Jumat, September 14, 2007

JEMBATAN oleh Hasan Junus

(dimuat di Riau Pos Edisi Ahada 25 Maret 2007)

Terjemahan ialah jembatan. Penerbit Balai Poestaka di Batavia yang juga menerbitkan karya-karya terjemahan seperti membuat jembatan yang menghubungkan suatu kebudayaan dengan kebudayaan lain. Dalam rentang masa selama 82 tahun kehidupannya Nur Sutan Iskandar telah berbuat banyak kepada kesusastraan Indonesia. Ia lahir di Sungai Batang, Maninjau, Sumatera Barat pada tanggal 3 November 1893 dan meninggal-dunia di Jakarta 28 November 1975. Selain menghasilkan sederetan karya sastra dalam bentuk roman @ novel di antaranya ‘’Salah Pilih’’ (1928), Hulubalang Raja (1934), ‘’Katak Hendak Jadi Lembu’’, ‘’Neraka Dunia’’ (1937), ‘’Cinta Tanah Air’’ (1944), ‘’Cerita Tiga Ekor Kucing’’ (1954) ia juga menerjemahkan karya-karya asing, termasuk beberapa karya pengarang Perancis tersohor Alexandre Dumas (1802-1870) yang terdiri dari ‘’Tiga Panglima Perang’’, ‘’Dua Puluh Tahun Kemudian’’ dan ‘’Graaf de Monte Cristo’’. Akan tetapi ada dua orang yang menyandang nama Alexandre Dumas yaitu Alexandre Dumas sang Ayah (lahir di Villiers-Cotterêts di Aisne 24 Juli 1802 – meninggal di Puys dekat Dieppe 5 Desember 1870). Sedangkan Alexandre Dumas sang Anak (lahir di Paris 27 Juli 1824 – meninggal di Marly-le-Roi 27 November 1895).
UNTUNGLAH di samping banyak mengarang Nur Sutan Iskandar juga menyempatkan diri menerjemahkan karya-karya Alexandre Dumas yang terdiri dari ‘’Les Trois Moussquetaires’’ (karya tahun 1844) menjadi ‘’Tiga Panglima Perang’’ dan diterbitkan oleh Balai Poestaka, Batavia, 1922. Menurut pandangan filologis kerja penerjemahan itu agak cacad sedikit karena terjemahan itu dilakukannya bukan dari sumber asli dalam bahasa Perancis tapi mungkin sekali dari terjemahan bahasa Belanda. Hal ini lebih kentara pada terjemahan karya-karya Alexandre Dumas yang lain oleh Nur Sutan Iskandar yaitu kisah lanjutan dari karya pertama tersebut di atas berjudul ‘’Dua Puluh Tahun Kemudian’’ (Balai Poestaka, Batavia, 1925) yang tentulah terjemahan dari karya asli ‘’Vingt Ans après’’ (karya tahun 1845) dan ‘’Graaf de Monte Cristo’’ (Balai Poestaka, Batavia, 1929) yang tentulah terjemahan dari karya asli ‘’Le Comte de Monte Cristo’’ (karya tahun 1844-1845).

Gelar kebangsawanan Perancis ‘’le Comte’’ sederajat dengan gelar kebangsawanan Belanda ‘’Graaf’’ dan sederajat pula dengan gelar kebangsawanan Inggeris ‘’the Count’’. Hal ini menjadi jelas kalau kita bandingkan judul-judul karya Alexandre Dumas dalam sosok asli berbahasa Perancis dengan terjemahan dalam bahasa Indonesia yang asalnya dari terjemahan bahasa Belanda. Judul asli Le Comte de Monte Cristo menjadi Graaf de Monte Cristo dalam terjemahan bahasa Indonesia yang diterjemahkan dari bahasa Belanda, dan menjadi The Count of Monte Cristo dalam terjemahan bahasa Inggeris.

Daniel Bermond dari majalah sastra Perancis Lire dalam berkala Label France N° 47 July 2002 rubrik ‘’Literature’’ halaman 44-45 dengan judul ‘’Alexandre the Magnificent’’ menyatakan tentang empat panglima sastra Perancis yaitu sebagaimana dikatakannya, ‘’Seandainya Balzac ialah dunia, Stendhal inteleknya, Hugo inspirasi dan Dumas (sang Ayah) ialah tubuhnya.’’ Honore de Balzac, Stendhal, Victor Hugo dan Alexandre Dumas memang sangat tepat apabila diumpamakan sebagai empat pahlawan sastra Perancis seperti halnya tiga pengawal raja Perancis dalam Tiga Panglima Perang karya Alexandre Dumas (sang Ayah) yang terdiri dari Athos, Porthos, Aramis, dan ditambah satu anak muda pendatang baru yang berasal dari kawasan Gascogne yang bernama D’Artagnan.

Pemuda Gascogne ini begitu penting peranannya dalam Les Trois Mousquetaires sehingga meskipun judul karya Alexandre Dumas ini dalam bahasa Indonesia berarti Tiga Musketir atau Tiga Panglima Perang namun ketiganya agak redup atau malap cahaya wajahnya digagahi oleh kecemerlangan D’Artagnan.

Tiga wira cerita ditambah satu calon pengawal raja Perancis bersaing ketat dengan para pengawal Kardinal Richelieu, pejabat spiritual yang kekuasaan melingkupi duniawi yang berbau busuk. Tangan kotor kardinal itu tak berhasil mencederai permaisuri Anne d’Autriche berkat Sang 3+1 yang perkasa. Upaya jahat selanjutnya juga gagal karena 3+1 berhasil mengembalikan kalung berlian yang diberi sang permaisuri kepada kekasihnya Buckingham. Athos menjadi Comte de la Fère, Porthos menjadi Comte du Vallon, Aramis menjadi Chevalier d’Herblay, dan D’Artagnan berhasil menjadi musketir sang panglima perang.

Jembatan demi jembatan yang menghubungkan suatu kebudayaan dengan kebudayaan lain telah dibangun. Dengan menerjemahkan karya Soeman Hs Kasih Tak Terlarai ke bahasa Sunda oleh Moh Amri menjadi Teu Peugat Asih (Serie No 981, 1932) dan Percobaan Setia diterjemahkan oleh Marta Perdana menjadi Tjotjoba (No 1033, 1932) telah terentang jembatan antara kebudayaan Melayu (Riau) dengan kebudayaan Sunda. Demikian juga telah terentang jembatan yang menghubungkan kebudayaan Perancis dengan kebudayaan Melayu (Indonesia) dengan diterjemahkannya beberapa karya Alexandre Dumas (sang Ayah) ke bahasa Melayu (Indonesia) oleh Nur Sutan Iskandar.

Lebih jauh kerja Balai Poestaka di Batavia juga menggapai pada bidang menerjemahkan karya-karya dari bahasa Melayu ke berbagai bahasa daerah di Indonesia dan sebaliknya menerjemahkan karya-karya dari bahasa Melayu (Indonesia) ke bahasa-bahasa daerah. Jembatan-jembatan kebudayaan telah bersilang lintang menghubungkan suatu kebudayaan dengan kebudayaan lainnya. Peristiwa dan pekerjaan kebudayaan seperti ini hendaklah mendapat perhatian untuk dilanjutkan atau diperbaiki bagian-bagian yang kurang tepat. Nur Sutan Iskandar ialah seorang di antara penegak jembatan kebudayaan dan jembatan-jembatan lainnya harus terus diperbaiki, didirikan kembali, dibangun baru untuk mencapai harapan terdalam manusia sehingga tak ada anehnya manusia ini bagi siapa saja. Karena sudah menjadi tuntutan manusia hidup terus menerus ingin menggapai matlamat senantiasa menuju ke kesempurnaan (toujours à la perfection) maka seyogianya suatu karya terjemahan berasal dari bahasa sumber. Karena itu untuk senantiasa menggapai ke kesempurnaan karya Alexandre Dumas sang Ayah diterjemahkan dari bahasa sumber yaitu bahasa Perancis, bukan terjemahan dari terjemahan ke bahasa Belanda, Inggeris, Jerman, Arab, Jepang dan lain-lain.

Untuk mencapai matlamat yang sempurna seperti ini diperlukan adanya pertama lembaga-lembaga pendidikan berbagai bahasa asing di sini dan kini, dan diperlukan pula adanya lembaga-lembaga pendidikan menerjemah yang berkualitas tinggi dan dapat diandalkan sehingga bermanfaat dan membangkitkan rasa bangga yang tepat pada tempatnya. Beberapa tahun terakhir ini kedua hal itulah yang saya dengung-dengungkan pada berbagai kesempatan.

Tidak ada komentar: