Sabtu, September 15, 2007

AHAD oleh Hasan Junus

(dimuat di riau pos edisi ahad 27 Mei 2007)


Dalam rubrik ‘’Konsultasi’’ KOMPAS Minggu 8 Mei 1994 seorang ibu di Cirebon mengkhawatirkan perkembangan jiwa anaknya. Suatu Ahad dia dibawa sang ayah pesiar di pantai, pulangnya si anak bercerita kepada ibunya bahwa dia melihat ikan-ikan terbang, dan orang-orang pun terbang di atas laut. Pernah si anak bercerita seorang teman mau makan dia, dan teman lain hanya sepedanya pergi ke sekolah. Leila Ch Budiman yang memimpin rubrik itu mengatakan bahwa penyebab utama ialah si anak belum dapat membedakan mana yang fantasi, mana mimpi dan mana pula yang kongkrit. Dunianya masih campur baur. Bukankah si kecil ada kalanya menangis ketika bangun tidur, karena mainan dalam mimpinya tiba-tiba hilang. Dia mungkin pernah melihat lukisan Marc Chagall, bukan saja ikan terbang tapi bahkan main biola. Dengan mengembangkan imajinasi dan kreativitas anak ini mungkin jadi pengarang bagus, tidak hanya di hari Ahad.


JOSEPH BRODSKY, penyair dan Nobelis tahun 1987, tahun paling keras pada puncak titik didih dalam Perang Dingin antara blok Sovyet dan blok Amerika Serikat. Ia dimusuhi oleh pemerintahnya, dipersalahkan bahkan karena ia tak sempat berpendidikan tinggi sehingga dianggap benalu masyarakat. Ia lahir di Leningrad (artinya: kota Lenin) tahun 1940, mendapat suaka politik di Amerika Serikat dan meninggal-dunia di situ tahun 1996. Dalam bukunya Less Than One ia menekankan bahwa banyak sekali folklore dan cerita anak-anak yang sebenarnya sangatlah surealistis.

Penyair Rusia yang tragis lainnya Osip Mendelstam (1891-1938) banyak memanfaatkan dongeng, cerita pusaka dan cerita anak-anak dalam karya-karya puisinya. Demikian pula dengan penyair Inggeris Oscar Wilde (1854-1900) dan penyair Amerika Serikat Carl Sandburg (1878-1967). Carl Sandburg menghasilkan pula kisah anak-anak Rootabaga Stories yang terbit tahun 1922; karya ini memperlihatkan keakraban Carl Sandburg dengan apa yang dinamakan ‘’folk ballad’’ dan ‘’nonsense verse’’ dengan mengemukakan tokoh-tokoh seperti Hot Dog the Tiger, Gimme the Axe, White Horse Girl, Blue Wind Boy, dan Jason Squiff the Cistern Cleaner. Ini semua diikuti oleh karya lanjutan Rootabaga Pigeons (1923), Rootabaga Country (1929) dan Potato Face (1930). Kalau William Faulkner membangun kawasan imajinatifnya dengan nama Yoknapatawpha, Gabriel García Márquez dengan Macondo, dan kawasan impian Carl Sandburg yang sengaja diuntukkan buat anak-anak dinamakan Rootabaga.

Nathaniel Scarlet Letter Hawthorne (1804-1864) juga tak melupakan para pembaca usia muda. Cerita anak-anaknya terhimpun dalam A Wonder-Book for Girls and Boys (1853) yang antara lain berisi enam mitologi Yunani yang telah ditulis kembali oleh Nathaniel Hawthorne.

Jangan lupa bahwa kritikus sastra yang pertama ialah kanak-kanak. Ini dibuktikan ketika kanak-kanak itu menolak cerita yang ini tapi mau cerita itu, dengan alasan cerita yang ini tak hebat perangnya sedangkan cerita yang itu banyak dan hebat perangnya. Kritikus cilik ini tidakkah terpengaruh oleh pencerita yang kebanyakan perempuan sehingga kisahnya bergaya feminin? Timur mengenal Sheherazad yang perempuan.

‘’Dongeng,’’ kata filsuf Amerika Serikat berdarah Spanyol George Santayana @ Jorge Agustín Nicolás Ruiz de Santayana (1863-1952), ‘’yang tak lain dari tahayul jika didekati secara sinis, menjadi puisi jika didekati dengan penuh kasih.’’ Pendapat itu baik disanding dengan kata-kata pengarang Jerman Peter Härtling (lahir 1933) yang mengatakan, ‘’Märchen können vergnügen und können erschrecken wie alle Literatur’’ (Dongeng dapat menghibur dan dapat pula mengejutnya sebagaimana semua karya sastra). Dalam dongeng atau cerita-cerita fiksi imajinasi manusia boleh menguakkan ruang, mendedas maju atau mundur melompati waktu, dan karya sastra tumbuh di atas lahan seperti itu yang disemai sejak masa dini dalam diri seorang anak manusia.

Cerita dan lirik dendang saja belum cukup muatan untuk menjadi karya sastra yang unggul. Dengan dua sayap yang bernama ‘’indah’’ dan ‘’faedah’’ (terjemahan dari dulce et utile Horatius) barulah cerita dan dendang itu dapat terbang mengitari cakrawala kehidupan. Itulah sebabnya karya sastra dari awal sampai tamatnya sudah diketahui pun tetap saja dapat terus dinikmati berulang-ulang tanpa jemu. Dr Will Derks dari Universitas Leiden dalam penelitiannya di Pasir Pengarayan semasa menyusun disertasinya yang berjudul The Feast of Storytelling – On Malay Oral Tradition menceritakan bagaimana ia pada siang hari membaca sekian jilid Joseph und seiner Brüder karya novelis Nobelis Thomas Mann dan pada malam hari mendengarkan cerita Panglimo Awang baik dari Pak Ganti maupun Taslim.

Dongeng, cerita anak-anak, cerita pusaka @ cerita rakyat, kisah peri-peri dan yang surrealistis semacam itu telah memendap sejak lama dari ruang rohani manusia. Karena itulah banyak para pandai-sastra yang beranggapan karya sastra yang dihasilkan oleh penulis yang berusia muda setara dengan karya orang dewasa. Dengan kata lain sastra tidak mengenal usia, yang perlu dicatat usianya hanya badan yang tentu berguna untuk urusan pengobatan. Oleh karena itu banyak pandai-sastra yang menyambut dengan gembira karya-karya yang dihasilkan oleh para pengarang muda. Di antara mereka inilah yang kemudian tumbuh menjadi sastrawan besar yang melompati zaman seperti Arthur Rimbaud dan Minou Drouet dalam puisi, dan Laxness, Francoise Sagan, Raymond Radiguet, Carrera dalam prosa. Pada mulanya anak-anak hanya merekam bunyi dan suara. Lalu ia melihat gambar-gambar yang dipantulkan perasaan dan pikiran yang diantar oleh bunyi dan suara tadi. Gambar-gambar puitis itu berbentuk nyinyin dan fantasmagoris, realistis dan surrealistis. Semua itu dijadikan tabungan untuk ditranformasikan dengan alat yang bernama bahasa (anak-anak). Bunyi tadi bisa saja menjadi simfoni, bisa kakofoni. Gary Provost berkata, kepada para pengarang muda, seperti juga dulu pernah ditulis penyair Rainer Maria Rilke kepada seorang penyair muda kesayangannya, ‘’Tulisanmu harus menciptakan bunyi-bunyi di dalam pikiran pembaca, bunyi-bunyi yang dapat menyejukkan dan memuaskan, atau menggetarkan, membangkitkan gairah atau kegerunan. Inilah imbalan bagi gubahan simfoni, samasekali bukan kakofoni, di dalam prosamu.’’

Kerja kreatif paling awal dalam penciptaaan karya sastra ialah menciptakan makna (to create the meaning) lalu membina sesuatu yang mungkin dinamakan sebagai kesadaran pada cerita (story awareness). Telur tembakul dalam dongeng kita pastilah sesuatu yang tidak berhenti pada telur sejenis ikan di laut. Mungkin saja yang benar ialah tafsiran Freudian yang tak disukai para tradisionalis Melayu. Ibu di Cirebon tak perlu khawatir pada perkembangan anaknya. Bisa-bisa anak ibu bisa menjadi seorang pengarang yang tak kepalang tanggung cemerlangnya

Tidak ada komentar: