Jumat, Juli 13, 2007

Palak!


( dari 'palak..'nya pak Mula Harahap)

Mungkin karena sudah tak tarbendung, sudah palak, terlontar jugalah kata-kata berapi-api (memang sangat membakar) dari mulut seorang Sudin yang sintua itu. “Ah, dang hasea songon hamu pandita. Sai nitogihon, alai na godangan alasan muna. Hape molo halahan manogihon mangan, pintor hatop-hatop do hamu mangoloi. Marsogot, dao ma dia-dia, molo mate do si Sobur on, anggo hamu hataan ni halak ma. Ai tingki namarsahit i, nanggo apala sahali, las so hea antong didulo pandita i si Sobur on.” Pendeta Togu merapat bibirnya. Sudut pandang matanya tidak kuasa beradu dengan Sudin. Begitu juga terhadap sintua yang lain. 

Sengaja Pendeta Togu menyingkat durasi sermon dengan para sintua karena harus membawa Doni, putranya yang belum genap empat tahun, ke dokter. Pendeta Togu sudah berjanji kepada Nilam, ibu Doni, istrinya. Kepada beberapa sintua pun ia sudah permisi, sebelum sermon dimulai. Apa lacur, Sudin yang datang terlambat, tiba-tiba saja menyerobot dan memaksa Pendeta Togu untuk menjenguk Sobur, jemaat yang sedang nazak, menunggu ajal. Galau sekali hati Pendeta Togu. Betapa ia menyesali selama ini abai, sehingga tak pernah menjejakkan kaki ke rumah sakit, menjenguk Sobur. Ia pun sudah lupa, apa saja yang menjadi aral pelintang setiap timbul niat menjenguk. 

 “Amang, amang. Dipanggil inang. Si Doni panasnya tinggi sekali!”, tiba-tiba di pintu muncul Tua, naposobulung yang memang kerap bersambang ke rumah Pendeta Togu. Tak berpamitan lagi, Pendeta Togu pun humalaput, menyeret tasnya, dan hanya dalam hitungan detik telah menyentakkan kaki kanan ke engkol motornya, dan berlalu.


Ruang UGD Rumah Sakit Daerah.

Suhu tubuh Doni berangsur turun. Cairan yang dicucukkan ke dubur itu ternyata sangat ampuh. Keringat Doni perlahan meleleh. Tangan kiri Pendeta Togu mengusap wajah sendiri, yang kanan pula masih setia mengelus-elus pundak istrinya. Sebenarnya gerakan ini hanya reaksi terhadap tindakan Nilam yang dari tadi sibuk melap keringat Doni. Dengan saling bersentuhan begitu, Pendeta Togu merasa berkurang gamangnya. Apalagi ia kembali teringat kata-kata pedas Sudin ketika di gereja tadi. Tiba-tiba terlintas hal yang tak terpikirkan sebelumnya di benak Pendeta Togu. Ia menunduk, membisikkan sesuatu ke telinga sang istri, Nilam. Nilam hanya mengangguk-angguk.


Ruang ICU Rumah Sakit Daerah 

Tangan Sobur masih dalam genggaman Pendeta Togu. Dari tadi mereka berdoa. Meski stroke, air mata meleleh juga dari mata Sobur, seperti juga mengalir di wajah Pendeta Togu. Sebenarnya yang dilakukan Pendeta Togu adalah mengucap syukur berulangkali, memohon ampun dan berterimakasih kepada Khaliknya. Betapa lewat Sudin ia sudah disadarkan, meski dengan suara yang lantang karena palak. Pendeta Togu berterima kasih karena Tuhannya selalu memberi jalan. Ia diantarkan ke rumah sakit ini, lewat anaknya yang sakit, untuk menjenguk Sobur yang ternyata dirawat di rumah sakit yang sama. Pendeta Togu tidak sadar, bahwa di luar ruang kaca itu, hampir sepuluh pasang mata, termasuk milik Sudin, mengamatinya.

Dumai, 11 maret 2006

Kamis, Juli 12, 2007

Tentang Lia, Tentang Ditha






Ditha, putriku, berusia dua tahun delapan bulan. Natal kemarin, berkat
kegigihan ibunya mengantarkan ke gereja tiap hari minggu, sehingga
Ditha terdaftar sebagai anak sekolah minggu, maka ikut pulalah Ditha
bernatal dan berliturgi, juga mambacakan sajak. Wah, bangga sekali aku
waktu itu, apalagi ibunya.

Tingkah lakunya yang perajuk dan 'parhata sada' terkadang sering juga
mengganggu batas kesabaran aku dan ibunya. Kadang tercetus juga
kata-kata "entah siapa yang ditirunya", begitulah sambil bercanda, aku
dan ibunya kerap saling menuding perilaku keras hati siapa yang
diturunkan ke ditha. Sifa ibunyakah, atau aku, bapaknya. Menurut Mbak
Ijah, tukang urut kenalan kami, sifat keras hati adalah bawaan
namanya, Ditha. Memang nama itu pilihanku. Tapi, masak sih, keras hati
karena nama.

Ditha gemar mengamat-amati perilaku orang-orang disekitarnya. Merekam
kata-kata, dan meniru perbuatan. Akhir-akhir ini Ditha suka menirukan
kegiatan ritual 'parorot 'nya, Sari. Sari, menggantikan kakaknya yang
sudah menikah, menjadi pengasuh putriku dan membantu istriku
mengerjakan pekerjaan rumah. Sari, yang muslim, taat sekali melakukan
sholat. Repotnya, Ditha suka nyelonong ke kamar Sari untuk
melihat-lihat, dan yang merisaukan kami, dia bahkan menirunya. Ya,
Ditha menirukan sholat. Ditha bahkan sudah berani memaksa ibunya untuk
memakaikan sarung dan secarik kain untuk dijadikan sarung dan
telekung. Bercampur geli, kami menegur Ditha. kami marah. Ditha cuek.
Memang begitulah Ditha. Semakin berontak jika ditegur. Karena memang
penasaran, istriku pun memakaikan sarung dan kain tadi. Wah, Ditha
cantik sekali. Ayu. Tak sampai hati lagi kami untuk marah. Wajahnya
yang lucu itu, ketika dibalut kain menyerupai telekung, menampilkan
paras yang elok.

Merasa mendapat angin, maka Ditha pun memulai apa yang dinamakannya
'colat'. Ditha bersimpuh, dan mulai mencium lantai. Berulang kali.
Ketika kuperhatikan, ternyata mulutnya komat-kamit. Terbersit juga di
benakku, jangan-jangan Sari benar-benar mengajarkan anakku sholat.
Sari, yang memang ketika itu tepat di samping istriku terlihat pucat.
Aku jadi merasa tak enak. Curigaku tertangkap olehnya.

Tak lama, Ditha pun menyelesaikan 'colat'nya. Rasa tidak senang kami,
aku dan istriku, terbaca olehnya. Maka, Ditha yang cerdik itu pun
berusaha melakukan pendekatan.

"Papa tau apa kakak bilang waktu colat?" Ditha bertanya padaku, apakah
aku tahu ayat-ayat yang dibacakannya tadi. Ditha memang selalu
menyebut dirinya dengan sebutan 'kakak'. Meniru adik-adikku, uda,
inanguda dan namborunya, yang memanggil istriku kakak.
Karena masih gondok, akupun menjawab ketus "Enggak!"

Akhirnya Ditha beralih ke ibunya,"Ma, Ma, tadi kakak bilang, pada
mulanya Allah menciptakan langit dan bumi." Kemudian Ditha tergelak.
Istriku diam sejenak, kemudian ikut tergelak. Lebih kuat. Aku yang
kurang menyimak berusaha menghentikan tawa istriku. "Dia bilang apa?"
Istriku berusaha berhenti. Terengah-engah dia menjelaskan,"katanya,
waktu dia sholat tadi, dia bacakan liturginya, pada mulanya Allah
menciptakan langit dan bumi." Dan tawakupun pecah. Meningkahi tawa
Ditha dan ibunya. Sari hanya senyum-senyum. Lega dia.

Malam itu, entah kenapa aku jadi teringat Lia Aminuddin. Ada kemiripan
Lia dan putriku. Bedanya, Ditha adalah putriku. Ditha butuh bimbingan.
Dan hal itu adalah tanggung jawab kami, bapak ibunya.

Dumai, 20 Januari 2006
Harnata Simanjuntak

Bibelvrouw Ma Ho Ren?


Beberapa waktu lalu, Togap menyalin pengumuman penerimaan bibelvrouw
dari situs HKBP, mencetak dan dibagi-bagikan ke tetangga dan handai
taulannya. Saat ini ia sedang di rumah tulangnya, Tulang Reni,
mendengar ibunya bercakap cakap dengan ibu Reni, nantulangnya. Di
rumah itu, kebetulan hadir juga Nai Parlin, tetangga nantulang Reni.
Andaikan topik pembicaraan mereka tidak menggelitik, Togap pastilah
mendesak pulang ibunya. Namun, kali ini lain. Di ruang keluarga, tak
jauh dari lapak rumpi ibu Togap dan teman-temannya, sambil menonton tv
dengan Reni, paribannya yang udah setahun menganggur setamat SMU itu,
telinga mereka terbuka lebar.

"Alai manang na beha pe dohonon muna, songon na erget do hubereng isi
ni pengumuman i." Nai Parlin diam sejenak. Melihat muka teman
bicaranya agak keruh, segera Nai Parlin menambahi, "Unang dia-dia roha
muna eda da. Maksud hu, ala na so ruas ni HKBP ahu." Ya, Nai Parlin
memang bukan ruas HKBP, tepatnya telah hijrah ke gereja lain.

"Di dia huroha par erget na diberang hamu?", Nantulang Reni berusaha
mengatur suara agar tak meninggi. Namun, tetap saja terdengar kurang
sedap. Di raihnya kertas salinan pengumuman yang telah keriput dari
meja, diserahkan ke Nai Parlin.

Nai Parlin menampik dan berkata,"Jaha hamu ma disi. Bah dibahen gereja
tetangga. Maksud hu eda, hera na hurang tabo begeon. Aha ma salana di
bahen, misal na, dan gereja lain yang diakui PGI." Hebat memang, sejak
pindah gereja, bahasa Indonesia Nai Parlin makin hantus, lebih tumangkas.

"Olo ma.., alai khan ta antusi do maksud ni surat on." menimpali Nai Reni.

"Ta antusi do nian. Alai...", Nai Parlin tak meneruskan, ia lebih
memilih berbelok," Bereng hamu ma disi muse. Khan dang pola ingkon
`uang' bahenon disi. Aha ma salana dibaen `biaya'. Jadi dang pintor
mabiar hita mamereng."

Melihat kedua temannya terdiam dan raut muka mereka melunak, Nai
Parlin makin menggebu, "Muse, na apala hurang coccok di rohangku,
memang sona adong nian sian jabu na naeng melamar, alai ima sada. Di
nomor piga do nangkin hubereng i. Ingkon binaen ninna surat sanggup
membiayai selama kuliah. Ai khan binoto do kemampuan niba. Dang na
gabe pantang so bilak iba pamasukhon ianakhon niba, hape dang sanggup."

Ketiganya terdiam. Nai Parlin mengambil nafas, Nai Reni dan Nai Togap
menghela nafas. Huh.... .

"Memang, i do nian. Muse molo ni bereng, songon na timbo do biaya na
ate eda..", Nai Togap mengalamatkan kalimatnya ke Nai Parlin, tetapi
disambar edanya, Nai Reni, "Bah nunga wajar antong eda dah. Ai
saonari, nunga boi maniop huria molo bibelvrouw. Tu hurianta pe khan
bibelvrouw hian do dikirim. Na ta tulak do. Baru pe asa dikirim pandita"

Agak melebar bukaan mata Nai Parlin. Koq aku baru tahu ya...

"Ai molo so sala ahu..., khan adong do hamu marpelean tu jolo, tumpak
tu Sikkola Bebelvrouw. Na so cukkup do mungkin i ate, gabe dibahen
uang pembangunan onom ratus ribu..", sedatar mungkin kalimat Nai
Parlin mengalir, paling tidak menurutnya. Namun intonasi yang melemah
di ujung, memaksa telinga lebih berjuang mendengar, lebih `tinggil'.
Jelas sekali disengaja, tak siapa pun meragukan keahlian Nai Parlin
dalam hal ini. Julukan `parbabo', parbada bolon, bukanlah berarti Nai
Parlin kerap terpekik-pekik beradu urat leher dengan tetangga. Nai
Parlin sudah katham fase itu. Kini ia main lebih cantik. Hingga kombur
bubar, barulah lawan bicara sadar, betapa mereka terperdaya Nai
Parlin, parbabo.

"Alai sebenarna, molo piningkiran, nibandinghon muse tu singkola na
asing, sikkola perawat majo nidokhon, bah nga sedang on nian."
Akhirnya Nai Togap meralat.

"Bah nunga mura, nimmu ma.", wah, Nai Reni bangkit lagi semangatnya.

Biarlah, aku sudah cukup puas, batin Nai Parlin. Tak usah kutimpali lagi.

"Jadi boha do Ren? Mendaftar do ho?", sapaan Nai Parlin mengejutkan
Reni yang dari tadi belum berhasil membalas cubitan Togap, tangannya
selalu berhasil ditepis. Ah, enaknya marpariban..

"Ya terserah mamak lah namboru. Aku sih ok-ok aja. Yang penting
dibikinnya surat sanggup itu. Lagian.., bibelvrouw kan udah boleh
kawin. Aku sih asyik-asyik aj... aduh..", belum lengkap kalimat Reni,
cubitan Togap mendarat lagi. Kali ini di pipi. Ih...