Senin, November 05, 2007

Percakapan Kelamin







oleh : harnata simanjuntak



Adam : Adakah lagi yang kau tawarkan?

Eve : Selain kelamin? Tidak. Dulu sekali kutawarkan
hati. Digagahi juga. Hatiku hamil tapi tak beranak.
Busuk dan mati. Jadi kau berutang hati padaku. Tapi,
hendak kau bayar bagaimana? Telah lebih dulu kau
gadaikan hatimu dan tak tertebus. Mau kutawarkan apa
lagi? Semua tubuhku adalah lubang kelamin bagimu.
Untuk disyahwati. Sudah kubungkus tubuhku, bahkan
dengan kelambu. Berjalan pun aku meraba. Tetap kau
syahwat.

Adam : Ah. Tak tahukah kau kodrat? Aku pun kalau
terlahir sebagai kau akan bernasib sama. Semudah itu.

Eve : Semudah itu? Kenapa perkara syahwatmu
menyusahkanku. Membuat ku runsing. Kenapa tidak kau
urus dirimu sendiri. Kau buat lubang kelaminmu
sendiri.

Adam : Sudah kucoba. Cukuplah untuk menambah ragam.
Namun tetap lebih berperi denganmu. Lebih menggeletar.
Ah, jangan kau katakan kau pun tak menikmatinya.
Setahuku kau tak munafik.

Eve : Tak pernah aku hingga menikmati. Selalu hingga
hampir mati . Dan kau berhenti di situ. Ketika aku
nazak. Telah lama, karenamu juga, kelaminku kebas.
Berhenti menghantarkan getar. Ada ketika dulu, kau
coba perlahankan, hampir saja aku bangkit. Tapi kau
tetaplah kau. Tak pernah cukup sabar untukku. Kau
hempaskan lagi, dan lagi. Dan aku hampir mati lagi.

Adam : Ah, seburuk itukah aku?

Eve : Cermatilah rautku. Kali ini agak lama. Bukankah
guratannya adalah catatanmu sendiri. Sudah lama aku
tak menyentuhnya. Tak merasa ia milikku lagi. Kau,
yang sebenarnya tak lebih berhak dariku, telah membuat
akta sendiri bahwa tubuhku adalah punyamu.

Adam : Begini sajalah. Bagaimana kalau aku, maksudku
kita, ehm, perbaiki keadaan. Kita buat kesepakatan
yang menatalaksana perkelaminan. Sudah kucoba
rangkaikan.

Eve : Sudah selesai kau rangkai maka hendak kau hunjuk
padaku? Tak apalah. Aku pun sudah mengintipnya sekali.
Terlihat olehku jalinan kata-kata yang menjijikkan.
Hikmahnya ada juga. Aku jadi lebih mengerti perihal
kesyahwatanmu. Aku jadi mengerti mengapa dulu terucap
olehmu, bahwa tengkukku menerbitkan liur, lipat
lenganku serupa labia, bau tubuhkupun membuatmu
menetes. Ketahuilah, jika begitulah bingkai
perkelaminan bagimu, sungguh aku berencana untuk
berpindah jagad.

Adam : Hai, tunggu dulu. Ada apa ini? Dimana letak
salahnya? Bukankah kau akan lebih terlindungi? Kau
harus mengerti, betapa aku tak berdaya menolak birahi.
Betapa lemahnya aku sejak dulu sekali. Nun ketika
perdana memindai tubuh telanjangmu.

Eve : Beginilah terus. Selalu tentangmu. Sudah
kukatakan bukan, bahwa aku menjadi lebih mengerti
jalan pikirmu. Bagimu aku hanyalah aparatus. Alat
bantu perkelaminan. Tak bisakah kau pandang aku utuh,
sebagai setaramu? Tak bosankah dengan digdayamu?
Ajarlah tekak kelaminmu itu adab. Sehingga ia bertemu
tamadun. Tak malukah dirimu ke, ehm, hewan..?

Adam : Perbaiki bicaramu! Jika tadi kau lebih dekat
sedikit pastilah sudah ku…

Eve : Tindih..? Begitukah? Yah, tentulah kau tampar
lebih dahulu. Kau jambak. Tapi selalu akan berakhir
sama, inilah sehingga tadi kuterbitkan lema hewan.
Ujungnya kau akan gulingkan, gumuli aku.

Adam : Heh? Tidakkah kau melihat aku berusaha
menghargaimu? Akur sajalah dengan kesepakatan ini.

Eve : Sudah sekian ribu tahun. Pernahkah aku berhasil
berkata tidak. Pernahkah kata tidakku didengar?
Diambil kira?


dumai, 21 juni 2006

Tidak ada komentar: