Kamis, Juni 28, 2007

Nai Dokdok Ikut Pesta MBO



Nai Dokdok merapikan rambutnya. Apalagi yah. Bedak
sudah. Lipstik sudah. “Renta, bawa dulu sini minyakmu
itu.” Wah ternyata Nai Dokdok sempat-sempatnya
bergenit ria. Pingin pula dia pakai minyak
sinyongnyong. Sret, sret. “Sudah cukuplah itu .” kata
Renta sambil menyemprotnya minyak wangi ke kebaya
ibunya. “Nih Mak, nambah ongkos.” Renta menyodorkan
selembar uang duapuluhribuan. Dia maklum antusiasme
ibunya saat ini. Betapa tidak. Bertemu pucuk pimpinan.
Impian tiap jemaat. Sejak ditinggal mati suaminya,
bergeraja telah menjadi satu-satunya curahan hati Nai
Dokdok.
Singkat cerita, dengan menyewa angkot, tibalah Nai
Dokdok dan teman-temannya ‘sapunguan ina par ari
kamis’ ke tujuan mereka. Ternyata mereka ke sebuah
gereja HKBP yang baru selesai dibangun dan langsung
akan menjadi resort. Lazimnya memang, untuk menghadiri
undangan gereja yang punya hajatan, maka tiap punguan
di gereja mereka digilir. Beruntung sekali Nai Dokdok,
disaat hajatan sebesar ini yang dikirim adalah punguan
mereka. Ina par ari khamis. Cihuy.. . Tentulah pucuk
pimpinan yang dari Tarutung akan hadir. Ikkon hujalang
annon ompui, begitu Nai Dokdok membatin. Niat yang
sama juga menghinggapi temannya serombongan. Diam-diam
Nai Dokdok menghidu bau tubuhnya. Tidak pede dia.
Maklumlah. Setiap hari ‘margulu-gulu’ kotoran dan
ampas makanan. Sesuatu yang harus digelutinya sebagai
seorang ‘parpinahan’. Ya, memelihara babi adalah
pekerjaannya. Memang sungguh mulia hati para pemimpin
di kota kita ini. Kita diberikan lokasi khusus untuk
‘marpinahan’. Begitulah kerap pujian yang dilontarkan
Nai Dokdok dan teman-teman seperjuangan (‘angka
parpinahan’). Berbeda dengan beberapa tahun silam,
kini Pemko telah melokalisir areal ternak babi di kota
mereka. Kebijaksanaan yang pada awalnya ditentang,
namun kini malah disyukuri. Buktinya, jumlah peternak
babi semakin banyak. Mungkin karena merasa direstui.
Namun sebenarnya karena tuntutan ekonomi yang tidak
menawarkan pekerjaan lain. Kembali ke soal bau tadi.
Pengalaman melihat pegawai kelurahan yang hampir
muntah mencium bau tubuhnya ketika mengurus KTP
membuat Nai Dokdok jera. Cukup sekali ini aku
dipermalukan. Takkan kubiarkan orang lain memandang
hina aku. Begitulah tekadnya.
Rombongan Nai Dokdok dibimbing panitia ke tempat duduk
mereka. Wah sayang, agak terlalu ke belakang. ‘Dang
tangkas be annon hubereng bohi ni ompui’, terbersit
rasa kecewa Nai Dokdok, namun cepat dihapusnya. “Kan
manortor do annon, disi ma tajalang.” Nai Harapan,
teman akrab Nai Dokdok yang melihat ekspresi
kekecewaan Nai Dokdok berusaha menghibur. “Eda, bereng
jo panditantaan, songon nasibuk hubereng Amang i.
Nidophon roha ate. “ Nai Harapan memulai topik baru
untuk mengalihkan perhatian Nai Dokdok. Memang
pagi-pagi sekali dia melihat pendeta yang bertugas di
gereja mereka sudah melintas dengan jas lengkap
menaiki sepeda motornya. Kebetulan Nai Harapan
tinggal tidak terlalu jauh dari tempat tinggal
pendetanya, sehingga aktifitas sang pendeta selalu
dicermatinya. Nai Harapan maklum pendetanya hendak
berangkat lebih dulu ke gereja yang akan MBO itu. Hal
tersebut telah disampaikan pendeta ketika punguan
mereka, ina par ari Kamis marguru. “Lok ma sintua na
mandongani hamu annon ate angka inang. Anggo ahu
ingkon parjolo do berangkat. Alana… mangantusi ma
hamu.” Dan mereka memang ‘mangantusi’. Imajinasi Nai
Dokdok mengalir, membayangkan murid-murid Yesus
menyiapkan keledai dan dengan penuh pengabdian
melayani sang Mesias. Begitukah yang akan dilakukan
pendetanya? Menyambut dan melayani pimpinannya? Ah,
suatu perbandingan yang terlalu berani. Cepat-cepat
dihapusnya imajinasi itu.
Awalnya Nai Dokdok gamang melihat sekelilingnya.
Pameran kemewahan dan segala pernak-perniknya. Namun,
sesaat dia sudah dapat duduk tenang. Pelan-pelan
kerikuhan bersanding dengan ‘angka dongan sa huria’
dari berbagai pagaran dan resort lain di kotanya yang
juga hadir memenuhi undangan mulai redup. Rasa nyaman
mulai hadir. Mungkin setelah melakukan pengaturan
nafas. Op. Jetro, temannya yang duduk di bangku
belakang ‘manggoit’. Nai Dokdok pun terkejut. Ah,
ternyata Ompung Jetro menawarkan permen. Permen
konidin kebanggaannya yang memang extro strong. Makin
‘cas’lah perasaan Nai Dodok. Melihat pameran kebaya
yang dikenakan ‘angka ina sian huria na asing’ pun dia
sudah biasa-biasa saja. Paling-paling kalau ada yang
terlalu wah, dia akan saling lirik dengan
teman-temannya. “Bagak nai ate.” Begitulah mereka
bergumam. Pertunjukan belum selesai. Walaupun acara
sudah hampir dimulai, masih ada saja yang baru tiba.
Mengikuti arah pandang hadirin yang lain, nai Dokdok
menoleh ke belakang. ‘Amangoi, aha doi?’, Nai Harapan
yang dari tadi berlagak kalem, tak sadar terpekik
lirih. Undangan yang baru tiba ternyata orang penting.
Paling tidak untuk komunitas yang hadir. Keluarga Op.
Japjap. Siapa tak kenal keluarga tajir yang satu ini.
Sudah berapa gereja disumbangnya. Terlihatlah Op.
Japjab boru dengan kebaya yang menyilaukan pandangan.
Op. Jetro berbisik ke telinga Nai Dokdok,” Hurasa,
holan horong-horong dohot angka golang nai pe di gadis
nunga cukkup mambangun gareja on ate.” Nai Dokdok
tergelak dan menepis tangan Op. Jetro,” Ho nian
natua-tua.”
Dan acara pun dimulai. Cukup panjang memang
rentetannya. Kebaktian minggu selesai, disambung
dengan MBO (mameakkon batu ojahan), peresmian resort
lagi. Tidak seperti beberapa temannya yang mulai resah
dan beberapa kali merubah cara duduknya, Nai Dokdok
terlihat cukup patuh menekuni tiap acara yang
berlangsung. Keresahan teman-temannya tidak
berlangsung lama. Acara seremonial selesai. Makan
bersama pun terlewatkan dengan penuh canda. Sesekali
mata mereka memerhatikan pelayanan ‘khusus’ yang
diberikan panitia kepada Op. Japjap dan teman-temannya
yang memang masuk golongan undangan khusus karena
sumbangan yang telah (dan akan) diberikan.
Musik mulai berbunyi. Jantung Nai Dokdok ‘taroktokan’
dan jauh lebih kencang dari bunyi gondang. “Manortor
nama,” nai Harapan mengingatkan. Aku sudah tahu, batin
Nai Dokdok. Giliran manortor pertama adalah parhalado
partohonan. Yes…, ompung.. aku datang, Nai Dokdok
berteriak dalam hati. Tapi tunggu dulu. “Ai boasa gabe
rarat na di panggung i. Biasana holan sampulu halak
do.” Pandangan Nai Dodok beradu dengan Nai Harapan.
Hati-hati sekali Nai Dodok mencoba menghitung
parhalado yang berdiri di panggung. Hampir duapuluhan.
Tangan Nai Dokdok mulai dingin. “Beha nama on. Hape
hepeng na sian si Renta i tinggal sappulu ribu nama.
Dia cukkup on manolopi.”
Tiba-tiba satu lagi teman mereka ‘sapunguan’
menghampiri. Nai Jefri, istri seorang pegawai yang
memang lebih beruntung hidupnya dibanding
teman-temannya yang lain. “Uwe poang. Dang acci
parsaribuan. Lima ribu do partoru.” Kata Nai Jefri.
Ternyata Nai Jefri barusan dari panitia untuk
menukarkan duitnya, dan berkesempatan melihat lebih
dekat kejadian yang berlangsung di panggung. Sama
seperti temannya, dia pun ingin ‘manolopi’ atau
menyumbang ke depan. Itu memang satu-satunya jalan
untuk dapat naik ke panggung dan menatap lekat-lekat
wajah sang pucuk pimpinan. Harus ikut monortor dan
‘manolopi’. Nai Jefri terlihat menggenggam beberapa
ikat uang seribuan dan lima ribuan. “Ba dang
tartondong i dah,” yang lain mulai menggerutu. Solider
terhadap temannya, Nai Jefri kembali duduk. Tak
satupun dari mereka yang naik ke panggung untuk ikut
manortor. Pandangan mereka semua ke depan. Cukup lama
juga tortor yang satu ini. Betapa tidak. Yang berniat
‘manolopi’ tak habis-habisnya. “Tabo nai angka
sigodang hepeng i ate eda,” kata-kata itulah yang
akhirnya keluar dari mulut Nai Dokdok. “Beha bahenon
eda, mamereng-mereng sajo ma hita.” Nai Harapan
menimpali.
Akhirnya ‘penyiksaan’ itu pun berakhir. Selesai juga
tortor parhalado partohonan. Aha ma nuaeng muse ate,
Nai Dokdok berpikir. O, ternyata lelang. Lelang ulos,
ditambah lukisan. Sangat klise sebenarnya. Namun tentu
berbeda lelang di pagaran dengan lelang di hajatan
seperti ini. Babak baru pun dimulai. Juta demi juta
diteriakkan. Juru lelang tertawa. Memanas-manasi
peserta. Sungguh tontonan yang menarik. Ada yang
berniat menyaingi ‘bid-bid’ yang dilontarkan Op.
Japjap. Selalu menaikkan sejuta diatas penawaran Op.
Japjap. Akhirnya Op Japjap palak (hehehe, diantusi
hamu do tahe?). “Lima puluh juta!!” hadirin terdiam.
Hening dua detik. Jantung Nai Dokdok sepertinya sudah
jatuh. Namun tak lama tepuk tangan bergemuruh. “Hidup
Ompung Japjap.” Sang juru lelang berteriak meyambut
‘bidding’ Ompung Japjap. Nai Dokdok berusaha melihat
ke barisan bangku terdepan, dimana tamu-tamu
kehormatan duduk. Terlihat mereka yang duduk disana
mengangguk-angguk. Ada yang berbisik. Seandainya Nai
Dokdok tahu apa yang mereka bisikkan pasti jantungnya
benar-benar copot.
“SAHALI…., DUA HALI……, DUA SATONGA HALI….., TO…….LU
HALI. Ro ma hamu amang. Ro ma hamu.” Pemenang telah
diputuskan. Ompung Japjap merapikan jasnya. Ompung
Japjap buro melipat kipasnya. Hahaha…, lihatlah… Kami
akan diulosi ompui, mungkin begitulah teriakan mereka
dalam hati, pikiran liar Nai Dokdok bermain. Karena
memang untuk lelang istimewa seperti ini tentu tak
sembarang orang yang akan menyerahkan.
Berusaha menenangkan dirinya, pikiran nai Dokdok
melayang. Samakah aku dengan janda yang memberikan dua
peser itu? Sebaliknya siapa pula bandingannya Ompung
Japjap ini? Ah, hayalanku ini sudah terlalu liar,
pikir Nai Dokdok. Pelan-pelan, dia pun sudah ikut
mengangguk-angguk melihat jor-joran yang berlangsung
di atas panggung. Bolon nai hape HKBP on.

Rabu, Juni 27, 2007

Berbahasa Batak yang ‘Batak’


(catatan: bagi rekan-rekan yang tidak kesulitan menggunakan bahasa Batak, mungkin tulisan ini agak kurang nyambung. Bagi yang senasib denganku, beta, rap marsiajar ma hita. Masiamin-aminan, masitukkol-tukkolan. Tapi kalau lagi ‘tukkolan’ atawa marsahit ipon, mau berbahasa apapun susah. Dang i ninna hamu? )
*************

Menyesal tidak harus terlambat. Sungguh aku menyesal sedari dulu tidak serius dalam mempelajari bahasa ibuku, Batak. Wajar untuk disesali. Dulu, orang tuaku tidaklah terlalu pelit dalam mengajari kami. Secara langsung atau tidak, kami anak-anak mereka selalu dicekoki dengan bahasa yang mereka anut itu. Namboru dan inangbaju pun silih berganti menjadi ‘parorot’ kami yang seharusnya dapat sekaligus menjadi guru ‘marsiajar marhata batak’. Apa lacur, hingga sekolah menengah aku malah lebih fasih berbahasa melayu dengan cengkoknya yang genit dan mendayu-dayu. Karena memang bahasa itulah bahasa gaul kami di sekolah dan di permainan. Mendapat kesempatan menikmati tutur sapa di bumi melayu, dimana akar bahasa Indonesia berasal sebenarnya suatu keberuntungan bagiku.
Di kota Bertuah (sebutan buat Pekanbaru), ibukota prop. Riau, tempat ‘manahu’ ilmu setelah sekolah menengah, aku beruntung tinggal serumah (kost-nya istilahnya tahe?) dengan saudara-saudara se-suku, mbatak. Mereka berasal dari Siantar, Medan, Sidikalang, Porsea ‘dohot angka lan na asing’, pokoknya dari Sumetra Utara-lah. Canda-ria dan cengkerama selalu dalam bahasa Batak. Aku ‘pe’, dengan malu-malu mempraktekkan bahasa Batakku yang bujubune ancurnya. Intonasi apalagi. Jauh dari ‘gagah-berani’ khas Batak. Celutukanku yang suka tergagap karena tidak mampu menyelesaikan kalimat dalam bahasa Batak pada awalnya sering menggangu kehangatan percakapan kami di tempat kos. Namun semester silih berganti (kami memang cukup kompak dan personil rumah kos kami relatif utuh hingga masing-masing menyelesaikan studinya) dan aku semakin bisa diterima. Entah memang karena bahasa Batakku yang makin fasih, atau mungkin karena mereka yang akhirnya maklum.
Selama studi, beberapa kali aku menyambangi orangtua. Selain karena ‘malungun’, tentunya juga untuk dapat secara langsung meyampaikan ‘proposal’ biaya studi, yang kalau harus meminta biaya-biaya ekstra rasanya lebih ‘tangkup’ atau ‘hantus’ kalau disampaikan langsung bersimuka, tidak ‘by the phone’. Pada kesempatan-kesempatan seperti itu, biasanya aku selalu memancing agar percakapan kami lakukan dalam bahasa batak. Mau dibilang pamer terserah, pokoknya mereka harus tahu aku sudah mampu menggunakan bahasa Batak. Bukan hanya mengerti. Tak dinyana mereka malah terkejut. Bukan karena aku sudah bisa, tapi karena logat batakku yang menurut mereka terlalu kasar. Kita tidak seperti itulah. Kita kan orang tarutung, itu kata ibuku (belakangan kuketahui orantua ibuku pernah lama menetap di Sidempuan. Terpikir olehku, entah hal ini berpengaruh dalam penilaiannya terhadap logatku). Sejak saat itu, aku lebih berhati-hati. Tiap kesempatan mendengar bahasa batak dibunyikan, aku berusaha menelusuri logat Batak mana yang digunakan si pemakai. Ternyata, banyak sekali ragamnya.
Saat-saat frustasi biasanya adalah ketika harus mendengar kotbah di gereja dalam bahasa Batak. Ampun deh Amang, indak tontu den do, begitulah aku kerap menggerutu dalam hati. Bahasa batak apa pula itu yang dipakai sintua dan pendeta? Apa pula artinya ‘hagiot’, ‘tois’, marsaringar’, ‘marbungaran’, ‘dohot angka lan na asing’?. Mantak mai na marsiajar bahasa batak i. ‘Jotjot’ sekali aku tertidur di gereja karena tidak paham lontaran-lontaran kalimat bahasa batak yang dipakai pengkotbah dari mimbar. Di kiri kananku, para remaja yang turut dalam kebaktian dan notabene bersuku batak, malah sibuk ngerumpi dalam bahasa minang yang memang mereka kuasai dan menjadi bahasa gaul di ibukota prop. Riau. Sekali waktu aku terdengar ocehan mereka, ‘ Aa keceknyo?’. Maksudnya menanyakan: heh, yang lagi kotbah itu ngomongin apa sih?. Wah, habislah kita. Mau kemana nih orang Batak.
Beranjak dewasa, aku pun ‘sohot’lah. Seluruh keluarga riang gembira menyambut pesta pernikahanku. Maklumlah, aku kan ‘buha baju’. Ada sanak yang membisikiku, pestamu bakalan rame. Awalnya aku bingung. Ternyata ada semacam pameo yang berlaku di sini, ‘apa yang kau tabur, itulah yang kau tuai’. Dan di pesta pernikahanku, orangtuaku menabur ‘haringgasonna mandohoti ulaon adat’ selama ini. Undangan yang disebarkan sepertinya hadir semua. Tidak seperti di kota-kota besar, di sini gedung pertemuan untuk pesta nikah Batak belum menyediakan kursi. Jadi, ya lesehanlah (di kemudian hari ketika mengikuti pesta pernikahan itoku di Medan, aku jadi geli sendiri melihat penyampaian ‘tudu-tudu ni sipanganon’ yang diletakkan di meja, karena memang semua undangan duduk di kursi. Ketika melihat ‘pamoruon’ kami menyampaikan tudu-tudu sipanganon’ itu, koq rasanya seperti menerima hidangan di rumah makan ya..). Kembali ke soal bahasa Batak. Selama pesta berlangsung, berseliweranlah ‘umpasa-umpasa’ maupun tutur-tutur Batak yang selama ini jarang sekali kudengar. Memang, dengan telah beberapa kali menghadiri pernikahan sanak saudara maupun teman atau melihat melalui rekaman-rekaman VCD, aku tidaklah terlalu terkejut dengan ragam umpasa dan tutur tersebut. Namun tentulah lain halnya ketika aku yang langsung menerima ungkapan-ungkapan itu. Pelan-pelan, sepatah-sepatah, aku dan istriku melafaskan ‘immatutu..’. Asyik juga ternyata.
Waktu bergulir. Aku memasuki dunia yang selama ini jauh dari bayanganku. ‘Ai na songon on do hape?’, begitulah sering benakku berpikir. ‘Adong do hape harsihol-sihol, pataruhon parompa, mamboan aek ni utte, tardidi, dohot angka lan na asing’. Bermacam tradisi yang sudah jamak bagi keluarga Batak, dan harus aku serta istriku jalani. Repotnya, tradisi ini mengharuskan aku ‘mangampu hata’ yang ‘dipasahat hulahula’. Awalnya aku berusaha menyampaikan dalam bahasa Batak. Namun karena terbata-bata pihak mertuaku berusaha maklum dan katanya,” Bahasa Indonesia i pe bahen hamu amang, diantusi hami do”. Kesalahanku adalah, aku mengamininya dan meneruskan kalimat-kalimatku tidak lagi dalam bahasa Batak. Sejak itu, aku tidak lagi merasa wajib belajar bahasa Batak. Dalam berbagai kesempatan ketika harus berbaur dengan para ‘pariban’ ketika marhobas di ‘ulaon-ulaon’ hulahula-ku pun aku merasa cukup dengan bahasa Indonesia. Toh mereka mengerti koq. Padahal sebenarnya aku sadar, ada keakraban atau semacam kehangatan yang timbul jika aku pun ‘mangalusi’ dalam bahasa Batak.
Kemudian waktu bergulir lagi. Adik lelakiku pun ‘sohot’ juga. Berbeda denganku, di tiap kesempatan ‘markombur’ atau ‘mangalusi hulahula’, dia selalu memaksakan diri menggunakan bahasa Batak. Kadang aku yang keringat dingin (mengingat sebenarnya kemampuan ‘marhata batak’nya lebih ancur dariku). Takut kalau sampai dia tidak mampu meneruskan kata-katanya dan menjadi ‘siparengkelon’. Ternyata lewat. Aku baru tahu, diam-diam Bapakku membantunya dengan cara berbisik. Secara positif, aku iri. Kenapa dulu aku tidak mencoba seperti itu. Sekarang kalau tiba-tiba mau berubah, tengsin juga.
Kembali aku berusaha berpikir positif. Katakanlah sampai jungkirbalik pun aku tak akan paham ‘mangulahon adat batak’. Tapi kalau ‘hanya’ memakai bahasa bataknya, koq kayaknya aku pasti bisa. Sudah adanya dasarnya, iya khan? Tinggal meneruskannya (koq tiba-tiba banyak kali pake –nya yah.. ). Kebetulan di gereja aku mengikuti paduan suara Ama. Uniknya, disitu aku tidak hanya ‘sapunguan’ dengan teman-teman sebayaku, namun juga dengan mertuaku, mertua adikku, dan teman-teman sebaya mereka. Dan beruntunglah aku. Selain tidak lagi terlalu terbata-bata, aku merasa bahwa mereka, para generasi tua di kumpulan koorku itu, dengan cara mereka yang ciamik, mampu melatihku dalam marhata Batak. Kebetulan aku punya mainan baru. Sebuah flashdisk yang dilengkapi voice recorder. Terkadang, dengan seijin mereka, latihan koor serta perbualan kami selama latihan kurekam. Di rumah, hasil rekaman itu aku simak. Hobi merekamku berkembang ke wilayah-wilayah lain dimana ada orang Batak ‘markombur’. Meski sebenarnya kurang etis (wong ngerumpi koq direkam), tapi cukup efektif sebagai sarana belajar. Untuk bisa mendalami kotbah-kotbah di gereja, aku punya kiat sendiri. Buka Bibel, buka Alkitab. Bandingkan ayat yang sama. O, ternyata kata ‘anu’ padanannya ‘anu ya… . Dan seterusnya. Pemikiran ekstrimnya, kalau tiap hari aku membaca sehalaman Bibel dan membandingkan dengan terjemahannya di Alkitab, gak mungkin gak ada yang nempel khan. Aku pun gak bodoh-bodoh kalinya.
Sekarang aku punya target. Mampu berbahasa batak yang ‘Batak’. Menyamai native speaker mungkin sulit. Tapi mendekatilah. Selain sebagai syarat untuk masuk ke komunitas Batak yang ‘Batak’, tentu wajar sekali kalau kita mampu bertutur sapa melalui salah satu identitas kita. Bahasa Batak. Asyik lho punya bahasa yang orang lain gak ngerti. Terlalu eksklusif? Sekali-sekali gak apa-apalah…

Horas..
Dumai, jonok ari pesta,
Harnata Simanjuntak

Catatan Seorang Pelantun


Riwayat aku berdendang dimulai ketika di usia masih sangat belia, di sekolah dasar, aku kerap diusung oleh guru untuk bernyanyi, baik di acara natal sekolahan, maupun sebagai undangan, pengisi acara di natal gereja tetangga. Aku memang mengecap pendidikan taman kanak-kanak dan sekolah dasar di yayasan yang dikelola HKBP, sehingga tak heran jika perayaan natal sekolahku selalu dilakukan dengan cukup akbar. Guru agama kami adalah seorang pensiunan pendeta yang selalu tampil necis. Tiba di sekolah dengan sepeda ‘omar bakri’nya yang mengilap, terkadang memakai jas dan.., topi koboi. Gagah sekali. Ompung Pendeta, begitu kami menyapanya, mengajarkan lagu-lagu indah, yang selalu berhasil memompakan semangat. Bagi kami waktu itu, seorang pendeta adalah tokoh panutan, jauh di atas guru, seorang pejabat surgawi. Ketika natal menjelang, kegiatan belajar agama lebih sering dilakukan di gereja, karena sekolah kami memang berada di kompleks gereja. Di situlah kami dilatih bersajak, membaca liturgi, belajar koor, ber-kanon. Beberapa orang guru akan setia mendampingi Ompung Pendeta.

Memasuki sekolah menengah, tidak ada catatan yang layak dicetak tebal dalam riwayat bersenandungku. Mungkin karena sekolah yang kumasuki, baik SMP maupun SMA, tidak mau terlalu repot menyelenggarakan kegiatan yang berkaitan dengan olah vokal. Demikian juga di luar sekolah, tidak ada kegiatan yang membuatku dapat menyalurkan hobi berdendang.

Hari-hariku di SMA adalah perayaan gelombang FM. Ya, mendengar siaran radio telah menjadi bagian terpenting di penggal hidupku waktu itu. Letak geografis kotaku, Dumai, yang berhampiran dengan negara jiran, Malaysia dan Singapura, memungkinkan pesawat radio di kamarku untuk membunyikan siaran-siaran yang berasal dari negara-negara tetangga itu, dalam FM stereo. Seisi rumah sudah maklum, bahwa radio di kamarku pantang ditekan tombol off-nya, atau diputar ke kiri tombol volume-nya. Bunyi radio itu pulalah yang menjadi penanda bahwa aku memang sedang ada di rumah, di dalam kamar. Memang dibandingkan radio swasta lokal yang seragam noraknya, siaran radio-radio negeri seberang itu jauh lebih profesional. Pas ditelinga dengan ragam khazanah musik.

Ada yang khusus memutar lagu - lagu top 40. Siaran ini ditandai dengan gaya yang ‘funky’, pas di hati kaum muda. Radio lainnya memilih menyiarkan tembang-tembang ‘easy listening’, musik sayup-sayup, minim bicara. Ada pula yang memasang badan sebagai pembunyi musik klasik, lengkap dengan nuansa opera. Lucunya, di siang hari bolong, radio yang satu ini menyiarkan lagu-lagu batak populer. Aneh khan? Dan itu disiarkan dari Singapura. Mungkin mereka menyejajarkan harmoni khas trio-trio batak dengan musik opera.

Begitulah. Dikemudian hari, bahkan hingga kini, aku sangat bersyukur telah mengikuti dorongan hati yang entah datang dari mana waktu itu, untuk mencantelkan kabel antena teve ke pesawat radio, yang memang sama-sama menggunakan gelombang FM. Aku berhasil masuk ke kazanah musik yang luas (paling tidak menurutku), dan tidak menjadi terlalu kagok dengan bahasa asing (baca inggris), karena memang semua siaran radio itu memakai bahasa pengantar Inggris dan sedikit Melayu.

Sebenarnya, di bangku SMA aku sempat berkenalan bahkan bergaul dengan teman-teman yang menyebut diri ‘anak band’. Namun, untuk menawarkan diri sebagai seorang vokalis, penampilanku masih kalah ‘ajaib’ dibanding kandidat yang lain. Aku tidak punya telinga bertindik, tidak merokok, rambut selalu potong pendek, belah samping, pakai minyak rambut. Hehehe, band mana pula yang sudi punya vokalis seperti aku. Gak ‘metal’ banget..

Meski ketika melihat penampilan mereka kerap aku harus menahan tawa, mendengar cerocosan vokalis band teman-temanku itu yang bujubune hancurnya. Melafalkan syair ‘Don’t Cry’nya Guns N Roses saja gak beres, apalagi harus ber-‘Metallica”. Memang heran juga. Bagi teman-temanku itu, bahasa Inggris setara dengan bahasa luar angkasa, yang sampai kapanpun tidak akan mampu dipelajari. Mungkin dalam benak mereka, yang penting ‘metal’. Kamipun sudah cukup terhibur waktu itu. Gak perlulah repot-repot jadi pengamat bahasa atawa musik. Enjoy aja lage..

Pertengahan tahun 1992 menjadi titik peralihan yang cukup mencolok bagiku. Menjadi seorang mahasiswa (kadang terpikir juga, apa tidak ada lagi padanan yang lebih membumi ketimbang harus menggunakan kata ‘maha’ yang menumpang ke ‘siswa’. Toh jebolannya tidak serta merta menjadi manusia ‘maha’. Segelintir beruntung dapat pekerjaan, sebagian lagi malah jadi ‘maha’ pengangguran).

Aku kost di kompleks kampusku yang baru, jauh dari perkotaan (oh ya, aku melanjutkan pendidikan di ibukota propinsi Riau, Pekanbaru, kota bertuah). Sebenarnya aku lebih memilih tinggal dengan teman-teman yang plural, layaknya pergaulanku ketika masih di bangku SMA. Namun berkat arahan seorang kerabat jauh yang juga kuliah di fakultasku, maka aku pun serumahlah saudara-saudara ‘sabangso’, Batak.

Masa ‘penghajaran’ mahasiswa baru adalah titik belok dari tualang pita suaraku. Uji minat bakat seni suara di kampus, yang dilaksanakan sebagai bagian dari kegiatan orientasi itu, menempatkan aku di posisi pertama, sang jawara. Hatiku bersorak, meletup, berbungah. Kegiatan berlanjut ke tingkat universitas. Hasilnya, jawara lagi. Sorak sorai teman-teman dan senior kala itu seakan membisikkan sesuatu. Akan bergulir hari-hari yang indah.

Mulailah rutinitas di kampus. Sering aku menerima perlakuan bak seleb, hehehe. Tak dimintai tanda tangan, tapi disenyumi, dijabat, ditepuk dari belakang, disapa walau tak kukenal, diminta bernyanyi. Maka, melantunlah aku di Malam Kesenian, Lustrum, Natal dan entah apa lagi, sudah lupa.

Waktu itu, aku memang sangat yakin dengan pita suaraku, yang bukan hanya mampu membunyikan nada nada tinggi melengking, namun juga lembut mendayu. Tak disangka, peniruanku dalam kamar terhadap suara Freddy Mercury , Axl Rose serta Robert Plant akan membuahkan sesuatu yang manis. Cara bernyanyi yang nge-blues rock itu tetap kupakai dalam melantunkan tembang-tembang natal dan kristiani. Hasilnya, tetaplah gemuruh tepuk dan sesekali ‘standing ovation’. Kerap pula, dikeremangan gedung pertunjukan yang lampunya sengaja sengaja dipadamkan, baik dengan teman-teman band seangkatanku maupun hanya berdua dengan Randolph (seorang sahabatku yang fasih memetik gitar dan meniup harmonika), kami menerima sambutan berupa tangan-tangan terjulur ke atas lengkap dengan nyala zippo digenggaman penonton. Suasana pun melanut syahdu. Lain kesempatan, dari atas panggung, seiring dengan lantunan tembang romantis yang kubunyikan, aku melihat rebahan – rebahan kepala di pundak para arjuna.

Sungguh, mikrofon telah menjadi belahan jiwaku. Meski tak pernah mendarat di bibir, namun cintaku kepadanya lebih dari sebuah kecupan. Secara alami, ketika bernyanyi, aku belajar kapan harus menjauhkannya dari bibir, meletakkan dibawah bibir, menggenggam, serta mencari saat yang tepat, meletakkan sangat rapat di bawah hidung, namun tak terkecup.

Sayang, aku tak dapat terlalu lama berasyik masyuk berdendang kesana kemari. Nilaiku kuliahku anjlok. Bagaimana tidak. Kerap, di malam hari ketika teman-temanku yang lain berkutat dengan bukunya untuk menghadapi mid semester, aku malah asyik latihan band. Begitulah, akupun kembali menekuni buku-buku, membelah -belah ikan, memelototi mikroskop, sesekali melawat kampusku di Dumai untuk mengakrabi laut, melihat zonasi bakau, bahkan menelusi kepulauan Riau dengan menaiki ‘tagboat’, untuk menggugah nurani bahari, sesuai bidang ilmuku.

Sesekali, aku masih menyalurkan hasrat berdendang, dengan memenuhi ajakan teman yang memiliki usaha ‘organ tunggal’, menjual suara di pesta-pesta pernikahan. Hasilnya, lumayanlah buat beli mie instan, makanan wajib para penuntut ilmu yang bersarang di rumah-rumah kost, seperti aku dan teman-teman kostku.

Tamat kuliah, aku tak terlalu lama menganggur, karena sebuah perusahaan tambak udang dengan baik hati datang ke kampus kami untuk merekrut pekerja. Akupun lulus. Babak baru dimulai.

Tempat kerjaku adalah sebuah wilayah di perbatasan Lampung dan Sumatera Selatan, sebuah daratan di pesisir laut dengan luasan 125 ribu hektar. Karena merupakan sebuah perluasan proyek dari perusahaan terdahulu di Propinsi Lampung (keduanya hanya dibatasi sebuah sungai), maka kami sangat jauh dari hidup layak. Air bersih bak emas. Di mess, kami bergiliran menjadi ‘joko tirto’, gelar buat seseorang yang ditugaskan sebagai penampung air hujan, yang ketika hujan turun harus rela berlari-lari dari tambak kembali ke mess untuk meletakkan selang talangan air hujan ke drum dan galon air, serta tak membiarkan air hujan luber, terbuang sia-sia.

Begitupun, aku sungguh merasa bahagia. Meski tidak pernah melakukan kebaktian di minggu pagi, karena hari minggu kami tetap bekerja. Kebaktian dialihkan menjadi minggu malam. Aku mengikuti kebaktian ala kharismatik dan pernah pula menjadi song leader. Ada keharuan yang lain memang. Berkumpul dengan saudara seiman, di tengah hutan, tak terasa penat pun hilang.
`
Hiburan kami di mess selain menonton tv adalah bersenandung. Gitar ada, keroncong pun ada. Ya, Anto, seorang temanku dari Jawa Tengah (lupa aku nama kotanya) fasih memainkan alat musik keroncong. Geli bercampur senang aku, tiap kali melihat Anto memainkan keroncongnya. Geli karena ketika itulah pertama kali aku melihat instrumen keroncong dimainkan tak jauh dari pelupuk mata. Senang, karena ternyata, keroncong juga bisa diajak nge-rock, meski tak selalu berhasil. Susah payah Anto mencoba meningkahi gitar temanku yang lain untuk mengiringi She’s Gone-nya Steelheart yang kudendangkan. Hasilnya malah bikin kami tergelak.

Kerusuhan petambak memaksa kami harus angkat kaki. Keadaan menjadi tidak kondusif untuk bekerja. Aku minta berhenti dan kembali ke Dumai. Tak lama di Dumai, adikku mengajak untuk mencoba peruntungan di Batam. Di Batam aku sungguh malu pada diri sendiri. Lepas dari hutan di Sumatera Selatan yang minim kaum hawa, mataku menjadi tak terkendali mengerjap-erjap menikmati seronoknya Batam. Ah, terkadang aku berpikir Batam bak Sodom Gomora.

Sekali waktu, aku menyertai lomba karaoke. Lagunya bebas. Akupun memilih lagu ajaibnya Air Supply, Makin’ Love Out Of Nothing At All. Kebetulan memang ada versi karaoke-nya, dari rekaman konser mereka. Penonton sebenarnya suka. Syair-nya yang bak mantra dengan nada – nada tinggi dan seharusnya memesona. Sayang, selera juri sepertinya lain. Pemenangnya adalah para pelantun lagu Broery dan semacamnya. Aku kapok syur sendiri, tak melihat selera pasar, eh juri.

Peruntunganku di Batam tak bagus. Aku kembali ke Dumai. Aku mendapat pekerjaan, giat di kepemudaan gereja (naposobulung). Aku kembali mengakrabi not-not angka yang selintas dulu, ketika latihan natal di sekolah hingga kuliah, pernah kukenal. Seiring dengan masuknya aku, terdaftar juga wajah-wajah baru di kumpulan naposobulung kami. Tak lama, tiba pula seorang Pendeta yang berbakat mengajar paduan suara. Kami digembleng, dan ia berhasil. Bahkan, ketika akhirnya aku tak lagi menjadi anggota naposobulung, kerana menikah, teman-temanku digiringnya rekaman, di Medan. Memang untuk urusan yang satu ini, sang pendeta bolehlah ditepuki. Untuk urusan lain, hasilnya gelap, kerap menerbitkan geram.

Beberapa bulan setelah menikah, aku dipinang untuk menyertai kumpulan koor pria (koor Ama). Meski dengan sedikit berdiplomasi (agar tidak kelihatan ‘hore..’-nya), aku mengiyakan. Koor ama Sada (demikian namanya), dominan anggotanya adalah lelaki paruh baya yang telah atau hampir menimang cucu. Sebagian lagi telah memiliki anak yang duduk di bangku sekolah dasar atau menengah pertama. Hanya dua orang anggota sebayaku. Tiap kesempatan latihan, ketika bercakap-cakap, aku yang suka bicara meledak-ledak terpaksa menahan selera. Apalagi, mertuaku termasuk anggota. Lambat laun, aku mulai bisa mengikuti riuh rendah cakap-cakap mereka, baik ketika latihan di rumah-rumah anggota, di parkiran sebelum kebaktian gereja, maupun kesempatan lain. Sesekali, aku di ajak bersambang di lapo tuak, sekedar bersenda, bersenandung lagu-lagu batak, dan terkekeh. Tentulah tanpa mertuaku.

Perjalanan waktu berpihak pada kumpulan koor kami. Seorang demi seorang, teman-teman di naposobulung menikah, dan dengan sigap kami menebarkan jala untuk mengajak mereka bergabung. Hasilnya, saat ini terjadi perimbangan jumlah anggota lanjut dan muda usia. Buahnya lagi, hampir semua lagu koor kami mengalami peningkatan nada dasar, untuk menyesuaikan dengan pita suara kami. Suara tiga dan empat pun dapat lebih leluasa berekspresi. Sayangnya, lantunan kami belum terlalu padu. Masih ada suara-suara yang menonjol. Tak harmoni.

Berbeda dengan paduan suara ama tetangga kami (gereja kami memiliki dua paduan suara pria) yang lebih berhasil menciptakan harmoni, meski dengan pilihan lagu yang biasa-biasa saja. Terkadang, mereka terpancing juga untuk menarik nada lebih tinggi, atau mengumandangkan lagu yang agak rumit. Namun menurutku, mereka tidak berhasil. Aku, sebagai pendengar yang duduk di seberang (bangku kumpulan koor kami dan mereka memang sedemikian rupa ditempatkan di sayap kanan dan kiri gereja) lebih menyenangi suara mereka yang empuk dengan lagu-lagu yang telah akrab ditelinga.

Pernah terentang waktu, dimana terjadi hubungan yang tak sedap diantara dua kelompok paduan suara pria di gereja kami. Boncirnya adalah soal sebelah menyebelah terhadap pendeta. Ada yang senang dengan tindak tanduk (bukan pelayanan, karena memang ia tidak melayani) pendeta, ada pula yang teramat sangat tak suka. Aku masih naposobulung waktu itu. Sekarang, keadaan mereda, meski tersisa luka. Kasihan sekali kami. Diperalat untuk kepentingan sesaat. Kulihat, beberapa pendeta memang punya moto hidup, survive, at any cost. Eh, koq jadi ngelantur ya…

Teman-temanku di kumpulan koor ama memiliki ragam cara menafkahi hidup. Pekerja kontrak, karyawan, berdagang, polisi, montir, beternak babi, buruh bongkar muat dan pensiunan. Aku pula, bekerja sebagai karyawan perusahaan yang menjajakan barang dan jasa ke perusahaan pengolah minyak milik partai, eh negara. Hasilnya, dulu lumayanlah. Sekarang sedang sepi sekali, makanya aku punya cukup waktu menyiapkan tulisan ini, hehehe.. .

Kesibukan pekerjaan terkadang ,menghalangiku untuk menghadiri latihan-latihan kumpulan koor saban sabtu malam, bahkan untuk ke gereja pun. Pelipur lara, aku mengajak teman-teman sekerja bersenandung, sambil mereka memasang baut, di atas buih – buih air laut, di atas peranca. Demikian juga ketika di atas mobil pick-up yang menarik mesin las, atau di sepanjang pipa air tawar sebelah pinggir kota, ketika usai makan nasi bungkus, kami berdendang. Tak perlu lagu yang berat-berat. Cukup dengan lagu-lagu abg sekarang, yang kalau sendirian mungkin tak akan kudendangkan, kami sudah sangat terhibur.

Ada haru tersendiri, ketika setelah cukup lama absen, tiba-tiba aku hadir di ‘parguruan’ atau latihan koor. Melihat kembali wajah-wajah karibku. Saling bertukar kabar, atau hanya sekedar bertukar ledekan. Mengikuti perkembangan terbaru, perihal gereja, atau masyarakat batak di kota kami. Karena mereka, teman-temanku itu, beberapa orang adalah penatua, sebagian pula adalah para penggiat adat, ketua marga, ketua ‘parsahutaon ‘. Kurasakan, dengan menyertai kumpulan koor ini, aku lebih mudah menyesuaikan diri dengan golongan yang lebih tua. Belajar memahami jiwa mereka, dan mencoba mengenal adat Batak dengan mendengarkan cakap-cakap mereka.

Karena waktu latihan kumpulan koor kami adalah sabtu, maka selalu ada anggota yang ketika latihan baru pulang dari pesta adat pernikahan. Di sini, di kota Dumai, pelaksanaan pesta pernikahan adat batak memang kerap hingga hari gelap menjelang malam. Hal ini, menurutku, karena pelaksanaan yang teramat bertele-tele, menebarkan ulos yang berpuluh-puluh banyaknya, berulang-lang menari/manortor, tanpa peduli perasaan pengantin, sambar-menyambar kata, yang sebenarnya tak perlu (karena sudah dibicarakan sebelumnya).

Begitupun, pesta nikah adat batak beberap kali telah memberi rezeki kepadaku. Pasalnya, melalui vocal group yang kuikuti, kami kerap diundang untuk menyumbangkan suara di helat-helat orang batak.

Vocal group itu, beranggotakan teman-temanku di kumpulan koor ama. Mereka telah terbentuk sebelum aku masuk ke kumpulan koor ama. Masuknya aku ke koor ama, bersamaan dengan mundurnya beberapa personil vocal group itu. Mereka pun meminang aku untuk bergabung (seingatku, memang belum pernah aku menawarkan diri untuk menyertai suatu kumpulan band atau paduan suara, selalunya dipinang, hehehe…). Maka akupun merambah lagu-lagu pop Batak, yang sebelumnya tidak terlalu kupahami. Aku diminta untuk mengisi posisi suara tiga, yah, bagian lengking-melengkinglah. Kadang bahkan mengisi suara lima, lebih lengking lagi. Sebenarnya, karena dari dulu sering tampil solo, aku tidak terlalu paham kombinasi suara gaya batak. Syukur, teman-temanku mau memberi arahan sehingga hasilnya nyaman di kuping.

Kami bernyanyi di helat-helat Batak, juga hingga ke hotel sebagai pemanis sebuah talkshow. Sesuatu yang tak kuduga sebelumnya. Dulu aku berpikir, tak akan ada lagi masa-masa seperti ketika aku kuliah. Ternyata, meski serunya berbeda, aku kembali ditabik kiri kanan karena olah pita suara.

Puncaknya adalah ketika kami tampil sepanggung dengan seorang penyanyi senior dari ibukota yang dulu suaranya sangat kukagumi, di sebuah natal Oikumene. Kami ditempatkan sebagai hiburan pembuka, menunggu sang bintang. Hasilnya, bagi kami sungguh memuaskan. Tiga lagu kami lantunkan, dan ketiganya memaksa hadirin untuk berdiri, bertepuk, bersorak. Mereka seakan tak peduli, meski goyangan kami hanyalah kiri-kanan kiri kanan dan tangan menyiku di depan dada, khas trio Batak. Harmoni suara yang kami hasilkanlah yang membuat hadirin, peserta natal itu, menggeleng takjub. Sang artis ibukota itu sendiri, mungkin karena telah didera usia, tak lagi memukau. Nada-nada tinggi lebih disamarkannya dengan falseto. Aku agak kecewa. Karena sebenarnya aku sangat mengharapkan sebuah penampilan prima dari sang artis yang dulu pernah aku idolakan itu.

Riwayat vocal group kami tak panjang. Perbedaan pendapat memaksa kami membubarkan diri. Namun begitu, di kumpulan koor ama kami tetap giat sebagai anggota. Beberapa kali kumpulan koor kami berlatih di rumahku. Anak istriku selalu menjadi mendengar setia. Bahkan, putriku yang suka berceloteh itu telah menghapalkan beberapa baris syair koor kami. Di suatu, ketika aku rebahan di depan pesawat tv, putriku yang sedang asyik bermain tiba-tba saja bersenadung, “Ale tondingku dohot ma ho…” aku terkejut. Baris itu khan kepunyaanku, sebagi solis di sebuah nomor koor kami. Serta merta aku menciuminya dan tertawa. Di kemudian hari, baris-baris syair koor yang lain begitu saja keluar dari mulutnya. Mungkin hasil dari dengar-dengar ketika kami latihan di rumah, atau ketika aku bersenandung sendiri di kamar mandi. Mungkin juga ketika kami bernyanyi di gereja.

Baru-baru ini, aku membaca sebuah tulisan. Isinya bahwa kumpulan koor di gereja atau penyanyi rohani lainnya diibaratkan bak pengamen pujian. Serasa ujung-ujung jari tanganku terbentang lalu menguncup untuk kemudian ditepuk dengan penggaris panjang. Begitulah dulu, ketika aku dan teman-temanku di sekolah dasar menerima hukuman dari guru, karena bermain bola di di jam pelajaran. Rasa bersalahnya mirip.

dari mana datangnya lintah ?


Dari mana datangnya lintah ?



Entahlah.
Sudah sejak lama merubung,
menetek ke sebentang tubuh kita.

Pendekar – pendekar itu berujar,
akan direndamlah durjana penghisap,
ke dalam cecair tembakau…
agar meliuk patah – patah,
kelojot.

Namun, ujar mereka lagi,
lintahnya khan sudah tua,
nazak …,
bangkot.
Tak usahlah direndam lagi.

…………………..

Dari mana pula datangnya cinta…

Ah, kau ini.
jika memang hadirlah ia,
takkan hatiku masih kusam.
Kita pula,
saban ketika berlaga tekak,
hadir – tidak, hadir – tidak,
bagir.

Oh ja,
baru kuingat,
bukankah dahulu cinta lesap,
sempena hadirnya lintah itu?

Maka,
membentanglah lumpur…
nun hingga ke tambak, sawah, tol...
membiaklah engkau lintah,
seruputlah darah kami,
hingga muntah.

Puih!
…………………………………

Ehm. Cuplikan buku rapor anak bukde Pertiwi, sabtu lalu.

Selasa, Juni 26, 2007

Torop ni naro




Sejatinya, Togap adalah penikmat setia kebaktian minggu pagi berbahasa
Indonesia. Sayang, karena harus ikut gotong royong se-RT yang usai
hampir jam sepuluhan, terpaksalah Togap mengikuti kebaktian siang
berbahasa Batak. Ia pun mandi seadanya, pakai baju sekenanya, dan...,
berlari ke gereja. Sayup-sayup terdengar lonceng gereja sudah dibunyikan.

Berusaha mengatur nafas yang masih ngos-ngosan, Togap pun terpaksa
duduk di bangku belakang. Ada enaknya duduk di barisan bangku yang
tanpa sandaran itu. Dijamin gak bakalan ngantuk. Soalnya, khan gak
bisa mangunsande.

Tibalah giliran tingting dibacakan. Telinga Togap pun agak
tinggil-lah. Ingin ia dengar jumlah jemaat yang mengikuti
partangiangan di tiap wijk. Seramai yang dirumahnya kah? Kamis lalu di
rumah Togap tentulah ramai. Naposobulung ada, pendeta hadir, tetangga
kanan kiri pun turut serta. Mamak Togap adalah penggiat partangiangan
na utusan. Paling ringgas lah pokoknya. Bapak Togap pun, sejak jadi
calon sintua, makin ringan langkah kakinya menjejaki inganan
partangiangan. Di masyarakat yang masih erat memegang budaya balas
budi, tentulah banyak yang tak enak hati jika tak datang partangiangan
ke rumah Togap.

Namun bagaimana dengan jumlah jemaat yang hadir di kelompak lainnya.
Ah, sungguh mengenaskan. Koq bisa ya, ama yang hadir cuma empat orang,
sudah termasuk tuan rumah dan sintua. Bikin miris hati. Pelan-pelan
Togap mengitarkan matanya ke bangku-bangku gereja. Wah, ternyata
hampir sepuluh baris bangku di depan kosong. Penghuninya,
naposobulung, mengikuti kebaktian pagi. Entah karena malas atau
mungkin segan, tidak ada pula dorongan hati jemaat untuk mengisi
bangku – bangku kosong itu. Pikir Togap, mungkin sintua pun merasa
ruas-nya sudah dewasa, jadi tidak perlu diatur tempat duduknya. Hm..,
sepele memang. Namun sungguh tak elok dipandang. Togap jadi ingat
kemarin sore ketika bermain bola. Togap jadi bek, Rudi kiper. Karena
saling tunggu dalam menghadang bola, gawang mereka kebobolan

LANGGATAN


Hari ahad itu, Togap memang berjanji akan menemani Pendeta Togu
melayani ke sesama gereja pagaran di resort mereka. Letaknya nun di
pinggir kota. Biasalah, jika sebuah huria belum memiliki pelayan penuh
waktu, maka akan bergantian dikirim dari resort untuk melayani disana,
walau hanya sekali sebulan. Kali ini giliran Pendeta Togu.

"Gak ada lagi yang tinggal Amang?"
"Nga lengkap be sude. Pangolu ma kareta i."
"Suri Amang? Suri?"
Dan Pendeta Togu menarik sesuatu dari saku belakang celananya. Togap
tersenyum.
"Bukan apa-apa Amang. Perjalanan kita jauh. Rusak nanti sigatan rambut
Amang itu. Hehehe.."
Mereka pun berlalu.

***

Perjalanan itu sekitar duapuluh menit. Ah, sampai juga akhirnya. Ini
kunjungan Pendeta Togu kali kedua ke gereja ini. Sebelumnya, beberapa
bulan yang lalu, ketika di sini diadakan pesta pembangunan. Ia membawa
punguan Ama dari hurianya. Kini, hasil pesta telah tampak. Bak
benteng, di sekeliling gereja kecil berukuran delapan kali dua belas
meter persegi itu telah tumbuh pondasi. Namun begitu, suasana gereja
kecil yang terlihat teduh lebih memikat hati. Paling tidak Togap dan
Pendeta Togu sepakat akan hal itu. Gereja masih lengang. Terlihat
beberapa sisa bungkus permen berceceran di lantai. Pastilah kerjaan
anak sekolah minggu.

Togap terlalu asyik memindai tiap sudut gereja yang berlantai tanah
itu. Tepatnya berlantai pecahan batu yang kemudian di lapis tanah.
Togap menebak, pecahan batu itu didapat dari salah satu gereja di
resort mereka yang tengah di pugar. Ah, perihal bangun membangun
gereja, HKBP memang jagonya. Ketika kemudian matanya berhenti di
langgatan, cukup terkejut juga Togap. Di atas mimbar telah berdiri
Pendeta Togu dengan gerakan agak aneh. Ia seperti menekan-nekan
tubuhnya ke bawah, hampir seperti melompat-lompat, namun dengan arah
ke bawah. Togap mendekat, namun Pendeta Togu telah lebih dulu turun.

"Dang pos rohangku marjamita di sada-sada gareja molo so naek dope ahu
tu langgatanna." Demikian ujar Pendeta Togu.

"Ah, amang ini ada-ada saja.", Togap menjawab, tapi Pendeta Togu sudah
berlalu. Kali ini ia memilih duduk ke baris paling belakang gereja.

"Hoi.., nimmu jo sian jolo i Gap.", minta Pendeta Togu.

"Hoi..!", Togap pun berseru. Pendeta Togu mengangguk-angguk. Mungkin
ia tak terlalu yakin dengan kejernihan pengeras suara di gereja itu,
sehingga berniat tak menggunakan mikrofon. Pengalaman beberapa kali
berkotbah dengan pengeras suara yang kebanyakan echo nya, membuat
Pendeta Togu lebih waspada.

Tak lama, satu persatu jemaat pun datanglah. Pendeta Togu menyapa di
pintu gereja. Memberi jabatan tangan paling hangat, sesekali
rangkulan. Ada pula yang menyempatkan diri berbisik ke telinga Pendeta
Togu. Ah, paling-paling ngajak makan kerumahnya, batin Togap yang
mengawasi dari jauh. Togap memang punya kesibukan sendiri.
Bercengkerama dengan jemaat remaja, khususnya putri. Sesekali terlihat
mereka tersipu, kali lain pula cekikikan.

Bertemu kerabat rohani, apalagi yang sangat terpisah jarak selalu
menjadi pengalaman haru dan indah. Maka ketika suara Pendeta Togu
marsaringar dari langgatan membunyikan pesan-pesan langit, banyaklah
anggukan kepala. Bagi jemaat yang rindu disapa ini, kesempatan
dilayani pendeta tak selalu datang tiap hari atau minggu. Maka jika
saat itu tiba, tak boleh digantikan dengan saling berbisik, manggoit,
apalagi mondohondok. Ah, kalaulah semua pemakai jubah itu tahu betapa
berartinya mereka.

Dumai, 29 juli 2006.