Jumat, Agustus 24, 2007

Hisab Di Langgatan

Sudah dua hari dua malam pendeta Hisab hinggap di langgatan. Belum kunjung reda pembatas maya. Tak tertahankan lagi, ingin ia membuang hajat, sendawa di bawah. Tak tertahankan baunya. Sintua Dapot yang setia menunggu di bawah hampir muntah, beriak bergelombang perutnya. Agaiamang bau nai, rutuknya dalam hati. Titit, titit, berbunyi hempon Sintua Dapot. SMS masuk. Dibacanya, ba sian pandita i do hape. Tengadah ia ke langgatan. Terlihat jari Pendeta Hisab menunjuk-nunjuk hempon dalam genggaman sintua Dapot, bibirnya bergerak tak bersuara. Jahama, Dapot membunyikan dalam hati. Lului jo palastik kresek, danggur tu ginjang, begitu isi pesan pendek. Barang untuk apa pula ini, makin aneh saja, batin Dapot. Begitupun, ia bergegas keluar gereja, mencari kantongan plastik, betak boha adong na bolong-bolong, namun tetap ia harus menuju tong sampah. Tulang Mekkel, begitu anak-anak kerap menyapa Duon, telah melakukan tugas dengan baik. Mungkin terlalu baik. Hilir mudik yang tidak seperti biasa, semenjak fenomena Pendeta Hisap menyita perhatian, menambah sampah di pekarangan gereja. Namun tak pernah bertahan lama, Duon akan setia mengutip, menyapu, membakar setiap sampah, setiap biji, tiap helainya.

Namun, masih juga Dapot, atau mungkin Pendeta Hisab, bernasib baik. Bersua juga Dapot dengan sebuah kantongan plastik hitam. Tunggu dulu, ada isinya. Hm, ternyata sisa goreng pisang. Mungkin sangu ruas yang bercakap-cakap sambil menunggui Pendeta Hisab yang tak kunjung turun dari langgatan. Benarlah, sungguh hurik pikuk pekarangan gereja beberapa hari terakhir ini. Sampai kapan ya? Tak berani Dapot meneruskan tebak-tebakan dalam hati, bergegas ia ke dalam gereja.

“Na lelang ma i.”, sebuah gerutu. “Baen batu, danggur ma nanget tu son.” Dapot telah menyiapkan batu di sakunya, namun dongkol telah terbit. Ia pun pura-pura keluar mencari batu. Ia mulai bisa menduga, apa gerangan kegunaan kantongan plastik ini. Sunguh menjijikkan!

“Ai tu dia dope hamu?..”

Mungkin inilah telejamita. Malam itu, dengan bersemangat Pendeta Hisab menyampaikan kotbahnya dari langgatan. Tak terlihat ada jemaat yang mendengarkan di bangku-bangku gereja. Pendeta Hisap pun tidak terlalu mengarahkan wajah ke depan. Ia lebih menunduk. Sebuah ponsel terletak di sebelah tiang mike, di sebilah papan mimbar, dalam posisi speaker on.

“Hamu dongan na pinarhamaol ni Debata.., aha do na ro tu rohanta ditingki ro pangunjunan i ?”, menarik nafas ia sejenak. Tak dihela dalam-dalam, hanya dibiarkan berlalu seteratur mungkin. Sesak di bawah dada dan di ujung tulang belakang akibat gerak peristaltik usus yang telah jenuh, butuh pelampiasan. Merapat paha Pendeta Hisap, menahan kuatnya dorongan dalam perut. Kantongan plastik, kantongan..., kenapa lama sekali.

“Ago!”, Pendeta Hisap terkejut sekali. Sebuah benda keras menerpa kepalanya. Hendak dilanjutkan gerutunya. Kuat sekalilah lemparan Dapot itu. Namun ia sadar, sedang mengudara. Online, terhubung dengan pendengar, nun di sana, sebuah perkumpulan partangiangan. Jangan pula terdengar nanti serapah dari seorang pendeta, dari langgatan lagi. Yang tak disadari pendeta Hisap, saking jagusnya jaringan komunikasi selular saat itu, retsleting celanayang diturunkannya pun ikut tersiar hingga keseberang sana. Dan bunyi tarikan nafas leganya pun.

Dapot yang di bawah pun teridu bau tak sedap. Baling-baling kipas tepat di atas kepala Pendeta Hisap turut berperan dalam penghantaran bau itu. Diam-diam Dapot menuju suis kipas angin gantung itu, dan mematikannya.

“Adong diida hamu harotas, manang koran pe?” demikian suara dari atas. Semakin menjijikkan. Dapot sudah tak tahan.

Wibawakah namanya jika tak kuasa kita menolak kehendak seseorang, yang paling konyol sekalipun? Takut mungkin. Lebih tepat perpaduan keduanya. Jika balas budi turut menyertainya, tentu semakin menjadi beban. Maka, apapun itu, genapi sajalah. Begitulah untuk kesekian malam Dapot tidak berbaring di samping istrinya, sebaliknya di lantai dingin di bawah langgatan gereja. Menemani Pendeta Hisap.

Istri Pendeta Hisap selalu berhasil mencari alasan yang tepat untuk menghindari tugas menemani suaminya. Saya harus menunjukkan ketegaran, memberi peneguhan kepada jemaat, memberi informasi yang benar atas apa yang terjadi, agar tidak simpang siur. Toho tahe, seketika batin Dapot mengiyakan. Seberlalunya dari hadapan istri Pendeta Hisap, saat itu juga ia sadar akan kelemahannya.

****

Apa sebenarnya yang terjadi pada Pendeta Hisab? jika anda tertarik, doakan aku bisa menyelesaikan kisah ini dan banyak dapat ide. Hehehe..., tunggu ya kawan-kawan...

parsinuan, ditha, pho!, pangintubu :-)

Kamis, Agustus 23, 2007

Hikayat Paladimir Parbumbu_2

Terbetik kabar, Paladimir berniat mendirikan sebuah gereja baru. Kabar ini makin santer, karena khalayak mengaitkan dengan selisih paham yang terjadi antara Paladimir dan sekumpulan sintua beberapa waktu lalu. Merasa terancam, mereka, para sintua tadi, mendatangi Pendeta Togu dirumahnya untuk klarifikasi. Waktu itu sudah hampir malam, dan sang pendeta baru saja selesai martapian.

“Horas Amang.” Sudin, sebagai sintua yang tertua dan merasa sebagai pimpinan rombongan mendahului menyapa.

“Bah. Horas, horas. Pahundul hamu ma jo Amang.” Dan pendeta Togu pun nyelonong ke kamarnya untuk berpakaian. Ketika kembali menemui tamunya di ruang tengah, Pendeta Togu melihat raut muka tak sabar para tamunya. Beberapa bahkan terlihat membersitkan rona merah. Naung dipamasuk sintua Sudin on do mungkin sabotol, pendeta Togu menebak dalam hati.

“Na adong do na ringkot hira-hira amang?” pandita Togu memecah kesunyian dan berusaha tersenyum. Istrinya yang muncul, atau lebih tepatnya mengintip dari gorden, menangkap kedipan mata suaminya untuk menyiapkan minuman.

“Antar songon on do Amang pandita nami.” Sudin berhenti sebentar, sambil memperbaiki duduknya. “Dang huboto manang naung dibega Amang kabar on. Alai ninna roha nami porlu do pinabotohon tu Amang Pandita. Alana, nunga godang ruas na manungkun tu hami angka sintua taringot tu kabar on.” Berhenti sejenak, Sudin berusaha menangkap raut penasaran dari wajah pendetanya. Kasihan Sudin, pendeta Togu kelihatan tenang-tenang saja. Tidak terlalu antusias.

“Torushon hamu ma Amang.”, pendeta Togu terpaksa menimpali.

“Di roha nami Amang, anggo na sahali on, ba nunga pakalewathu ibana. Huhilala, nga boi talehon ruhut pamincangon tu ibana.”

“Ai ise do nuaeng maksud muna Amang. Dang dapot rohakku dope.” Pendeta Togu berusaha menyunggingkan senyum di akhir kalimatnya.

“Maksud nami si Paladimir do Amang. Huhilala dang mungkin so sahat dope tu Amang kabar on. Ai ninna kabar on, naeng pajongjongkon gareja na baru nama si Paladimir.”

Melihat pendeta Togu masih saja belum bereaksi, Tuani ikut bersuara, “Maksud nami Amang, molo diloas Amang pandita do, borngin on ikkon tu jabu ni si Paladimir nama hami, laho patakkashon barita on sekaligus mangalehon peringatan tu ibana. Ba unang gabe lomo-lomana da.” Sepanjang kalimatnya, tak sedetik pun Tuani menatap wajah pendeta Togu. Begitupun, tetap saja bau tuak yang bersemayam di rongga mulutnya mencapai indra penciuman pendeta Togu. Berarti na sian lapo do angka sintuakkon ro tuson, itulah akhirnya kesimpulan pendeta Togu.

Begitulah. Hingga hampir tengah malam, keempat sintua itu berdiskusi dengan pendetanya. Mungkin karena suguhan kopi ibu pendeta yang berhasil meredam

pengaruh tuak, pelan-pelan diskusi berjalan lebih lunak. Pendeta Togu mendengar semua luahan hati para sintuanya yang kesal dengan ulah nyeleneh Paladimir. Pendeta Togu pun berjanji, akan menanyakan langsung ke Paladimir tentang isu pendirian gereja itu.

Diam-diam, pendeta Togu merasa geli. Paladimir, jemaat yang dikasihinya itu, selalu membuat gerah penatua-penatua di gereja. Sering karena ujar kata-katanya yang suka ‘si julluk mata ni horbo’. Tanpa ampun akan langsung menyuarakan ketimpangan-ketimpangan yang berlangsung di gereja. Bagi para penatua itu, Paladimir adalah duri dalam daging yang harus dicabut dan dilemparkan jauh-jauh. Bagi pendeta Togu pula, dia adalah mutiara yang tertancap bak karang. Kehadiran Paladimir, selalu memberi asupan semangat yang terkadang meredup. Ah, besok aku harus menemuinya. Ada apa denganmu Paladimir? Malam itu Pendeta Togu sulit sekali memicingkan mata.

****************

Lambok. Begitulah gumaman hati setiap pengunjung kediaman Paladimir. Halaman yang terawat baik, pohon – pohon yang selalu berbuah, anggrek pula selalu berbunga, mawar dengan batang dan daun tak dimakan ulat. Ah, inikah yang dinamakan bertangan dingin? Istri Paladimir akan serta-merta menampik anggapan itu. Berkat tekun. Begitulah katanya. Ia pun akan menceritakan panjang lebar kiprah Paladimir dalam merawat bunga-bunga suanan istrinya.

“Bapak tak pernah lupa menyirami bunga-bunga. Merapikannya. Memberi pupuk....“ dan teman berbicara dapat merasakan aroma cinta yang kental berbancuh dalam tiap kata yang mangalir dari mulut istri Paladimir. Rasa kasih yang tidak dibuat-buat. Seakan menjadi bingkai setiap ujar kata, gerak tubuh maupun mimik bagi istri Paladimir dalam menggambarkan tiap hal berkenaan suaminya.

Akan halnya Paladimir, ia akan melengos jika hadir dalam suasana demikian. Berpuluh tahun satu bahtera tetap membuatnya tersipu-sipu menerima serlahan kasih istrinya. Apa pula hal seperti itu digembar-gemborkan. Malu aku, katanya. Namun tersirat jugalah pendaran kasih yang sama bungahnya.

Seperti juga sore itu. Ketika hati mereka tengah bercengkerama sembari menekuni tanam-tanaman di halaman, motor Pendeta Togu memasuki pekarangan. Horas, dalam hati Paladimir menabik. Dari tadi kau dalam pikiranku, batinnya lagi. Serta merta suami istri itu menghentikan segala kegiatannya dan menyambut sang pendeta.

“Horas.”

“Horas amang. Tu jabu hamu amang.” Istri Paladimir membalas.

Paladimir pula tak perlu menabik lagi. Cukup sebuah jabatan erat. Hangat. Selintas disapanya wajah Pendeta Togu. Namun tak lama. Tak kuasa ia bertemu mata teduh Pendeta Togu yang tengah memindai rautnya. Tatap seorang kerabat jiwa yang rindu.

“Beta Amang, tu jabu ma hita.”, begitulah akhirnya, jabat tangan mereka seperti tak ingin lepas sembari menapaki langkah ke teras rumah.

Begitu menyentuh kursi bambu itu, pantat Pendeta Togu kegirangan. Sudah lebih sebulan aku tak berkunjung. Ah, betapa aku rindu teras ini. Kursi bambu dan gantungan pot bunga. Mata Pendeta Togu tertumbuk ke satu sudut. Ada yang hilang. Tiga pot mawar kegemarannya.

“Ah, na dipapinda halak inanta do Amang. Naeng padengganonna ninna.”, Paladimir membaca pikiran Pendeta Togu, langsung menjelaskan.

Orang tua ini, batin Pendeta Togu. Apa isi hatiku yang tak kau tahu? Namun bukankah begitu lebih baik. Aku tak perlu mengatur kata-kata untuk menghindari sakit hati. Paladimir selalu memberi jawaban atas pertanyaan yang tak terucap. Menguraikannya, dengan kata-kata yang tak tertampik. Hm, berarti aku tinggal menunggu Paladimir meluahkan. Aku tak harus menyampaikan pertanyaan bodoh itu. Ate, naeng mambaen gareja ninna hamu Amang. Ah, betapa geoknya.

Tak lama istri Paladimir datang dengan nampan berisi cangkir kopi. Namun, rupa kopi tak disimak lagi. Mata Pendeta Togu tertumbuk pada piring berisi kue idaman. Pohul-pohul.

“Hera naung diboto do haroro muna.” Paladimir berucap sambil terkekeh. Pendeta Togu tersipu.

Istri Paladimir tahu diri. Suaminyalah yang dicari sang pendeta. Tampak dari wajahnya yang teragak-agak dan sesak bertanya itu. Berdalih meneruskan berkebun, istri Paladimir pun undur diri.

Pendeta Togu memulai dengan hal remeh-temeh. Bertanya kabar tentang anak-anak Paladimir yang hampir semua di luar kota. Hanya seorang, David, yang setia menemani orang tuanya, martiga-tiga bumbu. Paladimir, meski tak terlalu suka mukadimah yang menurutnya tak perlu itu, menjelaskan jugalah ke Pendeta Togu. Sang Pendeta pun mengangguk-angguk. Sumringah wajahnya mendengar kisah anak-anak Paladimir. Ia sangat paham, tidak semua orang beruntung bisa mendengar penuturan Paladimir. Paladimir tak suka pamer. Namun untuk Pendeta Togu, ia akan menceritakan semua. Apalagi ia tahu, Pendeta Togu butuh waktu untuk menenangkan diri, sebelum sampai pada topik yang sebenarnya tak ia sukai itu. Biarlah, pikir Paladimir. Aku akan menahannya di rumahku hingga hari gelap. Toh malam ini tidak ada sermon, tak juga partangiangan. Tidak ada yang terbaring di rumah sakit untuk dibezuk. Tak ada alasan untuk menggesa pulang. Kalau istrinya menelepon, biar sekalian kusuruh dijemput si David. Aku juga sudah rindu melihat Doni. Teringat Doni, Paladimir pun berbelok cakap, menanyakan Doni, putra Pendeta Togu.

“Beha si Doni. Sai ro dope demam na i?”

“Dang pola be nian Amang. Sai mangido tu son do nian ibana. Alai on ma partingkian on. Dang sai tarbahen ro.”

Paladimir menganguk-angguk.

“Di jabu do saonnari ibana dohot halak inang kan?”

“Ido Amang.”

“Molo songon i, lok ma husuru di alap si David.”

“Ah. Satokkin nai ma Amang. Paleleng hu annon dipaente si David.”

Paladimir pun urung memanggil David.

Hening sejenak. Paladimir tak sampai hati menyiksa batin pendeta Togu yang menunggu luahan hatinya. Ah, biarlah. Kujelaskan saja, batin Paladimir.

“Na ro do huroha halak si Sudin tu jabu muna Amang?”, Paladimir memulai.

Pendeta Togu simpul senyumnya. “Ah, hudorguk ma jo kopikkon.”, kemudian ia terkekeh.

Paladimir ikut senyum, Ikut juga meneguk kopinya. Akan halnya pohul-pohul, tinggal sebiji di atas piring. Pendeta Togu segan, Paladimir pun sungkan.

“Ido bah Amang. Ro halahi nabodari. Maropat lima halak. Alai hamu ma jo patorangkon na boha do sebenarna.”

Paladimir pun berkisahlah.

“Songon on do i Amang. Di partangiangan na salpu, dang huboto aha alana, pakarashu hata ni sintua i.”

“Sintua Sudin do maksud muna?”

“Olo. Dang pala tangkas be huingot manang angka aha dipandongkon, alai di ujung na.., on ma na unsogo dibege pinggol, ninna ma. Hamu angka ruas, molo so lomo be roha muna marhuria di hurianta on, pangido hamu antong surat pinda muna. Pintor hatop-hatop do baenon i.”

“Bah-bah-bah-bah.., boasa gabe songon i pandohan ni sintua i huroha?”

“Paente ma jo amang hutorushon..”

“Olo-olo.., torushon Amang ma..”

----------marudut dope -------------------

HIkayat Paladimir Par Bumbu












sebuah cuplikan untuk kisah yang lebih panjang, tapi belum selesai
ditulis, hehehe..) ------------------------------------------ "Mandok hata sian ale-ale." Tengah hari begini semestinya panas berpeluh. Mata Paladimir berpendar mengelilingi satu per satu sahabatnya yang hadir. Mereka adalah para sahabat si mati. Ia sangat yakin, masing-masing mereka pasti telah menyiapkan berbaris kalimat untuk dihujahkan. Menyampaikan ucapan belasungkawa di hadapan begitu banyak pelayat tentu menjadi kebanggaan tersendiri. Tentu juga, membutuhkan persiapan khusus. Karena itu, Paladimir tidak ingin mendahului teman-temannya. Sebaris kata sudah ia siapkan. Namun, biarlah dulu. Mungkin si Tiop akan maju. Atau si Lokma. Si Panikkam pun terlihat sedang meraba-raba isi sakunya. Barangkali sedang mencari secarik kertas. Semacam kopekan untuk memperlancar `dok hata'nya. Wajar kalau Panikkam yang maju. Pasalnya, Potipar si mati, adalah sejawatnya, sesama mantan anggota dewan. Ya. Potipar memang sudah usai. Marujung ngolu. Seorang lelaki di puncak karirnya. Merasakan kegemilangan hidup sebagai manusia batak. Bersambang ke manapun akan bersua sanjungan. Potipar telah meneguk `hasangapon'. Menghidu atmosfir berbeda dari kaumnya. Di bidang usaha, ia berhasil sebagai tauke kayu. Keberhasilan yang telah mengantarkannya menjejakkan kaki hingga ke negara-negara sempadan. Pundi-pundinya juga beranak-pinak dari berbagai usaha lain. Di marganya pula, Potipar bukan lagi sekedar ketua. Penasehat adalah kedudukan yang diberikan kepadanya. Bahkan, di kumpulan orang batak yang berbilang marga pun ia cukup disegani. Paling tidak di kota ini. Alam reformasi membentang ruang berkiprah lebih luas bagi Potipar. Wilayah politik pun dirambah. Hasilnya, satu periode ia menjadi anggota dewan. Sebenarnya ia mencoba untuk kembali duduk di kursi wakil rakyat paling tidak satu periode lagi, meskipun harus lompat pagar berpindah partai. Sayangnya, gayung tidak bersambut. Tak ada partai yang menampung Potipar. Partai tempat ia bernaung sebelumnya memang sudah tergusur. Terkena senjata pemusnah bernama electoral threshold. Akhirnya, setelah saling menunggu karena sama segan, marsitugan-tuganan, Tiop maju. Nahas bagi Tiop, bukan ujar katanya yang akan di dengar khalayak hari ini. "Ago..!", dan gedebuk! Tiop tersungkur. Sebiji paving block yang tersembul menghadang langkah kaki kanannya. Mata Tiop memang kurang awas, dan ia pun tersungkur. Ini suatu pertanda. Akulah yang harus bicara, menyampaikan pesan yang harus didengar. Paladimir meneguhkan hati. Perlahan, kaki terayun. Tangan Paladimir terjulur menggapai mikrofon. Sebentar terdengar bunyi kresek-kresek ketika pengeras suara itu bergesekan dengan penyangganya. Sebuah pengantar bunyi tak sedap untuk sebuah penyampaian yang lebih tak sedap. Mikrofon telah merapat ke bibir Paladimir. Menunggu kata-kata yang keluar untuk kemudian melakukan pembesaran bunyi sehingga jelas terdengar di telinga hadirin. Untuk terakhir kali, sepasang indera penglihatan Paladimir bergerak setengah lingkaran. Menyapu wajah-wajah yang hadir. Sepatutnyalah ia terharu, sebagai seorang sahabat si mati, melihat gurat-gurat belasungkawa di paras pelayat. Namun, firasatnya berkata lain. Gurat-gurat duka itu sebenarnya adalah reka ulang. Sebuah perekaman mimik yang dapat dimunculkan kembali. Hasil sebuah rutinitas layat-layatan di kaumnya, Batak. Ia pun yakin, setengah dari kaum ibu yang hadir seperti memiliki sebuah tombol duka. Bila ditekan, akan serta merta menampilkan bukan saja raut sedih, juga akan ditimpali andung-andung, ratap yang menyayat. Satu hal membuat perut Paladimir sering mual ketika berada di bawah tenda duka, di berbagai kesempatan lain. Ratap itu akan begitu saja berhenti, jika si empunya suara merasa sudah cukup. Merasa telah memberikan taru-nya. Dengan begitu, pangandung tadi merasa sudah boleh nyengir, cengengesan, menyimpulkan senyum, atau bahkan, asal tidak terlalu keras, tertawa. Maka, Paladimir akan menyampaikan sesuatu. Kalaupun tak dapat menghentikan segala macam kepura-puraan, namun cukup memberi kejutan. Membuat pelayat yang hadir bak dihantukkan kepalanya ke dinding. Menimbulkan dongkol, namun juga rasa jerih. Dan kalimat itu pun keluarlah. Datar saja. Namun terasa menggelegar. "Ingot ari hamamatem!" Langit makin gelap. Rintik gerimis mulai turun. Terasa di kulit menembus kemeja hitam, menempel juga di alas bedak. Pelayat beringsut merapat. Berebut ke bawah tenda, mendekati keranda. Bau busuk akhirnya dihirup bersama, tak lagi hanya milik suhut yang mengelilingi kotak bangkai Potipar. Kematian memang dapat sangat menyiksa. Tidak hanya bagi pemilik ajal, juga bagi yang ditinggal, dalam makna sangat harafiah.