Senin, September 17, 2007

”Si Muka Selamba’’ Macedo oleh Hasan Junus

(dimuat di riau pos edisiahad 16 September 2007)

Setelah kehidupan Jorge Barbosa sebagai pelopor perpuisian di Cape-Verde dan Oswaldo Alcântara sebagai perintis seni novel berakhir, sejarah kesusastraan di negeri berpenduduk 400 000 jiwa itu diperkenalkan pula dengan karya teater dengan pemula bernama Donaldo Pereira Macedo. Ia lahir di Cape-Verde tahun 1950 dan pada usia sepuluh tahun mengikuti orang-tuanya pindah ke Amerika Serikat. Karya-karya pentas ciptaan Macedo yang diperkenalkan kepada masyarakat Boston menarik perhatian orang-orang di luar Cape-Verde terhadap karya-karya seni yang dihasilkan di negeri itu. Walau bagaimanpun karya-karya sastra dan pentas Cape-Verde terutama mulai dikenal karena tiga nama para perintis: Jorge Barbosa, Oswaldo Alcântara dan Donaldo Pereira Macedo.

BAHASA Kreol di negeri itu yang disebut juga sebagai bahasa Portugis bebas tanpa batas dan mulai mendapat tempat yang bermartabat di Cape-Verde apabila bahasa itu dipakai dalam medium kesusastraan. Sesudah terpakai dalam puisi Barbosa dan novel Oswaldo Alcântara lalu bahasa itu benar-benar secara bebas dipergunakan dalam karya-karya teater oleh Macedo. Karya Donaldo Pereira Macedo yang paling luas dikenal diterbitkan buat pertama kali tahun 1979 berjudul Descarado (‘’Muka Selamba’’). Karena itulah di kalangan intelektual Afrika baik yang berbahasa Portugis atau bahasa lainnya teaterawan ini dikenal juga sebagai Donaldo Pereira Descarado Macedo atau Donaldo Pereira Si Muka Selamba Macedo. Dalam bahasa Melayu ‘’muka selamba’’ dikatakan pada muka atau wajah orang yang pada lahirnya terlihat biasa-biasa saja sedangkan sebenarnya dalam dirinya telah terjadi sesuatu. Keadaan jiwa seperti inilah yang digambarkan teaterawan Macedo dalam karya paling terkenalnya Descarado.

Dengan kemerdekaan politis Cape-Verde dari kolonialisme Portugis pada tahun 1975 maka selain dari bahasa Portugis yang di-kreol-kan [baca: dibebaskan] penduduk negeri pulau-pulau dekat pantai Senegal itupun tidak lagi mengakui sangkut-kaitnya dengan negara induk yang nun jauh di Semenanjung Iberia sana. Pada tahun 1977 negeri pulau-pulau berserakan itu mempunyai sebuah jurnal kesusastraan dan kebudayaan bernama Raizes (‘’Akar’’) tempat para intelektual di negeri itu saling beradu argumentasi merumuskan suatu gerakan kebudayaan yang samasekali tak dikenal sebelumnya yang berarti siap berseberangan dengan karya-karya tradisionalis. Dari panggung-panggung teater di Boston dan kota-kota di Amerika Serikat lainnya Si Muka Selamba Macebo meneriakkan suara dan gema kemerdekaan yang mutlak, termasuk juga kemerdekaan dari belenggu tradisi sejak dari zaman dulu penuh kebohongan yang bagi ketiga pelopor dan perintis kesusastraan Cape-Verde itu dapat berarti ketololan yang sudah sejak lama ditanam pada masa lampau

Sastrawan lainnya setelah triumvirat pelopor itu ialah Manuel Lopes yang lahir sama tahunnya dengan Alcântara yaitu tahun 1907. Mula-mula ia dikenal sebagai penyair, tapi kemudian lebih-lebih novel-novel memasyhurkan namanya, karena pada tahun 1956 ia menerbitkan Chuva braba (‘’Hujan Ganas’’) dan pada tahun 1960 terbit pula novelnya Os flagelados do vento (‘’Sang Mangsa Angin Timur’’). Tenaga novel-novel Manuel Lopez dapat dirasakan sebagaimana para pelaut Cape-Verde merasakan angin pada layar yang terbentang di Teluk Senegal menuju ke pulau-pulau yang nembentuk Cape-Verde. Jangan heran kalau ada orang yang mengatakan bahwa bahasa Kreol di negeri itu ialah angin bebas yang membuat kelajuan perahu bertambah.
Amílcar Cabral (1924-1973) mencetuskan gerakan kesenian yang sejalan dengan gerakan politis, karena ia mengetuai Partai Bangsa Afrika Demi Kemerdekan Guinea dan Cape-Verde yang pada mulanya merupakan suatu kesatuan itu. Cabral berkhotbah tentang suatu kesusastraan yang samasekali baru dengan mengibarkan panji-panji keunikan Kreol dan cap khas Cape-Verde. Ia disukai dan mempunyai banyak pengikut di kalangan anak-anak muda yang sibuk berkarya mengisi kemerdekaan negerinya. Nama-nama yang tercatat sebagai pengikut Cabral antara lain Ovídio Martin (lahir 1928) yang terkenal dengan kumpulan sajak Anti-Evasão yang membabit masalah sosial, ekonomi dan politik. Nama Ovídio Martin senantiasa diikuti oleh dua nama penyair militant masing-masing Gabriel Mariano (lahir 1928) dan Onésimo Silveira (lahir 1937). Semua ini berlangsung dengan langkah kesusastraan yang tegap dan bersemarak sampai ke tercetusnya kemerdekaan pada tanggal 5 Juli 1975. Para sastrawan Cape-Verde banyak sekali yang bertemperasan tinggal mencari kehidupan di Eropa dan Amerika (Utara dan Selatan; dan untuk Amerika Selatan terutama di Brasil yang berbahasa Portugis). Seorang penyair kelahiran Cape-Verde yang melanglang ke sekotah benua seperti Oswaldo Osório (lahir 1937) terus mendendangkan pulau-pulau yang membentuk Cape-Verde sepanjang hayat di manapun ia berada. Tokoh ini dikuti oleh orang-orang seperti Arménio Vieira (lahir 1941), Tacalhe (nama-pena Alírio Silva (lahir 1943), dan Kaoberdiano Dambara (nama-pena Felisberto Vieira Lopes, lahir 1936). Dasawarsa antar tahun 1970 dan 1980 kesusastraan Cape-Verde mengalami stagnasi, bahkan ada kritikus yang bahkan menyebut masa itu sebagai periode krisis kebudayaan. Hal ini terutama disebabkan menggebu-gebunya penciptaan karya-karya sastra yang terdiri dari puisi, novel dan cerita-pentas pada masa sebelumnya. Namun pada masa ini beberapa orang berkiprah seperti Kwame Kondé (nama-pena Fransisco Fragoso, lahir 1940), João Varela (lahir 1937 dan memakai nama-pena Timóteo Tio Tiofe) dan Corsino Fortes (lahir 1933).

Periode krisis kebudayaan atau masa kebuntuan atau stagnasi kebudayaan ini juga menghasilkan seorang Henrique Teixeira de Sousa (lahir 1926) yang pada tahun 1978 menerbitkan saga dalam sosok novel berjudul Ilhéu de Contenda yang begitu kuat sehingga dapat membangkitkan hasrat terpendam para generasi muda untuk mengisahkan kembali sejarah negeri yang bernama Cape-Verde. Untuk orang Melayu bagian Cape-Verde dari keluasan kesusastraan Portugis (yang murni maupun yang Kreol) mungkin saja membangkitkan ingatan kolektif terhadap tokoh Awang @ Panglima Awang @ Henrique yang telah mencatat kepiawaian navigasi Melayu di tengah-tengah para pakar Portugis di Semenanjung Iberia.

Biarkan sajalah para kritikus berceloteh menyebutkan dan menggambarkan suatu masa di Cape-Verde sebagai periode yang suram, akan tetapi selagi bahasa Kreol di situ dianggap bahasa Portugis yang bebas dan karya-karya sastra tetap hadir maka semua celoteh itu bahkan bisa dijadikan inspirator oleh para sastrawan. Apa arti Si Muka Selamba Macedo bagi Riau? Baru beberapa hari setelah memiliki sebuah gedung teater di Pekanbaru triumvirat Zuarman Ahmad dan Al Azhar serta Marhalim Zaini sudah menggebrak dengan karya mereka berjudul Tun Teja. Lalu beri mereka ruang dan luang yang lebih leluasa. Itu saja!

Tidak ada komentar: