Kamis, Agustus 23, 2007

Hikayat Paladimir Parbumbu_2

Terbetik kabar, Paladimir berniat mendirikan sebuah gereja baru. Kabar ini makin santer, karena khalayak mengaitkan dengan selisih paham yang terjadi antara Paladimir dan sekumpulan sintua beberapa waktu lalu. Merasa terancam, mereka, para sintua tadi, mendatangi Pendeta Togu dirumahnya untuk klarifikasi. Waktu itu sudah hampir malam, dan sang pendeta baru saja selesai martapian.

“Horas Amang.” Sudin, sebagai sintua yang tertua dan merasa sebagai pimpinan rombongan mendahului menyapa.

“Bah. Horas, horas. Pahundul hamu ma jo Amang.” Dan pendeta Togu pun nyelonong ke kamarnya untuk berpakaian. Ketika kembali menemui tamunya di ruang tengah, Pendeta Togu melihat raut muka tak sabar para tamunya. Beberapa bahkan terlihat membersitkan rona merah. Naung dipamasuk sintua Sudin on do mungkin sabotol, pendeta Togu menebak dalam hati.

“Na adong do na ringkot hira-hira amang?” pandita Togu memecah kesunyian dan berusaha tersenyum. Istrinya yang muncul, atau lebih tepatnya mengintip dari gorden, menangkap kedipan mata suaminya untuk menyiapkan minuman.

“Antar songon on do Amang pandita nami.” Sudin berhenti sebentar, sambil memperbaiki duduknya. “Dang huboto manang naung dibega Amang kabar on. Alai ninna roha nami porlu do pinabotohon tu Amang Pandita. Alana, nunga godang ruas na manungkun tu hami angka sintua taringot tu kabar on.” Berhenti sejenak, Sudin berusaha menangkap raut penasaran dari wajah pendetanya. Kasihan Sudin, pendeta Togu kelihatan tenang-tenang saja. Tidak terlalu antusias.

“Torushon hamu ma Amang.”, pendeta Togu terpaksa menimpali.

“Di roha nami Amang, anggo na sahali on, ba nunga pakalewathu ibana. Huhilala, nga boi talehon ruhut pamincangon tu ibana.”

“Ai ise do nuaeng maksud muna Amang. Dang dapot rohakku dope.” Pendeta Togu berusaha menyunggingkan senyum di akhir kalimatnya.

“Maksud nami si Paladimir do Amang. Huhilala dang mungkin so sahat dope tu Amang kabar on. Ai ninna kabar on, naeng pajongjongkon gareja na baru nama si Paladimir.”

Melihat pendeta Togu masih saja belum bereaksi, Tuani ikut bersuara, “Maksud nami Amang, molo diloas Amang pandita do, borngin on ikkon tu jabu ni si Paladimir nama hami, laho patakkashon barita on sekaligus mangalehon peringatan tu ibana. Ba unang gabe lomo-lomana da.” Sepanjang kalimatnya, tak sedetik pun Tuani menatap wajah pendeta Togu. Begitupun, tetap saja bau tuak yang bersemayam di rongga mulutnya mencapai indra penciuman pendeta Togu. Berarti na sian lapo do angka sintuakkon ro tuson, itulah akhirnya kesimpulan pendeta Togu.

Begitulah. Hingga hampir tengah malam, keempat sintua itu berdiskusi dengan pendetanya. Mungkin karena suguhan kopi ibu pendeta yang berhasil meredam

pengaruh tuak, pelan-pelan diskusi berjalan lebih lunak. Pendeta Togu mendengar semua luahan hati para sintuanya yang kesal dengan ulah nyeleneh Paladimir. Pendeta Togu pun berjanji, akan menanyakan langsung ke Paladimir tentang isu pendirian gereja itu.

Diam-diam, pendeta Togu merasa geli. Paladimir, jemaat yang dikasihinya itu, selalu membuat gerah penatua-penatua di gereja. Sering karena ujar kata-katanya yang suka ‘si julluk mata ni horbo’. Tanpa ampun akan langsung menyuarakan ketimpangan-ketimpangan yang berlangsung di gereja. Bagi para penatua itu, Paladimir adalah duri dalam daging yang harus dicabut dan dilemparkan jauh-jauh. Bagi pendeta Togu pula, dia adalah mutiara yang tertancap bak karang. Kehadiran Paladimir, selalu memberi asupan semangat yang terkadang meredup. Ah, besok aku harus menemuinya. Ada apa denganmu Paladimir? Malam itu Pendeta Togu sulit sekali memicingkan mata.

****************

Lambok. Begitulah gumaman hati setiap pengunjung kediaman Paladimir. Halaman yang terawat baik, pohon – pohon yang selalu berbuah, anggrek pula selalu berbunga, mawar dengan batang dan daun tak dimakan ulat. Ah, inikah yang dinamakan bertangan dingin? Istri Paladimir akan serta-merta menampik anggapan itu. Berkat tekun. Begitulah katanya. Ia pun akan menceritakan panjang lebar kiprah Paladimir dalam merawat bunga-bunga suanan istrinya.

“Bapak tak pernah lupa menyirami bunga-bunga. Merapikannya. Memberi pupuk....“ dan teman berbicara dapat merasakan aroma cinta yang kental berbancuh dalam tiap kata yang mangalir dari mulut istri Paladimir. Rasa kasih yang tidak dibuat-buat. Seakan menjadi bingkai setiap ujar kata, gerak tubuh maupun mimik bagi istri Paladimir dalam menggambarkan tiap hal berkenaan suaminya.

Akan halnya Paladimir, ia akan melengos jika hadir dalam suasana demikian. Berpuluh tahun satu bahtera tetap membuatnya tersipu-sipu menerima serlahan kasih istrinya. Apa pula hal seperti itu digembar-gemborkan. Malu aku, katanya. Namun tersirat jugalah pendaran kasih yang sama bungahnya.

Seperti juga sore itu. Ketika hati mereka tengah bercengkerama sembari menekuni tanam-tanaman di halaman, motor Pendeta Togu memasuki pekarangan. Horas, dalam hati Paladimir menabik. Dari tadi kau dalam pikiranku, batinnya lagi. Serta merta suami istri itu menghentikan segala kegiatannya dan menyambut sang pendeta.

“Horas.”

“Horas amang. Tu jabu hamu amang.” Istri Paladimir membalas.

Paladimir pula tak perlu menabik lagi. Cukup sebuah jabatan erat. Hangat. Selintas disapanya wajah Pendeta Togu. Namun tak lama. Tak kuasa ia bertemu mata teduh Pendeta Togu yang tengah memindai rautnya. Tatap seorang kerabat jiwa yang rindu.

“Beta Amang, tu jabu ma hita.”, begitulah akhirnya, jabat tangan mereka seperti tak ingin lepas sembari menapaki langkah ke teras rumah.

Begitu menyentuh kursi bambu itu, pantat Pendeta Togu kegirangan. Sudah lebih sebulan aku tak berkunjung. Ah, betapa aku rindu teras ini. Kursi bambu dan gantungan pot bunga. Mata Pendeta Togu tertumbuk ke satu sudut. Ada yang hilang. Tiga pot mawar kegemarannya.

“Ah, na dipapinda halak inanta do Amang. Naeng padengganonna ninna.”, Paladimir membaca pikiran Pendeta Togu, langsung menjelaskan.

Orang tua ini, batin Pendeta Togu. Apa isi hatiku yang tak kau tahu? Namun bukankah begitu lebih baik. Aku tak perlu mengatur kata-kata untuk menghindari sakit hati. Paladimir selalu memberi jawaban atas pertanyaan yang tak terucap. Menguraikannya, dengan kata-kata yang tak tertampik. Hm, berarti aku tinggal menunggu Paladimir meluahkan. Aku tak harus menyampaikan pertanyaan bodoh itu. Ate, naeng mambaen gareja ninna hamu Amang. Ah, betapa geoknya.

Tak lama istri Paladimir datang dengan nampan berisi cangkir kopi. Namun, rupa kopi tak disimak lagi. Mata Pendeta Togu tertumbuk pada piring berisi kue idaman. Pohul-pohul.

“Hera naung diboto do haroro muna.” Paladimir berucap sambil terkekeh. Pendeta Togu tersipu.

Istri Paladimir tahu diri. Suaminyalah yang dicari sang pendeta. Tampak dari wajahnya yang teragak-agak dan sesak bertanya itu. Berdalih meneruskan berkebun, istri Paladimir pun undur diri.

Pendeta Togu memulai dengan hal remeh-temeh. Bertanya kabar tentang anak-anak Paladimir yang hampir semua di luar kota. Hanya seorang, David, yang setia menemani orang tuanya, martiga-tiga bumbu. Paladimir, meski tak terlalu suka mukadimah yang menurutnya tak perlu itu, menjelaskan jugalah ke Pendeta Togu. Sang Pendeta pun mengangguk-angguk. Sumringah wajahnya mendengar kisah anak-anak Paladimir. Ia sangat paham, tidak semua orang beruntung bisa mendengar penuturan Paladimir. Paladimir tak suka pamer. Namun untuk Pendeta Togu, ia akan menceritakan semua. Apalagi ia tahu, Pendeta Togu butuh waktu untuk menenangkan diri, sebelum sampai pada topik yang sebenarnya tak ia sukai itu. Biarlah, pikir Paladimir. Aku akan menahannya di rumahku hingga hari gelap. Toh malam ini tidak ada sermon, tak juga partangiangan. Tidak ada yang terbaring di rumah sakit untuk dibezuk. Tak ada alasan untuk menggesa pulang. Kalau istrinya menelepon, biar sekalian kusuruh dijemput si David. Aku juga sudah rindu melihat Doni. Teringat Doni, Paladimir pun berbelok cakap, menanyakan Doni, putra Pendeta Togu.

“Beha si Doni. Sai ro dope demam na i?”

“Dang pola be nian Amang. Sai mangido tu son do nian ibana. Alai on ma partingkian on. Dang sai tarbahen ro.”

Paladimir menganguk-angguk.

“Di jabu do saonnari ibana dohot halak inang kan?”

“Ido Amang.”

“Molo songon i, lok ma husuru di alap si David.”

“Ah. Satokkin nai ma Amang. Paleleng hu annon dipaente si David.”

Paladimir pun urung memanggil David.

Hening sejenak. Paladimir tak sampai hati menyiksa batin pendeta Togu yang menunggu luahan hatinya. Ah, biarlah. Kujelaskan saja, batin Paladimir.

“Na ro do huroha halak si Sudin tu jabu muna Amang?”, Paladimir memulai.

Pendeta Togu simpul senyumnya. “Ah, hudorguk ma jo kopikkon.”, kemudian ia terkekeh.

Paladimir ikut senyum, Ikut juga meneguk kopinya. Akan halnya pohul-pohul, tinggal sebiji di atas piring. Pendeta Togu segan, Paladimir pun sungkan.

“Ido bah Amang. Ro halahi nabodari. Maropat lima halak. Alai hamu ma jo patorangkon na boha do sebenarna.”

Paladimir pun berkisahlah.

“Songon on do i Amang. Di partangiangan na salpu, dang huboto aha alana, pakarashu hata ni sintua i.”

“Sintua Sudin do maksud muna?”

“Olo. Dang pala tangkas be huingot manang angka aha dipandongkon, alai di ujung na.., on ma na unsogo dibege pinggol, ninna ma. Hamu angka ruas, molo so lomo be roha muna marhuria di hurianta on, pangido hamu antong surat pinda muna. Pintor hatop-hatop do baenon i.”

“Bah-bah-bah-bah.., boasa gabe songon i pandohan ni sintua i huroha?”

“Paente ma jo amang hutorushon..”

“Olo-olo.., torushon Amang ma..”

----------marudut dope -------------------

Tidak ada komentar: