Selasa, Februari 05, 2008

Ehm.., Pesta Bona Taon Ni Punguan Amasada (2)

Biasanya, untuk memudahkan pekerjaan ini, kami menggunakan alat bantu. Semacam “burner” yang digunakan perajin rotan. Memakai bahan bakar minyak tanah, “burner” itu dengan leluasa akan melalap sisa-sisa rambut babi (untuk Amasada, sebenarnya lebih sering panangga alias sigagat solop alias anjing), karena ia dengan mudah digenggam dan apinya ditembakkan kesana-kemari. Mungkin, karena ketika sekitar sebulan lalu ketika terakhir kami pakai, alat bantu tersebut berulah, sulit menyala dan ketika akhirnya hidup, apinya merebak kemana-mana, maka kami pun tak memakai alat pinjaman tersebut. Pinjam? Ya, kami memang meminjamnya dari seorang pemilik lapo langganan punguan Amasada. Kalaulah bukan kami –biasanya diwakili sekben- yang meminjam, belum tentu Situmeang –pemilik lapo itu- sudi meminjamkan. Kaitannya memang banyak.

Ketua punguan Amasada adalah sekaligus ketua parsahutaon atau STM (serikat tolong menolong) “Mauliate”, dimana seperempat dari anggota punguan Koor Amasada bermukim. Nah, lapo bernama “Rap Mandai” itu pun terletak di parsahutaon Mauliate. >Artinya, ketua punguan Koor Amasada adalah ketua bagi pemilik lapo Rap Mandai. Jadi kalau sudah ketua yang minjam, susah jugalah menolak. Apalagi sang sekben punguan Amasada yang sering ditugasi meminjam adalah juga bendahara parsahutaon Mauliate.

Membakar rambut babi diatas tungku berbahan bakar kayu lumayan repot juga. Babi harus dibolak-balik sedemikian rupa agar semua rambut di tiap lekuk tubuh babi itu sirna. Tahunya rambut sudah tak ada bagaimana? Ya tentu harus diraba. Jika belum licin, bakar lagi. Dibakar terlalu lama akibatnya kulit babi menghitam. Kalau sudah begini, haruslah dikikis.

Setelah yakin semua rambut habis terbakar, babi malang itu pun diangkat. Seorang jagal sudah siap sedia memotong-motong menjadi ukuran lebih kecil, untuk kemudian dicuci dan akhirnya direbus dalam kuali besar. Sebelumnya, lazim terjadi tanya jawab begini :

“Boha do bahenon on? Baenon da margoar manang holan haliang na do?”, akan bertanya sang jagal.

“Ba pature ma disi. Sai hera na sahali on dope hita marulaon panukkun mi.”, menimpali yang lain, biasanya ketua punguan.

“Daong da, betak boha do asing sahali on.” Ya, manalah tahu kali ini lain pula.

“Na biasa i ma baen. Haliang dohot ihur-ihur na sajo pe.”

Haliang adalah lingkar leher. Bentuknya adalah seperti donat raksasa, namun lebih pipih. Ihur-ihur pula adalah bagian pantat. Panjang bagian ihur-ihur biasanya diukur berdasar panjang ekor. Ekor ditarik kedepan. Bagian yang disentuh ujung ekor adalah batas untuk membentuk ihur-ihur. Sisi kiri dan kanan akan dipotong seimbang, masing masing membentuk sudut sekitar 45 derajat. Jika sang jagal terlalu asyik merapikan bentuk ihur-ihur, biasanya akan ada yang mengomentari.

“Toe ma, annon pe muse padenggan i dung di robus.” Komentar ini wajar, karena bentuk daging setelah direbus akan berubah. Jadi akan lebih baik memberi ‘final touch’ setelah direbus. Melihat ihur-ihur biasanya aku akan terbayang belangkas. Bedanya, yang ini montok.

Sembari menunggu daging yang direbus masak untuk kemudian dicincang, para parhobas disibukkan dengan kopi dan teh masing-masing. Percakapan yang selalu diiringi gelak tawa pun terjadi.

Di sudut lain, beberapa temanku asyik pula dengan panggangan. Mereka memanggang bagian dada. Katanya, bagian itulah yang paling sesuai, paling sodap jika dipanggang.

Waktu berlalu, daging usai direbus, dicincang pun sudah. Hasil panggangan pun telah dicicipi. Ramuan sambal panggang sajian teman-temanku itu sebenarnya biasa saja. Bawang merah dan putih ada, cabai merah, asam, garam. Namun, kalau sudah dilengkapi andaliman (hehehe, membayangkannya saja sekarang liurku muncul), rasanya pasti akan mengguncang dunia.

Ketika memasak daging hendak di mulai, ada sedikit kendala. Ternyata sendok – bukan sembarang sendok, sendok raksasa pendamping kuali raksasa – tidak ada. Entah tercecer di mana, tak seorang yang tahu. Aku pun berlari kecil ke rumah, menebas dua batang pelepah atau batang daun kelapa, membersihkannya, sret-sret, dan akhirnya dengan menggunakan parang membentuk menjadi sendok. Dua buah sendok besar.

Mengaduk daging dan bumbu di kuali aku masih ikut. Namun kepada teman-teman segera aku permisi, hendak membawa Pho, anak lelakiku yang berumur setahun tiga bulan ke rumah sakit. Berobat. Sejak sehari sebelumnya Pho memang mencret. Namun tidak terlalu kerap dan masih dalam jumlah sedikit. Ketika sejenak pulang ke rumah membentuk sendok tadi, istriku mengajak agar kami bawa saja Pho ke rumah sakit. Jangan sampai kecolongan. Aku pun sebenarnya berpendapat sama.

**

Acara pesta bona taon itu berlalu biasa saja. Beberapa tahun lalu kami lebih antusias. Hampir semua anggota bergantian memberi ucap salam selamat tahun baru dan menghamburkan unek-uneknya. Tahun ini sepi. Organ tunggal pun tak ada. Dulu sempat ada. Kami meminjam organ gereja, Technic KN 2400 yang beru dibeli, dan bersuka ria berdendang hingga hari gelap. Tahun ini tetap juga bernyanyi-nyanyi, namun hanya ditemani gitar. Itu pun tersendat-sendat. Karena sang gitaris harus merehatkan jari-jarinya. “Nga haccit jari-jarikku. Ala na so biasa i be.”, katanya beralasan. Maka kami yang telah ‘kentang’, kena tanggung, harus menahan selera. Menunggu jari-jarinya pulih dan berharap ia segera sudi memetik gitar lagi. Kalau tak sabar, mainkan sendirilah gitarnya, dan itulah yang kulakukan. Campuran sup babi, bir dan tuak betul-betul membuat kami kena. Manginona, kata kawanku. Lagu harus ditarik. Diselingi umpama- umpama. Umpama? Ya, umpama batak. Temanku si tuan rumah kalau sudah ‘terbang’ punya hobi unik. Menciptakan umpama. “Immatutu, nitta attong.”, begitu pintanya jika umpama sudah tercipta dan dibunyikan di hadapan khalayak. O tahe...

Tidak ada komentar: