Jumat, September 14, 2007

ERENDIRA oleh Hasan Junus

(dimuat di Riau Pos Edisi Ahad, 11 MAret 2007)

Eréndira tak menghiraukan lelaki itu. Dia mendedas berlari ke arah angin, lebih laju dari rusa, dan tak suatu suarapun di dunia ini dapat menghentikannya. Tanpa menoleh dia mencapai ke batas tempat sains alam kelautan berakhir dan gurun pun bermula, namun dia terus berlari dalam hujan panas jarum-jarum emas matahari terbenam yang tak pernah terbenam dan tiada terdengar lagi suara malapetaka yang menandai kehidupannya.

DEMIKIANLAH cerita ‘’Eréndira Tak Berdosa dengan Nenek Tak Berhati’’ karya Gabriel García Márquez ditutup. Dengan penutup seperti itu berarti si perempuan malang bernama Eréndira itupun terbebaskan. Si nenek berhasil mempertahankan status quo dengan hidupnya yang nyaman dan harmonis dengan mendapat penghasilan tetap. Caranya ialah dengan menjadikan Eréndira seorang pelacur untuk dapat mengganti rumahnya yang terbakar karena kesalahan cucunya itu. Agar impas maka lamanya Eréndira harus menjadi pelacur itu tak tanggung-tanggung yaitu 8 tahun 7 bulan dan 11 hari lamanya. Setelah itu Eréndira pun bebas. Bebas?

Pengarang dari Republik Kolombia Gabriel García Márquez berasal dari seorang wartawan. Artinya bagi orang ini segala aktualitas dunia sudah biasa tercerna di dalam pikirannya. Ketika ia kemudian memilih menjadi sastrawan sampai berhasil meraih Hadiah Nobel bidang kesusastraan tahun 1982 ia sudah terbiasa dengan segala aktualitas dunia yang sekarang juga harus dicernakannya juga dengan hati bukan dengan pikiran saja. Dengan hati dan pikiranlah ia menemukan aliran seni realisme magis yang menjadi tiara karya-karyanya. Pilihannya terhadap aliran itu merupakan pilihan individual dan sekaligus kolektif. Sebab sebelum ia menyentuh aliran itu dalam karya-karyanya sudah banyak sastrawan Amerika Latin yang memanfaatkannya. Akan tetapi baru di tangan García Márquezlah aliran itu dapat mencapai sosok yang sempurna.

Kisah dibuka ketika berhembusnya angin malapetaka yang barangkali berasal dari neraka. Waktu itu Erendira berusia 14 tahun. Dia sedang memandikan neneknya yang tersergam besar seperti ikan paus yang tampan di dalam bak mandi.

Márquez selalu berkisah tentang Macondo atau tempat semacam itu yakni suatu kawasan yang sangat tenteram dan amat harmonis sebagaimana yang selalu dilukiskan oleh para seniman tradisionalis. Mereka menginginkan tempat damai itu tak tersentuh oleh waktu yang bergerak terbang. ‘’Tegakkan tugu atau prasasti dan pahatkan angka tahun kini yang abadi,’’ begitu kira-kira sang pemimpin berkata. Gerakan sang waktu dan bergeraknya sang waktu berarti terjadinya disharmoni dan kekacauan. Kamus harus berhenti ditambah dengan kata-kata baru, tak boleh muncul kata-kata yang membuat sebuah kamus masih bergerak. Setelah waktu dan kamus benar-benar berhenti barulah penduduk Macondo atau apapun namanya merasa hidup mereka tenteram. Bukanlah tenteram dan harmonis ialah cita-cita atau dambaan tertinggi kaum tradisionalis?

Bagi mereka konflik tak boleh ada. Padahal tanpa konflik jangankan sejarah, cerita saja tak jalan. Jangan sekali-kali berbicara dengan mereka tentang dialektika dan dinamisme. ‘’Syaksyikanlah bahwa itu syemua hanya omong kosyong!’’ Bagi mereka barangkali tak pernah ada bunyi atau huruf s yang semuanya mereka ganti dengan sy supaya berbeda dengan kita dan semua orang. Mereka memakai pakaian model warisan nenek moyang pada setiap hari kerja sehingga sulit sekali bagi orang miskin yang tak punya mobil tapi cuma punya sepeda. Mereka lupa bahwa setiap masa mempunyai ciri yang tak pernah sama dengan masa lain. Karena itu kita yang hidup di sini dan kini tak usah dan tak perlu mengikuti atau meniru nenek moyang kita yang hidup di situ dan dulu. Bahkan kelak anak cucu kita mempunyai kehidupan sendiri yang berbeda dengan kita.

Eréndira menjalani hidup sebagai pelacur untuk memenuhi kehendak si nenek agar rumahnya yang terbakar, hartanya yang lesap, dapat kembali lagi. Dan dia menjalani pekerjaannya itu sambil berdendang dan berpikir bahwa dia hidup di sini dan kini, bukan di situ dan dulu dan di sana dan lusa. Apa yang dipikirnya itulah yang disenandungkannya dengan semangat tinggi.

Dari kawasan Riohacha para saudagar berdatangan membawa bermacam ensiklopedia dan bermacam buku-buku pengobatan untuk dijual. Agar tidak menjadi keledai yang membawa buku-buku, orang-orang berupaya membaca buku-buku yang menjadi beban si keledai setiap hari. Eréndira menyaksikan Rafael Escalona bercerita tentang kisah anak manusia sampai ketika badai yang dahsyat menurunkan tabir kehidupan orang. Suatu hari tak ada Rafael Escalona, tak terdengar suara dendang melantunkan cerita dari rumahnya. Tak ada lagi balada-balada disenandungkan dari atas kudanya yang mungkin bernama Rosinante keturunan sah dari kuda Don Quijite de la Mancha. Seorang perempuan tua yang alim, seorang gadis centil keletah, seorang lelaki tua tukang besi datang dan berbisik ke telinga Eréndira dengan takut-takut mengatakan bahwa Rafael Escalona telah mati. Namun cerita-ceritanya masih dikisahkan orang-orang lain. Memang sedikit berbeda dengan kisah yang disenandungkan Rafael. Tidak mengapa! Begitulah hidup. Begitulah tukang cerita. Begitu pula tukang dendang yang senantiasa mendatangkan keriangan dalam hidup ini. Sepilu apakah kisah yang didendangkan tetaplah itu membawa riang dan bahagia.

Suami si nenek, Amadís, ialah seorang penyeludup legendaris. Mereka punya anak lelaki yang dinamakan Amadís, ayah Eréndira. Kedua Amadís itu mati, yang seorang karena demam melankoli, yang satu lagi dihantam peluru karena memperebutkan perempuan. Amadís yang mana kena demam dan mana kena peluru tak seorangpun yang tahu. Lalu si nenek menguburkan kedua Amadís itu di halaman rumahnya agar setiap memandang kubur mereka dia terus terkenang kepada suami dan anaknya.

Tanpa kebencian berapi-api Eréndira bersiap untuk menyingkirkan neneknya dari kehidupan ini. Mengapa? Karena orang harus hidup dan meneruskan kehidupan dengan cara yang baru. Bukan dengan memakai tata tertib lama seperti yang diamalkan si nenek tapi dengan tata tertib baru yang hendak diamalkan oleh Eréndira dengan mata terbelalak dan suara lepas bersipongang di dinding lembah. Kehidupan masa kini yang akan dijalankannya tidak lagi mengenal keadaan sentimen tragis kehidupan, tidak lagi dengan lagu riang menyenangkan dan menggirangkan hati. Juga tiada lagi sisi hodoh atau buruknya manusia. Tiada pula sisi tak berdosanya makhluk manusia. Tidak juga cinta berpesona dapat menundukkan kekuatan jahat. Semua itu sudah tak ada lagi. Sudah hangus jadi debu, terlupakan dan tiada lagi dapat serap dalam ingatan.

Jadi rupa dan sosok hidup yang bagaimana yang datang sekarang? Eréndira ialah manusia masa kini. Dia hidup di sini. Karena itu sosok dan rupa hidup yang akan dijalaninya tak sama dengan punya si nenek. ‘’Mari berhidup!’’ ajaknya

Tidak ada komentar: