 menjadi titik peralihan yang cukup mencolok bagiku. Menjadi seorang mahasiswa (kadang terpikir juga, apa tidak ada lagi padanan yang lebih membumi ketimbang harus menggunakan kata ‘maha’ yang menumpang ke ‘siswa’. Toh jebolannya tidak serta merta menjadi manusia ‘maha’. Segelintir beruntung dapat pekerjaan, sebagian lagi malah jadi ‘maha’ pengangguran).

Aku kost di kompleks kampusku yang baru, jauh dari perkotaan (oh ya, aku melanjutkan pendidikan di ibukota propinsi Riau, Pekanbaru, kota bertuah). Sebenarnya aku lebih memilih tinggal dengan teman-teman yang plural, layaknya pergaulanku ketika masih di bangku SMA. Namun berkat arahan seorang kerabat jauh yang juga kuliah di fakultasku, maka aku pun serumahlah saudara-saudara ‘sabangso’, Batak.

Masa ‘penghajaran’ mahasiswa baru adalah titik belok dari tualang pita suaraku. Uji minat bakat seni suara di kampus, yang dilaksanakan sebagai bagian dari kegiatan orientasi itu, menempatkan aku di posisi pertama, sang jawara. Hatiku bersorak, meletup, berbungah. Kegiatan berlanjut ke tingkat universitas. Hasilnya, jawara lagi. Sorak sorai teman-teman dan senior kala itu seakan membisikkan sesuatu. Akan bergulir hari-hari yang indah.

Mulailah rutinitas di kampus. Sering aku menerima perlakuan bak seleb, hehehe. Tak dimintai tanda tangan, tapi disenyumi, dijabat, ditepuk dari belakang, disapa walau tak kukenal, diminta bernyanyi. Maka, melantunlah aku di Malam Kesenian, Lustrum, Natal dan entah apa lagi, sudah lupa.

Waktu itu, aku memang sangat yakin dengan pita suaraku, yang bukan hanya mampu membunyikan nada nada tinggi melengking, namun juga lembut mendayu. Tak disangka, peniruanku dalam kamar terhadap suara Freddy Mercury , Axl Rose serta Robert Plant akan membuahkan sesuatu yang manis. Cara bernyanyi yang nge-blues rock itu tetap kupakai dalam melantunkan tembang-tembang natal dan kristiani. Hasilnya, tetaplah gemuruh tepuk dan sesekali ‘standing ovation’. Kerap pula, dikeremangan gedung pertunjukan yang lampunya sengaja sengaja dipadamkan, baik dengan teman-teman band seangkatanku maupun hanya berdua dengan Randolph (seorang sahabatku yang fasih memetik gitar dan meniup harmonika), kami menerima sambutan berupa tangan-tangan terjulur ke atas lengkap dengan nyala zippo digenggaman penonton. Suasana pun melanut syahdu. Lain kesempatan, dari atas panggung, seiring dengan lantunan tembang romantis yang kubunyikan, aku melihat rebahan – rebahan kepala di pundak para arjuna.

Sungguh, mikrofon telah menjadi belahan jiwaku. Meski tak pernah mendarat di bibir, namun cintaku kepadanya lebih dari sebuah kecupan. Secara alami, ketika bernyanyi, aku belajar kapan harus menjauhkannya dari bibir, meletakkan dibawah bibir, menggenggam, serta mencari saat yang tepat, meletakkan sangat rapat di bawah hidung, namun tak terkecup.

Sayang, aku tak dapat terlalu lama berasyik masyuk berdendang kesana kemari. Nilaiku kuliahku anjlok. Bagaimana tidak. Kerap, di malam hari ketika teman-temanku yang lain berkutat dengan bukunya untuk menghadapi mid semester, aku malah asyik latihan band. Begitulah, akupun kembali menekuni buku-buku, membelah -belah ikan, memelototi mikroskop, sesekali melawat kampusku di Dumai untuk mengakrabi laut, melihat zonasi bakau, bahkan menelusi kepulauan Riau dengan menaiki ‘tagboat’, untuk menggugah nurani bahari, sesuai bidang ilmuku.

Sesekali, aku masih menyalurkan hasrat berdendang, dengan memenuhi ajakan teman yang memiliki usaha ‘organ tunggal’, menjual suara di pesta-pesta pernikahan. Hasilnya, lumayanlah buat beli mie instan, makanan wajib para penuntut ilmu yang bersarang di rumah-rumah kost, seperti aku dan teman-teman kostku.

Tamat kuliah, aku tak terlalu lama menganggur, karena sebuah perusahaan tambak udang dengan baik hati datang ke kampus kami untuk merekrut pekerja. Akupun lulus. Babak baru dimulai.

Tempat kerjaku adalah sebuah wilayah di perbatasan Lampung dan Sumatera Selatan, sebuah daratan di pesisir laut dengan luasan 125 ribu hektar. Karena merupakan sebuah perluasan proyek dari perusahaan terdahulu di Propinsi Lampung (keduanya hanya dibatasi sebuah sungai), maka kami sangat jauh dari hidup layak. Air bersih bak emas. Di mess, kami bergiliran menjadi ‘joko tirto’, gelar buat seseorang yang ditugaskan sebagai penampung air hujan, yang ketika hujan turun harus rela berlari-lari dari tambak kembali ke mess untuk meletakkan selang talangan air hujan ke drum dan galon air, serta tak membiarkan air hujan luber, terbuang sia-sia.

Begitupun, aku sungguh merasa bahagia. Meski tidak pernah melakukan kebaktian di minggu pagi, karena hari minggu kami tetap bekerja. Kebaktian dialihkan menjadi minggu malam. Aku mengikuti kebaktian ala kharismatik dan pernah pula menjadi song leader. Ada keharuan yang lain memang. Berkumpul dengan saudara seiman, di tengah hutan, tak terasa penat pun hilang.
`
Hiburan kami di mess selain menonton tv adalah bersenandung. Gitar ada, keroncong pun ada. Ya, Anto, seorang temanku dari Jawa Tengah (lupa aku nama kotanya) fasih memainkan alat musik keroncong. Geli bercampur senang aku, tiap kali melihat Anto memainkan keroncongnya. Geli karena ketika itulah pertama kali aku melihat instrumen keroncong dimainkan tak jauh dari pelupuk mata. Senang, karena ternyata, keroncong juga bisa diajak nge-rock, meski tak selalu berhasil. Susah payah Anto mencoba meningkahi gitar temanku yang lain untuk mengiringi She’s Gone-nya Steelheart yang kudendangkan. Hasilnya malah bikin kami tergelak.

Kerusuhan petambak memaksa kami harus angkat kaki. Keadaan menjadi tidak kondusif untuk bekerja. Aku minta berhenti dan kembali ke Dumai. Tak lama di Dumai, adikku mengajak untuk mencoba peruntungan di Batam. Di Batam aku sungguh malu pada diri sendiri. Lepas dari hutan di Sumatera Selatan yang minim kaum hawa, mataku menjadi tak terkendali mengerjap-erjap menikmati seronoknya Batam. Ah, terkadang aku berpikir Batam bak Sodom Gomora.

Sekali waktu, aku menyertai lomba karaoke. Lagunya bebas. Akupun memilih lagu ajaibnya Air Supply, Makin’ Love Out Of Nothing At All. Kebetulan memang ada versi karaoke-nya, dari rekaman konser mereka. Penonton sebenarnya suka. Syair-nya yang bak mantra dengan nada – nada tinggi dan seharusnya memesona. Sayang, selera juri sepertinya lain. Pemenangnya adalah para pelantun lagu Broery dan semacamnya. Aku kapok syur sendiri, tak melihat selera pasar, eh juri.

Peruntunganku di Batam tak bagus. Aku kembali ke Dumai. Aku mendapat pekerjaan, giat di kepemudaan gereja (naposobulung). Aku kembali mengakrabi not-not angka yang selintas dulu, ketika latihan natal di sekolah hingga kuliah, pernah kukenal. Seiring dengan masuknya aku, terdaftar juga wajah-wajah baru di kumpulan naposobulung kami. Tak lama, tiba pula seorang Pendeta yang berbakat mengajar paduan suara. Kami digembleng, dan ia berhasil. Bahkan, ketika akhirnya aku tak lagi menjadi anggota naposobulung, kerana menikah, teman-temanku digiringnya rekaman, di Medan. Memang untuk urusan yang satu ini, sang pendeta bolehlah ditepuki. Untuk urusan lain, hasilnya gelap, kerap menerbitkan geram.

Beberapa bulan setelah menikah, aku dipinang untuk menyertai kumpulan koor pria (koor Ama). Meski dengan sedikit berdiplomasi (agar tidak kelihatan ‘hore..’-nya), aku mengiyakan. Koor ama Sada (demikian namanya), dominan anggotanya adalah lelaki paruh baya yang telah atau hampir menimang cucu. Sebagian lagi telah memiliki anak yang duduk di bangku sekolah dasar atau menengah pertama. Hanya dua orang anggota sebayaku. Tiap kesempatan latihan, ketika bercakap-cakap, aku yang suka bicara meledak-ledak terpaksa menahan selera. Apalagi, mertuaku termasuk anggota. Lambat laun, aku mulai bisa mengikuti riuh rendah cakap-cakap mereka, baik ketika latihan di rumah-rumah anggota, di parkiran sebelum kebaktian gereja, maupun kesempatan lain. Sesekali, aku di ajak bersambang di lapo tuak, sekedar bersenda, bersenandung lagu-lagu batak, dan terkekeh. Tentulah tanpa mertuaku.

Perjalanan waktu berpihak pada kumpulan koor kami. Seorang demi seorang, teman-teman di naposobulung menikah, dan dengan sigap kami menebarkan jala untuk mengajak mereka bergabung. Hasilnya, saat ini terjadi perimbangan jumlah anggota lanjut dan muda usia. Buahnya lagi, hampir semua lagu koor kami mengalami peningkatan nada dasar, untuk menyesuaikan dengan pita suara kami. Suara tiga dan empat pun dapat lebih leluasa berekspresi. Sayangnya, lantunan kami belum terlalu padu. Masih ada suara-suara yang menonjol. Tak harmoni.

Berbeda dengan paduan suara ama tetangga kami (gereja kami memiliki dua paduan suara pria) yang lebih berhasil menciptakan harmoni, meski dengan pilihan lagu yang biasa-biasa saja. Terkadang, mereka terpancing juga untuk menarik nada lebih tinggi, atau mengumandangkan lagu yang agak rumit. Namun menurutku, mereka tidak berhasil. Aku, sebagai pendengar yang duduk di seberang (bangku kumpulan koor kami dan mereka memang sedemikian rupa ditempatkan di sayap kanan dan kiri gereja) lebih menyenangi suara mereka yang empuk dengan lagu-lagu yang telah akrab ditelinga.

Pernah terentang waktu, dimana terjadi hubungan yang tak sedap diantara dua kelompok paduan suara pria di gereja kami. Boncirnya adalah soal sebelah menyebelah terhadap pendeta. Ada yang senang dengan tindak tanduk (bukan pelayanan, karena memang ia tidak melayani) pendeta, ada pula yang teramat sangat tak suka. Aku masih naposobulung waktu itu. Sekarang, keadaan mereda, meski tersisa luka. Kasihan sekali kami. Diperalat untuk kepentingan sesaat. Kulihat, beberapa pendeta memang punya moto hidup, survive, at any cost. Eh, koq jadi ngelantur ya…

Teman-temanku di kumpulan koor ama memiliki ragam cara menafkahi hidup. Pekerja kontrak, karyawan, berdagang, polisi, montir, beternak babi, buruh bongkar muat dan pensiunan. Aku pula, bekerja sebagai karyawan perusahaan yang menjajakan barang dan jasa ke perusahaan pengolah minyak milik partai, eh negara. Hasilnya, dulu lumayanlah. Sekarang sedang sepi sekali, makanya aku punya cukup waktu menyiapkan tulisan ini, hehehe.. .

Kesibukan pekerjaan terkadang ,menghalangiku untuk menghadiri latihan-latihan kumpulan koor saban sabtu malam, bahkan untuk ke gereja pun. Pelipur lara, aku mengajak teman-teman sekerja bersenandung, sambil mereka memasang baut, di atas buih – buih air laut, di atas peranca. Demikian juga ketika di atas mobil pick-up yang menarik mesin las, atau di sepanjang pipa air tawar sebelah pinggir kota, ketika usai makan nasi bungkus, kami berdendang. Tak perlu lagu yang berat-berat. Cukup dengan lagu-lagu abg sekarang, yang kalau sendirian mungkin tak akan kudendangkan, kami sudah sangat terhibur.

Ada haru tersendiri, ketika setelah cukup lama absen, tiba-tiba aku hadir di ‘parguruan’ atau latihan koor. Melihat kembali wajah-wajah karibku. Saling bertukar kabar, atau hanya sekedar bertukar ledekan. Mengikuti perkembangan terbaru, perihal gereja, atau masyarakat batak di kota kami. Karena mereka, teman-temanku itu, beberapa orang adalah penatua, sebagian pula adalah para penggiat adat, ketua marga, ketua ‘parsahutaon ‘. Kurasakan, dengan menyertai kumpulan koor ini, aku lebih mudah menyesuaikan diri dengan golongan yang lebih tua. Belajar memahami jiwa mereka, dan mencoba mengenal adat Batak dengan mendengarkan cakap-cakap mereka.

Karena waktu latihan kumpulan koor kami adalah sabtu, maka selalu ada anggota yang ketika latihan baru pulang dari pesta adat pernikahan. Di sini, di kota Dumai, pelaksanaan pesta pernikahan adat batak memang kerap hingga hari gelap menjelang malam. Hal ini, menurutku, karena pelaksanaan yang teramat bertele-tele, menebarkan ulos yang berpuluh-puluh banyaknya, berulang-lang menari/manortor, tanpa peduli perasaan pengantin, sambar-menyambar kata, yang sebenarnya tak perlu (karena sudah dibicarakan sebelumnya).

Begitupun, pesta nikah adat batak beberap kali telah memberi rezeki kepadaku. Pasalnya, melalui vocal group yang kuikuti, kami kerap diundang untuk menyumbangkan suara di helat-helat orang batak.

Vocal group itu, beranggotakan teman-temanku di kumpulan koor ama. Mereka telah terbentuk sebelum aku masuk ke kumpulan koor ama. Masuknya aku ke koor ama, bersamaan dengan mundurnya beberapa personil vocal group itu. Mereka pun meminang aku untuk bergabung (seingatku, memang belum pernah aku menawarkan diri untuk menyertai suatu kumpulan band atau paduan suara, selalunya dipinang, hehehe…). Maka akupun merambah lagu-lagu pop Batak, yang sebelumnya tidak terlalu kupahami. Aku diminta untuk mengisi posisi suara tiga, yah, bagian lengking-melengkinglah. Kadang bahkan mengisi suara lima, lebih lengking lagi. Sebenarnya, karena dari dulu sering tampil solo, aku tidak terlalu paham kombinasi suara gaya batak. Syukur, teman-temanku mau memberi arahan sehingga hasilnya nyaman di kuping.

Kami bernyanyi di helat-helat Batak, juga hingga ke hotel sebagai pemanis sebuah talkshow. Sesuatu yang tak kuduga sebelumnya. Dulu aku berpikir, tak akan ada lagi masa-masa seperti ketika aku kuliah. Ternyata, meski serunya berbeda, aku kembali ditabik kiri kanan karena olah pita suara.

Puncaknya adalah ketika kami tampil sepanggung dengan seorang penyanyi senior dari ibukota yang dulu suaranya sangat kukagumi, di sebuah natal Oikumene. Kami ditempatkan sebagai hiburan pembuka, menunggu sang bintang. Hasilnya, bagi kami sungguh memuaskan. Tiga lagu kami lantunkan, dan ketiganya memaksa hadirin untuk berdiri, bertepuk, bersorak. Mereka seakan tak peduli, meski goyangan kami hanyalah kiri-kanan kiri kanan dan tangan menyiku di depan dada, khas trio Batak. Harmoni suara yang kami hasilkanlah yang membuat hadirin, peserta natal itu, menggeleng takjub. Sang artis ibukota itu sendiri, mungkin karena telah didera usia, tak lagi memukau. Nada-nada tinggi lebih disamarkannya dengan falseto. Aku agak kecewa. Karena sebenarnya aku sangat mengharapkan sebuah penampilan prima dari sang artis yang dulu pernah aku idolakan itu.

Riwayat vocal group kami tak panjang. Perbedaan pendapat memaksa kami membubarkan diri. Namun begitu, di kumpulan koor ama kami tetap giat sebagai anggota. Beberapa kali kumpulan koor kami berlatih di rumahku. Anak istriku selalu menjadi mendengar setia. Bahkan, putriku yang suka berceloteh itu telah menghapalkan beberapa baris syair koor kami. Di suatu, ketika aku rebahan di depan pesawat tv, putriku yang sedang asyik bermain tiba-tba saja bersenadung, “Ale tondingku dohot ma ho…” aku terkejut. Baris itu khan kepunyaanku, sebagi solis di sebuah nomor koor kami. Serta merta aku menciuminya dan tertawa. Di kemudian hari, baris-baris syair koor yang lain begitu saja keluar dari mulutnya. Mungkin hasil dari dengar-dengar ketika kami latihan di rumah, atau ketika aku bersenandung sendiri di kamar mandi. Mungkin juga ketika kami bernyanyi di gereja.

Baru-baru ini, aku membaca sebuah tulisan. Isinya bahwa kumpulan koor di gereja atau penyanyi rohani lainnya diibaratkan bak pengamen pujian. Serasa ujung-ujung jari tanganku terbentang lalu menguncup untuk kemudian ditepuk dengan penggaris panjang. Begitulah dulu, ketika aku dan teman-temanku di sekolah dasar menerima hukuman dari guru, karena bermain bola di di jam pelajaran. Rasa bersalahnya mirip.

Tidak ada komentar: