Jumat, September 14, 2007

Bonsoir tristesse! oleh Hasan Junus

(Dimuat di Riau Pos Edisi Ahad 8 Maret 2007 )

Suatu pagi beberapa hari yang lalu, Bung Sudjatie, pengelola Pusat Dokumentasi dan Perpustakaan Riau Pos melambai ketika lewat di depan pintu Sagang. ‘’Ada Label France, pak. Sudah lama tak datang. Menumpuk!’’ Dengan riang saya menjemput ke sebelah (perpustakaan itu bersebelahan dengan Sagang). Dalam Label France No 57 1st rubrik Literature ada semacam obituari atas meninggalnya pengarang Perancis Françoise Sagan. Karena itu tak salah kalau ada orang yang menyambut kabar duka itu dengan berseru, ‘’Bonsoir tristesse!’’ artinya ‘’Selamat malam dukacita!’’ Mengapa begitu? Sebabnya ialah roman sulung karya Françoise Sagan yang terbit ketika pengarangnya baru berusia 19 tahun diberi judul oleh pengarang yang baru saja dewasa itu ‘’Bonjour tristesse!’’ yaitu ‘’Selamat pagi dukacita!’’



FRANÇOISE Sagan meninggal-dunia pada 24 September 2004 pada usia 69 tahun. Pada tahun 1954 karya sulungnya mengejutkan Paris, Eropa, dan dunia yang membaca sekaligus memecut nama pengarangnya ke cakrawala kesusastraan. Ensiklopedia Sastra Dunia yang saya miliki semuanya bertahun di bawah 2004 sehingga tak mendapat berita tentang kematian Françoise Sagan.

Dia dilahirkan di Cajarc, kawasan Lot, barat-daya Perancis 21 Juni 1935 sebagai Françoise Quoirez. Ayahnya seorang usahawan yang pindah ke Lyon lalu ke Paris ketika Françoise baru berusia 10 tahun. Di ibukota Perancis itu Françoise Quoirez memasuki universitas dengan memilih belajar di Sorbonne. Juli 1953 dia gagal ujian kenaikan tingkat, tapi kegagalan itu menyebabkan lahirnya seorang pengarang remaja.

Musim panas ketika itu. Karena tidak lagi mengikuti kuliah, gadis itu mengucilkan diri di rumahnya sambil menyiapkan sebuah roman selama 32 hari. Dia mengetik dengan dua jari yang menari-nari lincah. Ketika roman itu akan diterbitkan pengarangnya tetap memakai nama kecilnya Françoise dan mengganti nama keluarganya Quoirez menjadi Sagan. Nama Sagan itu diambilnya dari nama Puteri Sagan dalam roman karya Marcel Proust (1871-1922) yang terkenal À la recherche du Temps perdu (‘’Mengingati Waktu yang Lalu’’). Dari tokoh dalam karya Marcel Proust nama Sagan barangkali mengandung tuah sebab segera pengarang belia itu terkenal berkat karya sulungnya yang mengucapkan selamat pagi kepada dukacita.

Françoise Sagan berteman dengan penyanyi Juliette Gréco yang sering dijuluki sebagai penyanyi eksistensialis karena kedekatannya dengan Raymond Queneau dan Jean-Paul Sartre. Juliette Greco menyanyi dari satu bar ke suatu bar, dari satu café ke suatu café di Paris yang dikenal sebagai bar dan café eksistensialis. Dengan Raymond Queneau dia punya himpunan nyanyian berjudul Si tu t’imagines, dan dengan Jean-Paul Sartre Rue des Blancs-Manteaux. Dengan demikian Juliette Greco sering dinyatakan sebagai penyanyi eksistensialis. Demikian juga halnya dengan Françoise Sagan seringkali dinyatakan bahkan ditahbiskan sebagai pengarang wanita muda yang sedikit banyak punya hubungan dengan sastrawan dan filsuf eksistensialisme.

Sebagai pengarang wanita yang juga menulis repertoir drama Françoise Sagan dikenal oleh Ariane Mnouchkine tokoh teater wanita yang mengelola Théâtre du Soleil di Paris. Kalau Ariane Mnouchkine mengenal karya-karya pentas Françoise Sagan berjudul Château de Suède (1960; ‘’Puri di Swedia’’) dan L’Excès contraire (1987; ‘’Oposisi terdahsyat’’) maka Françoise Sagan barangkali sangat mengetahui ucapan tokoh teater masakini Perancis Ariane Mnouchkine yang seringkali diulang-ulangnya yaitu (dalam terjemahan bahasa Inggeris di Label France 4th QUARTER 2005 halaman 14): ‘’I am in the present and only the present matters to me.’’ Karena itulah salah-satu panduan bagi orang yang mengamalkan filsafat eksistensialisme seringkali dinyatakan dengan ungkapan orang Itali niente domani yaitu ‘’tak ada hari esok’’ karena esok berarti hari kita diantar ke kubur. Baik diketahui bahwa langkah pertama menjadi penganut eksistensialisme ialah menyingkirkan sejauh-jauhnya amalan tradisionalisme dalam karya seni dan filsafat. Jadi dua amalan filsafat dan estetik di antara sekian banyak yang sangat keras menolak tradisionalisme ialah eksistensialisme dan futurisme.

Bagi saya dan barangkali juga bagi banyak orang yang mengenalnya Françoise Sagan bukanlah pengarang perempuan berusia 69 tahun yang sudah meninggal-dunia pada 24 September 2004 tapi seorang gadis belia berusia 19 tahun yang baru menyelesaikan karya sulungnya setelah 32 hari mengarang. Akan tetapi sejak pagi-pagi dia sudah mengucapkan selamat pagi kepada dukacita. Karyanya Bonjour tristesse secara sangat tepat melukiskan semangat zamannya yang dipenuhi oleh rasa putus-asa dan ketiadaan harapan.

Dengan kedua jari telunjuk kiri dan kanan gadis 18 tahun itu menarikan jari-jarinya di atas tuts mesin-tik, karena pada tahun 1950-an untuk mengarang orang belum memakai komputer. Karya sudah rampung namun harus menunggu sebentar dan diterbitkan setelah pengarangnya berusia 19 tahun.

Si pencerita dalam Bonjour trristesse ialah seorang gadis berusia 17 tahun. Bersama bapanya dan perempuan simpanan si bapa yang agak kasar dan kurang adab @ mal èlevè, mereka itu pergi berlibur di kawasan pantai Laut Tengah yang hangat. Kemudian datang pula mantan simpanan si bapa yang anggun dan beradab, terjadi pertentangan di antara kedua wanita. Mantan perempuan simpanan itu meninggal-dunia karena kecelakaan lalu-lintas, padahal sebenarnya dia mati karena membunuh-diri. Lalu musim-gugur pun tiba dan orang-orang akan pulang ke ibukota serta berakhirlah sebuah kisah cinta di musim-panas yang penuh dukacita, Bonjour tristesse! Selamat pagi, dukacita!

Dalam roman yang berkerangka bentuk klasik ini ada ungkapan amoralisme, rasa bosan yang teramat sangat pada kehidupan dan dunia sampai-sampai membangkitkan rasa loya mau muntah tak tertahankan, watak dan tokoh yang hidup dalam kesepian yang berbunyi nyaring, waktu merangkak lamban dicengkam dan dicengkeram oleh kebosanan dan kesunyian, dunia yang seperti apapun harus diisi dengan mendapatkan nikmat hidup, setiap orang lain harus diperalat untuk memeras kenikmatan itu, pikiran yang memperlihatkan pengaruh awal Jean-Paul Sartre dan Simone de Beauvoir, semua yang diajarkan eksistensialisme tersedia di dalam karya itu, Françoise Sagan dalam usia sebegitu muda telah menghidangkan suatu sisi relita yang sangat keras dan tak mengenal kompromi sedikitpun.

Sastrawan dan kritikus sastra Perancis termasuk François Mauriac seperti berebut tempat mengelu-elukan karya sulung Françoise Sagan itu.. Koran-koran Paris hampir semuanya memuat sorak semarak Bonjour tristesse! Karena itu kita tidaklah terlalu perlu mengucapkan Bonsoir tristesse! untuk menanggapi kematian pengarang yang bernama Françoise Sagan itu. Kematian yang bukan kematian, samasekali bukan.

Tidak ada komentar: