Jumat, September 14, 2007

ATAKA oleh Hasan Junus

(dimuat di Riau Pos Edisi Ahad 13 Mei 2007 )

Beberapa orang guru yang telah bertungkus lumus dan berhempas pulas menuntun para siswa mereka memperkenalkan, berakrab dan menggauli sampai menyatukan diri dengan kesusastraan seperti yang dilakukan oleh Musa Ismail, Hafney Maulana, MT Siallagan, dan lain-lain seyogianya perlu mendapat perhatian masuyarakat sastra dan masyarakat umumnya. Setidak-tidaknya para siswa yang sudah diarahkan dan dituntun ke gelanggang kesusastraan itu dapat muncul dan lahir sebagai penyair belia atau pengarang karya-karya yang dikenal sebagaui ‘’chicklit’’ atau ‘’teenlit’’ sebagaiamana yang berlangsung di bagian negeri kita terutama di Jakarta dan di beberapa kota besar di Pulau Jawa.
NAMA lengkap Ataka ialah Ahmad Ataka Awwalul Rizqi. Anak Taufiqurrahman, pegawai sebuah lembaga swadaya masyarakat di Yogyakarta. Tinggal di Jalan Turonggo No. 27, Pakuncen, Kecamatan Wirobrajan. Umurnya 14 tahun. Siswa SMPN 5 Yogyakarta.

Ada dua sosok manusia yang mempengaruhi Ataka sampai menjadi seorang pengarang chicklit atau teenlit, karya sastra yang dikarang dan diperuntukkan bagi mereka yang belum dewasa. Pada mulanya karya chicklit atau teenlit dikarang oleh orang yang sudah dewasa, kemudian umur pada pengarang karya jenis ini menurun sampai pada setingkat SMA, dan terus menurun pada usia SMP, bahkan ada juga yang SD atau setingkat itu.

Pada usia semuda itu Ataka telah berhasil melahirkan karya berjudul Misteri Pedang Skinhead 660 halaman. Karena karya ini akan diterbitkan pengarangnya sebagai trilogy, jadi kelak kira-kira tebal karya ini menjadi 3 kali 660 halaman, maka Ataka dapat dipandang sebagai pengarang chicklit (teenlit) dan juga pengarang novel monster yang ukuran tebalnya lebih dari 1000 halaman. Tak dapat disangkal bahwa Ataka ialah orang muda pertama yang mencapai gelar seperti itu.

Ada dua tokoh yang sangat berpengaruh pada kepengarangan Ataka. Tokoh pertama ialah guru bahasa Indonesia di sekolah SMPN 5 di Yogyakarta yaitu Yosepha Niken Sasati. Tokoh kedua ialah Faiz Ahsoul, salah-seorang aktivis Akademi Kebudayaan Yogya yang adalah sebuah komunitas penulis usia muda di Yogyakarta. Ibu guru Yosepha berpengaruh karena dia mengajarkan bahasa Indonesia , sedangkan Faiz Ahsoul karena bimbingan intelektual yang diberikannya. Karena mereka pernah memancing di sebuah sungai kecil Ataka lalu melukiskan Sungai Tak Bernama dalam karyanya.

Riwayat kepengarangan Ataka tidak lengkap kalau tidak disertai dengan kisah ia meraih juara kedua Olimpiade Fisika di Semarang. Dengan uang sebesar 4 juta rupiah itu ia membeli laptop seharga 6,95 juta. Kekurangan hampir 3 juta rupiah itu dipenuhi oleh ayahnya. Maka jadilah Ataka seorang pengarang muda yang menjanjikan.

Ataka tak pernah merasakan dinginnya salju, karena ia belum pernah menjejakkan kaki di Eropa. Tapi perjalanan fisik tidak sama dengan pengembaraan rohani. Nuansa Eropa dalam karyanya ialah hasil pengembaraan rohani. Tapi Ataka juga menghasilkan karya yang berjejak di bumi atau beraroma local; dua karya yang pantas disebutkan ialah Kenangan di Bumi Rencong dan Bulan Sabit di Langit Parang Tritis.

Ataka tidak sendiri. Sederetan nama yang muda yang berkarya dapat disebutkan seperti Nabila Nurkhalisah Harris, Ali Riza, Sri Izzati, Sha Sha, Melisa dan lain-lain melengkapi taman para penulis berusia muda ini.

Dr Murti Bunanta mengkhawatirkan para penulis usia muda ini hendaklah dijaga agar pertumbuhannya tidak terganggu. Dia membandingkan dengan para pemenang lukisan Asia yang setelah dewasa langsung menghilang. Tapi pertanyaan kita di sini dan kini mengapa pengarang berusia muda kita belum lahir seperti yang sudah hadir di Yogyakarta dan ibukota? Tentulah seyogianya kita harus memikirkan kenapa sampai hari ini di daerah kita belum muncul seorang sastrawan ‘’chicklit’’ atau ‘’teenlit’’ yang meyakinkan sebagaimana dicontohkan oleh sederetan nama-nama yang tercantum di atas. Sebagai langkah-langkah awal hadirnya Ataka, Nabaila Nurkhalisah Harris, Ali Riza, Sha Sha, Melisa, dan lainnya patut benar diperkernalkan seluas-luasnya kepada para siswa yang berat berminat kepada kesusastraan di sini sebelum meningkat pada perkenalan kepada sastrawan seluruh negeri kita, lalu seterusnya berkenalan dan bergaul dengan sastrawan dari segala penjuru dunia.

Pada awalnya hendaklah terbina suatu pilihan bebas di kalangan para siswa dari sekolah apapun. Jenis fiksi yang menjadi pilihan seorang siswa mungkin saja fiksi yang bermuatan kisah kriminal atau juga dikenal dengan cerita detektif. Dalam kawasan ini kesusastraan dunia memiliki George Simenon yang cukup luas membangkitkan perhatian bahkan seorang André Gide yang adalah seorang sastrawan Perancis yang sangat terkenal lagi pula peraih Hadiah Nobel. Dalam lingkungan sastra Indonesia di Riau cerita detektif diolah oleh tak kurang oleh sang pelopor Soeman Hs. Perlu dicatat karya Soeman Hs Percobaan Setia sampai-sampai diterjemahkan ke Bahasa Sunda yang dikenal sebagai Tjotjoba. Karya bahasa Melayu / Indonesia yang diterjemahkan ke bahasa Sunda, Jawa, Madura, dan bahasa-bahasa daerah di Indonesia lainnya merupakan suatu peristiwa budaya ayang unik dan menarik. Kajian pada bisang ini terlihat belum terlalu banyak menarik perhatian. Khusus tentang diterjemahkannya beberapa karya Soeman Hs ke bahasa Sunda jejak masa lalunya dapat dicari dari dikirimnya seorang guru dari Bandung Raden Marta Atmaja untuk belajar bahasa Melayu dengan pendeta budaya Raja Ali Haji di Pulau Penyengat. Ia membawa Kitab Pengetahuan Bahasa kembali ke Bandung. Untuk mendalami hal ini Jan van der Putten dan Al Azhar telah menerbitkan surat-surat Raja Ali Haji yang juga berisi hal tersebut dalam buku Dalam Berkekalan Persahabatan Surat-surat Raja Ali Haji Kepada Von de Wall, Kepustakaan Populer Gramedia, Jakarta, 2007.

Pilihan bebas itu bisa saja pada jenis kisah-kisah yang lain misalnya cerita silat atau cerita kongfu atau karate, cerita Western atau cerita koboi, cerita hantu atau peri-peri. Dari kawasan dan gelanggang inilah kelak calon-calon pengarang itu diarahkan sampai memiliki suatu visi yang orisinal dan yang inovatif. Untuk mencapai pergaulan sastra yang total maka para guru yang berdidikasi seperti nama-nama yang telah tertera di atas seyogianya diberi semangat agar terus berbuat tanpa jemu.

Kelak apabila hadir seorang sastrawan yang cemerlang bersinar dan mengibas dan mengibarkan bau yang harum di sekitarnya maka tak dapat tiada semua itu berpunca dari upaya tuan-tuan dan berpuncak pada apa yang bernama kesusastraan. Pada mulanya dalah perhatian, dan pada akhirnya ialah karya sastra

Tidak ada komentar: