Jumat, September 14, 2007

DERRIDA oleh Hasan Junus

(dimuat di Riau Pos Edisi Ahad 15 April 2007)

Kepakarannya sebagai seorang peroboh nyaris seorang penceroboh menyebabkan namanya riuh-rendah disebut di serata dunia selama parohan kedua kehidupannya. Namun ia sendiri sering mengulangi ungkapan sendu yang tumbuh barangkali dari kedalaman hati, katanya (dalam terjemahan bahasa Inggeris) keadaan dirinya (yang juga berarti kita) berdepan dengan kematian, ‘’All my writing is on death … If I don’t reach the place where I can be reconciled with death, then I will have failed. If I have obe goal, it is to accept death and dying.” Bacalah kalimat itu beberapa kali, Anda tentu akan mendapat kesan ia seorang peroboh yang sendu.


EMPAT tahun setelah Perang Dunia Kedua usai, tepatnya pada tahun 1949 barulah ia menjejakkan kaki di Paris untuk mempersiapkan diri belajar di ibukota Perancis itu. Sebagai orang keturunan Yahudi ia dilahirkan di El-Biar, Aljazair 15 Juli 1930 dengan nama Jacques Derrida. Pada tahun 1960 namanya terbabit sebagai salah-seorang anggota ‘’Tel Quel”, suatu himpunan yang berdedikasi di gelanggang penulisan. Tempat pendidikannya yang tepat bukanlah universitas itu dan perguruan tinggi itu tapi dia berkubang di lingkungan tempat Jean-Paul Sartre, Albert Camus, Simone de Beauvoir dan kumpulan eksistensialis berada.

Sebagai seorang pemikir terkemuka abad ini yang telah menghasilkan karya sekitar 50 buah termasuk menulis sajak yang diterbitkan sejak di Aljazair sampai Paris, namanya yang hingar bingar itu dapat ditelusuri dari luasnya publikasi dan pengaruh karya-karya Jacques Derrida. Karya dan pemikirannya telah dibahas secara ilmiah setidak-tidaknya dalam 400 paparan akademisi seluruh dunia. Untuk bidang sastra dan filsafat nama dan karya Derrida telah disitir sebanyak 14.000 kali dalam jurnal-jurnal tersohor di dunia. Di Amerika Serikat, Inggeris dan Kanada saja sekurang-kurangnya ada 500 disertasi tentang karya dan pemikiran Derrida. Abad ke-20 dan ke-21 tak dapat berlalu begitu saja tanpa membabit pemikiran Jacques Derrida.

Dulu nama Malraux pernah diplesetkan sebagai ‘’mal du hero” sehingga dapat berarti wira celaka, nama Derrida pun diperolok-olok orang. Nama itu dimaknakan secara berseloroh menjadi ‘’derrière le rideau”, sehingga Derrida derrière le rideau ialah Derrida di belakang tabir.

Dari seloroh sebagai Derrida di belakang tabir menjadi parasit hanyalah diperlukan setengah langkah saja. Selain dari penceroboh, orang di belakang tabir, ia juga dinamakan parasit. Karena kebanyakan tulisan-tulisan Derrida hanya komentar (dalam pengkajian ilmu di kalangan Islam dinamakan ‘’syarah”) kepada buah pikiran para filsuf lain misalnya Friedrich Hegel (1770-1831), Edmund Husserl (1859-1838), Martin Heidegger (1889-1976), Francis Fukuyama, dan lain-lain. Seorang profesor filsafat dari Universitas Berkeley membandingkan tiara pemikiran Derrida yaitu Dekonstruksi sebagai manifesto kelemahan intelektual; selanjutnya ia membandingkan pula dengan tokoh dongeng Hans Christian Andersen (1805-1875) tentang Kaisar telanjang yang menyangka dirinya memakai pakaian termegah yang kononnya tak terlihat oleh mata orang yang tak layak pada pekerjaannya; tapi seorang anak kecil tidak perduli dinyatakan layak atau tidak, di matanya sang kaisar itu telanjang dan keadaan itu diteriakkannya senyaring suaranya. Para pendongeng kita tidak menanam kecemburuan kreatif kepada pendongeng seperti Andersen yang kisah-kisahnya dibaca mulai dari anak-anak kecil sampai profesor ilmu filsafat atau ilmu fisika. Lihatlah bagaimana peraih Nobel bidang fisika 1979 Dr Abdus Salam mengatakan bahwa pikiran awal rumus fisika yang ia geluti didapatnya dari puisi-puisi teman senegeri asalnya yaitu Mohammad Iqbal (1876-1938).

Perobohan dan bukan sekadar pencerobohan yang paling berkesan dilakukan Derrida ialah ditujukan kepada karya Francis Fukuyama dengan karyanya The End of History and the Last Man. Dekonstruksi yang dilakukan Derrida terhadap Fuyuyama sangatlah telak karena serangan Derrida itu menyatakan bahwa bukan akhir sejarah yang sebenarnya dipaparkan oleh Fukuyama, akan tetapi akhir konsep tentang sejarah. Sementara si sejarah itu sendiri terus juga melangkahkan kaki menuju ke zaman yang menanti di depan sana. Sejarah itu ditemani suatu sosok yang lebih berurusan dengan orang per orang, dan sosok itu bernama kematian.

Bahasa merupakan suatu penemuan manusia yang mengandung keajaiban. Meskipun sudah terpisah ribuan tahun dari sumber asalnya hubungan yang tertua dengan yang akan datang meskipun mungkin terganggu dan genting namun tak pernah benar-benar putus. Dan hubungan yang menakjubkan ini terutama terletak pada kesusastraan. Gottfied Benn sampai menyatakan keunggulan sastra dibandingkan dengan kesenian lain dengan berkata, ‘’Farbe und Klänge gibt es in der Natur, Wörte nicht!” (Warna dan bunyi ada dalam alam, kata-kata tidak).Yang tak kurang pentingnya dikemukakan oleh Derrida ialah tentang makna kata-kata yang tidak kebal berhadapan dengan perubahan. Observasi linguistik yang telah dilakukan oleh Ferdinand de Saussure (1857-1913) dikembangkan seluas-luasnya oleh Derrida antara lain tercapai yaitu hubungan antara kata @ penanda dengan makna @ petanda bersifat arbiter. Segala macam plesetan dan / atau permainan kata dipakai dan digunakan benar-benar secara taktis dan strategis oleh para pengamal dekonstruksionis sehingga mereka sampai pada kesimpulan yang dipelopori oleh Derrida yaitu kata-kata tak pernah mempunyai makna yang semata-mata menetap dan membeku yang secara fanatik digila dan digila-gilai oleh para tradisionalis. Kepada seorang yang sangat terbius oleh Gurindam XII saya pernah ingatkan bahwa kata ‘’kemaluan” yang digunakan oleh Raja Ali Haji elok benar disanding dengan pikiran para pengamal dekonstruktisme. Para filolog berkeras tidak mengubahkan, tak mau bahkan tak sudi mengganti kata itu dengan ‘’keaiban” demi linguistik dan demi ilmu pengetahuan, berbeda dengan para tradisionalis yang cuma mengandalkan kedegilan (di negeri Derrida disebut ‘’têtu”, ‘’kopfig” kata orang Belanda, dan ‘’kepala batu” kata orang ibukota kita). Akan tetapi kelompok lain dengan gembira mengubahkan karena sastra lama yang tak terpahami apalah gunanya, kita bukan hidup di masa lampau. Dan yang pedih bagi kita mungkin bukan apa-apa bagi Jacques Derrida karena seperti Paul Valéry, André Malraux, Rainer Maria Rilke dan Franz Kafka, Philip Roth, Susan Sontag dan Milan Kundera, ia tak pernah meraih Hadiah Nobel bidang kesusastraan meskipun sering atau terus menerus masuk nominasi. Hal semacam ini mengurangi tabik masyarakat sastra dunia kepada Akademi Swedia.

Akhirnya di Paris pada suatu hari tepatnya 8 Oktober 2004 badai yang dahsyat telah menjatuhkan tabir kehidupannya Jacques Derrida . Dari gemuruh buah pikirnya memasuki kesunyian. Adieu!

Tidak ada komentar: