Kamis, Agustus 23, 2007

HIkayat Paladimir Par Bumbu












sebuah cuplikan untuk kisah yang lebih panjang, tapi belum selesai
ditulis, hehehe..) ------------------------------------------ "Mandok hata sian ale-ale." Tengah hari begini semestinya panas berpeluh. Mata Paladimir berpendar mengelilingi satu per satu sahabatnya yang hadir. Mereka adalah para sahabat si mati. Ia sangat yakin, masing-masing mereka pasti telah menyiapkan berbaris kalimat untuk dihujahkan. Menyampaikan ucapan belasungkawa di hadapan begitu banyak pelayat tentu menjadi kebanggaan tersendiri. Tentu juga, membutuhkan persiapan khusus. Karena itu, Paladimir tidak ingin mendahului teman-temannya. Sebaris kata sudah ia siapkan. Namun, biarlah dulu. Mungkin si Tiop akan maju. Atau si Lokma. Si Panikkam pun terlihat sedang meraba-raba isi sakunya. Barangkali sedang mencari secarik kertas. Semacam kopekan untuk memperlancar `dok hata'nya. Wajar kalau Panikkam yang maju. Pasalnya, Potipar si mati, adalah sejawatnya, sesama mantan anggota dewan. Ya. Potipar memang sudah usai. Marujung ngolu. Seorang lelaki di puncak karirnya. Merasakan kegemilangan hidup sebagai manusia batak. Bersambang ke manapun akan bersua sanjungan. Potipar telah meneguk `hasangapon'. Menghidu atmosfir berbeda dari kaumnya. Di bidang usaha, ia berhasil sebagai tauke kayu. Keberhasilan yang telah mengantarkannya menjejakkan kaki hingga ke negara-negara sempadan. Pundi-pundinya juga beranak-pinak dari berbagai usaha lain. Di marganya pula, Potipar bukan lagi sekedar ketua. Penasehat adalah kedudukan yang diberikan kepadanya. Bahkan, di kumpulan orang batak yang berbilang marga pun ia cukup disegani. Paling tidak di kota ini. Alam reformasi membentang ruang berkiprah lebih luas bagi Potipar. Wilayah politik pun dirambah. Hasilnya, satu periode ia menjadi anggota dewan. Sebenarnya ia mencoba untuk kembali duduk di kursi wakil rakyat paling tidak satu periode lagi, meskipun harus lompat pagar berpindah partai. Sayangnya, gayung tidak bersambut. Tak ada partai yang menampung Potipar. Partai tempat ia bernaung sebelumnya memang sudah tergusur. Terkena senjata pemusnah bernama electoral threshold. Akhirnya, setelah saling menunggu karena sama segan, marsitugan-tuganan, Tiop maju. Nahas bagi Tiop, bukan ujar katanya yang akan di dengar khalayak hari ini. "Ago..!", dan gedebuk! Tiop tersungkur. Sebiji paving block yang tersembul menghadang langkah kaki kanannya. Mata Tiop memang kurang awas, dan ia pun tersungkur. Ini suatu pertanda. Akulah yang harus bicara, menyampaikan pesan yang harus didengar. Paladimir meneguhkan hati. Perlahan, kaki terayun. Tangan Paladimir terjulur menggapai mikrofon. Sebentar terdengar bunyi kresek-kresek ketika pengeras suara itu bergesekan dengan penyangganya. Sebuah pengantar bunyi tak sedap untuk sebuah penyampaian yang lebih tak sedap. Mikrofon telah merapat ke bibir Paladimir. Menunggu kata-kata yang keluar untuk kemudian melakukan pembesaran bunyi sehingga jelas terdengar di telinga hadirin. Untuk terakhir kali, sepasang indera penglihatan Paladimir bergerak setengah lingkaran. Menyapu wajah-wajah yang hadir. Sepatutnyalah ia terharu, sebagai seorang sahabat si mati, melihat gurat-gurat belasungkawa di paras pelayat. Namun, firasatnya berkata lain. Gurat-gurat duka itu sebenarnya adalah reka ulang. Sebuah perekaman mimik yang dapat dimunculkan kembali. Hasil sebuah rutinitas layat-layatan di kaumnya, Batak. Ia pun yakin, setengah dari kaum ibu yang hadir seperti memiliki sebuah tombol duka. Bila ditekan, akan serta merta menampilkan bukan saja raut sedih, juga akan ditimpali andung-andung, ratap yang menyayat. Satu hal membuat perut Paladimir sering mual ketika berada di bawah tenda duka, di berbagai kesempatan lain. Ratap itu akan begitu saja berhenti, jika si empunya suara merasa sudah cukup. Merasa telah memberikan taru-nya. Dengan begitu, pangandung tadi merasa sudah boleh nyengir, cengengesan, menyimpulkan senyum, atau bahkan, asal tidak terlalu keras, tertawa. Maka, Paladimir akan menyampaikan sesuatu. Kalaupun tak dapat menghentikan segala macam kepura-puraan, namun cukup memberi kejutan. Membuat pelayat yang hadir bak dihantukkan kepalanya ke dinding. Menimbulkan dongkol, namun juga rasa jerih. Dan kalimat itu pun keluarlah. Datar saja. Namun terasa menggelegar. "Ingot ari hamamatem!" Langit makin gelap. Rintik gerimis mulai turun. Terasa di kulit menembus kemeja hitam, menempel juga di alas bedak. Pelayat beringsut merapat. Berebut ke bawah tenda, mendekati keranda. Bau busuk akhirnya dihirup bersama, tak lagi hanya milik suhut yang mengelilingi kotak bangkai Potipar. Kematian memang dapat sangat menyiksa. Tidak hanya bagi pemilik ajal, juga bagi yang ditinggal, dalam makna sangat harafiah.

Tidak ada komentar: