Jumat, September 14, 2007

HUJAN HITAM oleh Hasan Junus

(dimuat di Riau Pos Edisi Ahad 20 Mei 2007)

Diiringi musik khas Jepang yang menyentak-nyentak penuh kejutan di layar mula-mula muncul huruf Cina ‘’koku’’ yang dibaca oleh orang Jepang dengan tiga cara yaitu ‘’kuro’’, ‘’kuroi’’, ‘’kuromu’’, ‘’kurozumu’’ artinya ‘’hitam’’, lalu di bawahnya muncul pula huruf Cina ‘’u’’ yang dibaca oleh orang Jepang sebagai ‘’ame’’ artinya ‘’hujan’’. Film Jepang hasil produksi tahun 1989 berjudul ‘’Kuroi-ame’’ yang diterjemahkan ke bahasa Inggeris sebagai ‘’Black Rain’’ itu tentulah berarti ‘’Hujan Hitam’’ dalam bahasa Indonesia. Film itu dibuat berdasarkan sebuah novel atau roman berjudul ‘’Kuroi-ame’’ karya Ibuse Masuji, seorang pengarang Jepang yang lahir di Kamo, perfektur Hiroshima 15 Februari 1898 dan meninggal-dunia di Tokyo 10 Juli 1993. ‘’Kuroi-ame’’ ialah novel @ roman karya Ibuse Masuji yang terpanjang dan terpenting, sebuah elegi sunyi tentang jatuhnya bom atom di Hiroshima.


IBUSE menghabiskan masa kecilnya di desa sebagai anggota keluarga petani yang sederhana, bebas dan bahagia. Pada tahun 1917 ia pindah ke ibukota Jepang sambil memperdalam sastra dan lukisan. Ibuse Masuji memilih kesusastraan Perancis yang kelak juga menjadi pilihan dua peraih Hadiah Nobel bidang kesusastraan yaitu Kenzaburo Oe, orang senegerinya dengan Ibuse peraih tahun 1994, dan Gao Xingjian peraih tahun 2000 dari Cina. Persamaan Ibuse Masuji dengan Kenzaburo Oe juga pada tokoh yang sama-sama pilih yaitu John Manjiro yang dalam karya Ibuse ada dalam Jon Manjiro hyoryuki, karya yang terbit tahun 1937. Terjemahan ke bahasa Melayu karya Ibuse Masuji Hujan Hitam (Dewan Bahasa dan Pustaka Kementerian Pendidikan Malaysia, Kuala Lumpur, 1993) hasil alih-bahasa Fatimah Ahmad & Zulkifli Ahmad dari terjemahan bahasa Inggeris Black Rain saya dapatkan dari kiriman Dr Bazrul Bin Bahaman dari Universiti Malaya sebagai tanda ingat yang seringkali dilakukannya kepada saya. Kecenderungan mutakhir dalam menerjemahkan karya sastra ialah terjemahan karya sastra itu seyogianya dilakukan dari bahasa sumber yang orisinal dan bukan terjemahan dari terjemahan. Tetapi yang itupun memadai daripada samasekali tiada.

Ketika harus memilih satu di antara dua kekasih yang sama-sama dicintainya Ibuse Masuji memilih Sastra Perancis meskipun ia juga dikenal sebagai peminat berat karya-karya Tolstoy dan Chekov dalam Sastra Rusia.

Hujan Hitam ialah elegi sangat pahit tentang sebuah kota dan penduduknya. Pengarangnya memang tak mau menggambarkan tentang bencana yang menimpa kota Hiroshima tapi membuat latar cantik di kawasan Selatan negeri Jepang, adat istiadat lama penghuni kawasan itu, orang-orang yang terdiri dari pribadi-pribadi yang tak pernah tunduk kalah, segala hal tentang kehidupan sehari-hari masyarakat, semua berbeda sangat dengan keganasan yang diakibatkan jatuhnya bom atom yang menutup suatu babak penting dalam sejarah Jepang.

Di desa Kobatabe yang terletak kira-kira seratus kilometer di sebelah Timur kota Hiroshima Shigematsu Shizuma dan isterinya disangka penduduk menyembunyikan kenyataan bahwa anak-buahnya Yasuko terkena radiasi akibat bom. Sementara itu pada tanggal 6 Agustus 1945 pagi di Jembatan Temma guru-guru sebuah Sekolah Menengah di Hiroshima memimpin paduan suara murid-muridnya menyanyikan lagu yang liriknya berarti lebih-kurang kalau aku pergi ke laut mayatku akan dibungkus ombak, kalau aku ke gunung mayatkan akan diselimuti rumput, ‘’Umi yu-kaba mizu ku kabane, yama yu-kaba kusa musu kabane…’’ Lagu yang dinamakan juga nyanyian selamat tinggal terhadap dunia dan kehidupan ini sangat dikenal di kalangan orang-orang Asia Tenggara yang pernah diduduki oleh pemerintah Balatentera Dai Nippon di sekitar Perang Dunia Kedua.

Pada hari itu pada pukul 8:15 pagi sebuah bom atom dijatuhkan oleh pihak Amerika Serikat di atas kota yang molek itu. Bom berkekuatan 22 kiloton bahan peledak itu telah menghancurkan kota Hiroshima dan sekitarnya. Penduduk Hiroshima pada waktu itu lebih-kurang 420 ribu jiwa, sedangkan jumlah korban bom dahsyat itu menurut Le Petit Larousse Ilustré 1993 berjumlah 140 ribu jiwa. Konon 60% kawasan Hiroshima musnah dan punah-ranah. Lalu datang giliran Nagasaki yang merenggut korban berjumlah 70 ribu jiwa. Lalu yang tinggal dari kedua kota molek yang ditata dengan semangat seni bangun kesenimanan tinggi Jepang itu hanyalah kesedihan. Cuma sendu dan sedu sedan!

Barangkali murid-murid Sekolah Menengah yang menyanyikan lagu Umi yu-kaba di Jembatan Temma pagi-pagi sebelum jam 8 itu banyak yang langsung meninggal-dunia. Atau karena panas luarbiasa yang sampai ratusan derajat Celcius itu menyebabkan beberapa murid lenyap menghilang dan cuma meninggalkan bayang-bayang di tanah. Radiasi bahkan menyebabkan hujan yang turun siang dan petang itu menakutkan rupanya karena berwarna hitam. ‘’Hujan hitam!’’, ‘’Hujan hitam!’’, ‘’Kuroi ame!’’ teriak penduduk Hiroshima bersahut-sahutan.

Sejak itu rangkaian dukacita berjela-jela mengikuti bayang-bayang para penduduk. Banyak di antara mereka yang sudah tak ingat lagi bilakah terakhir mereka mencecap lezatnya kue mochi di lidah. Entah kapan mereka merasakan nasi pulut kepal dibungkus dalam daun bambu muda? Suatu kali mereka mendapat pembagian beras barley dengan beberapa kaleng daging yang membangkitkan selera. Tapi seperti diungkapkan oleh pengarang Ibuse Masuji, ‘’Terasa mubazir memakan sesuatu yang sangat bagus di tengah-tengah kemusnahan kota ini.’’

Gambaran ini mengingatkan saya pada suatu bagian dari Doktor Zhivago karya Boris Pasternak ketika di tengah kota Moskwa yang dikelilingi bencana kelaparan, tetapi di suatu rumah seseorang sedang menghadapi angsa panggang. Orang itu berkata, ‘’Di tengah kota yang kelaparan, angsa panggang bukanlah angsa panggang.’’ Begitu di Moskwa dalam karya Boris Pasternah, begitu pula di Hiroshima dalam karya Ibuse Masuji.

Tidak boleh ada the hegemony of meaning dalam karya sastra sehingga bencana dan malapetaka hanya boleh ada dalam sastra Rusia dan sastra Jepang, tidak dalam sastra Indonesia, lebih tidak dalam sastra Indonesia yang ditulis di Riau. Kebuluran karena perang yang ada di Moskwa dan Hiroshima juga pernah dirasakan oleh orang Riau pada masa Konfrontasi dengan Malaysia ketika kita sibuk dengan Ganyang Malaysia yang tertulis Ganjang Malaysia. Orang Riau pernah makan bulgur dan bukan beras pada suatu masa tertentu. Bencana, malapetaka atau prahara pernah dan sudah pula kita alami dalam peritiwa seperti Tsunami di Aceh dan Gempa di Yogyakarta. Semua itu pasti menggamit para seniman, dan jangan bilang engkau tak tahu pada itu semua. Satu kata untukmu, ‘’Perdulilah!

4 komentar:

Anonim mengatakan...

Terima kasih untuk blog yang menarik

Anonim mengatakan...

Aside to pass the bestial with two backs casinos? flit this sprouts [url=http://www.realcazinoz.com]casino[/url] guide and horseplay online casino games like slots, blackjack, roulette, baccarat and more at www.realcazinoz.com .
you can also void our remarkable [url=http://freecasinogames2010.webs.com]casino[/url] orientate at http://freecasinogames2010.webs.com and plunge chief toy !
another late-model [url=http://www.ttittancasino.com]casino spiele[/url] purlieus is www.ttittancasino.com , in redress german gamblers, slant upon alongside well-wishing online casino bonus.

Anonim mengatakan...

Making money on the internet is easy in the undercover world of [URL=http://www.www.blackhatmoneymaker.com]blackhat affiliate[/URL], Don’t feel silly if you don't know what blackhat is. Blackhat marketing uses little-known or not-so-known ways to build an income online.

Atasi Septictank Penuh Tanpa Sedot mengatakan...

bagus sekali info nya yang sangat bagus , menarik
terimakasih